Tambuah Ciek, Sebuah Narasi Gastronomi Minangkabau dari Tari Kreasi

Tambuah Ciek, Sebuah Narasi Gastronomi Minangkabau dari Tari Kreasi
info gambar utama

Sebanyak 7 anak perempuan berusia sekitar 8 hingga 12 tahun berpakaian warna-warni lembut menari dengan menggunakan kuali, spatula, dan piring kecil. Mereka meliuk lincah memperagakan gerak silat, tari piring, dan praktik memasak kuliner Minang. Gerakannya khas anak-anak.

Beberapa kali mereka berdendang dan serempak berteriak, ”iko dendeng, iko randang, iko patai, iko jariang, sia nio tambuah ciek” (ini dendeng, ini rendang, ini petai, ini jengkol, siapa yang mau tambah satu). Penampilan itu semakin semarak dengan iringan talempong, gandang, bansi, dan pendendang dari kelompok musik tradisi.

Alhasil, 20 menit durasi pertunjukan tari berjudul “Tambuah Ciek” berhasil menghidupkan suasana acara penutupan Festival Anak Sumbar 2023 di Rumah Gubenuran Sumatra Barat (19/11/2023). Para penonton bertepuk tangan riuh karena terpukau dengan pertunjukan dari Sanggar Majesty Minangkabau Kids.

Ungkapan “Tambuah Ciek” tentu tidak asing lagi di telinga kita yang sering makan di rumah makan Padang. Berasal dari bahasa Minangkabau, artinya tambah lagi. Kata ini diucapkan pembeli kepada penjual ketika ingin menambah makanan, bisa jadi karena belum kenyang sekaligus karena citarasanya yang enak.

Rumah makan Padang dikenal masyarakat pada umumnya menyajikan berbagai makanan khas Minang seperti rendang, dendeng, jariang (jengkol), patai (petai), dan sambalado lainnya.

Kekayaan kuliner itulah, Minangkabau dikenal warga Indonesia maupun dunia sebagai lambung gastronomi. Pelbagai kuliner khasnya digandrungi oleh lidah banyak orang. Namun, bagi masyarakat Minangkabau, makanan tersebut bukan hanya soal rasa. Akan tetapi, di dalamnya melekat berbagai ritus, kepercayaan, tradisi dan kebudayaan, serta identitas dari masyarakat Minangkabau.

Pada budaya makan orang Minangkabau, khususnya ketika alek (perhelatan), para perempuan akan memasak secara berkelompok. Sebab itu, dulu anak perempuan usia 10 tahun di Minangkabau minimal sudah memiliki pengetahuan untuk memasak 11 jenis masakan khas Minang. Warisan bumbu dan cara masak didapat dari orangtua masing-masing. Mereka mengamati dan meniru dari aktivitas yang dilakukan oleh orangtua mereka.

Makanya, permainan alek-alekan bagi anak perempuan Minangkabau populer pada masa dulu. Mereka mengambil kuali, piring dan sendok masak dari dapur rumah. Lalu memainkannya secara berkelompok dengan kawan seumuran di lapangan bermain. Sehingga, pada masa itu seorang ibu di Minang sedikitnya pernah kebingungan mencari alat dapur yang hilang karena dibawa anak perempuannya bermain alek-alekan. Suasana seperti itu yang familiar muncul perkampungan Minangkabau masa lampau.

Pemerintah Kembangkan Nusantara Green Pesantren di IKN, Apa Itu?

Seiring perkembangan waktu, kebiasaan tersebut mulai bergeser terutama di daerah perkotaan. Kehidupan urban yang serba memberikan kemudahan di sisi lain juga memiliki tantangan. Kedua orang tua yang bekerja di luar rumah tidak memiliki cukup waktu lagi untuk mengajarkan anaknya memasak. Sementara banyak anak sekarang menghabiskan waktu lebih banyak bermain gadget daripada berinteraksi dengan sesama.

Pergeseran itu memunculkan sebuah kegelisahan. Jika generasi muda Minangkabau hari ini tidak memiliki pengetahuan untuk memasak, siapa yang akan mewarisi resep kuliner Minangkabau kelak? Hal lain, jika memasak secara berkelompok perlahan diganti dengan cara lebih praktis seperti membeli yang sudah jadi.

Apakah ruang interaksi sosial anak akan berkurang dan tradisi budaya kolektif akan luntur? Mengingat ketergantungan kita terhadap gadget yang cukup tinggi.

Kesatuan Penari, Pemusik, dan Penonton: Jiwa dari Pertunjukan Tari

Pada pertunjukan tari “Tambuah Ciek”, kita temukan sejumlah dendang berupa dialog antar penari dan pemusik. Dendang yang bersahutan itu membuat suasana pertunjukan menjadi sangat hidup. Penari juga melakukan koreografi peran dan mengajak interaksi dengan penonton. Keterikatan antara penari, pemusik, dan penonton adalah sebuah simpul yang akan menjadi perantara pesan itu sampai ke penonton. Jadi tidak hanya sekedar hiburan dan apresiasi estetika semata.

Tambuah Ciek bisa juga dibilang semacam drama tari yang menceritakan sebuah alur kejadian. Sekelompok anak perempuan Minangkabau sedang bermain masak-masakan. Mereka mengambil peralatan masak ibunya dari dapur sebagai properti mainan. Dialog antar penari menggambarkan interaksi sosial anak. Bagaimana anak belajar secara alamiah mendialogkan perbedaan karakter dan sifat satu sama lain di ruang bermain. Hal tersebut yang membuat seorang anak bisa menjadi lebih toleran menerima keragaman yang ada.

Selain itu, pilihan dialog yang dipakai pada pertunjukan ini juga memberikan pengetahuan dan ingatan kepada penonton terkait kekayaan budaya Minangkabau termasuk makanan. Kita bisa melihat dari beberapa cuplikan dialog yang didendangkan penari dan pemusik.

Bamain-main dan jo bagurau samo gadang. Iyo kato mandata nan tapakai, tasingguang talupo juo. Mak e. Baitu kami jo nan gadang (bermain dan bergurau sesama besar. Menggunakan kata untuk seumuran, jika ada tersinggung nanti akan dilupakan juga. Begitulah kami yang sesama besar).

Jariang, patai jo randang, tambuah ciek nan kanyang. Dendeng jan dilupokan, bagurau kami jo nan jo samo gadang (Jengkol, petai dan rendang, tambah satu agar kenyang. Dendeng jangan lupa. Bergurau kami sesama umur).

5 Komoditas Ini Tulang Punggung Ekonomi RI, Diborong Jepang-China

Dantiang-badantiang, badantiang piring badantiang. Jan sampai jatuah, jatuah beko amak berang. (denting berdenting, berdenting piring berdenting. Jangan sampai jatuh, jika jatuh nanti ibu marah).

Kemudian ada dialog yang bersahut-sahutan antara penari dan pemusik:

Masak-masak, Apo nan dimasak? Dimasak gulai cubadak, rasanyo badakak-dakak. Cubadak badakak-dakak, mantimun batali-tali. Kami pai malagak, jo manari-nari.” (masak-masak, apa yang dimasak. Dimasak gulai cubadak, rasanya renyah sekali. Cubadak renyah sekali, mentimun bertali-tali. Kami mau memamerkannya sambil menari nari).

Dendangnya berbahasa Minang Kato Mandata, salah satu dari Kato Nan Ampek di Minangkabau. Tata bahasa yang dipakai oleh anak seumuran. Kemudian musik tradisi yang digunakan juga khas Minang. Pada dendangnya juga memperkenalkan kuliner khas Minangkabau.

Keseluruhan disajikan kepada penonton menjadi sebuah sajian pertunjukan yang inspiratif, menarik dan sarat makna. Drama tari yang membicarakan soal isu kekinian melalui narasi-narasi tradisional.

Tari ini diciptakan oleh Joni Andra tahun 2016 untuk Festival Tari Anak Nasional. Saat itu, ia berhasil memboyong penghargaan untuk penari dan koreografer terbaik. Pada festival anak, Ashrof Maestro yang merupakan anak didik dari Joni Andra, menjadi koreografer untuk tari ini. Ashrof tidak mengubah substansi dari pesan tari Tambuah Ciek melainkan hanya menambah beberapa item seperti properti tari, durasi, percakapan, dan gerak.

Tari Tambua Ciek layak untuk mendapatkan apresiasi yang besar. Sebuah tarian yang berupaya untuk mengingatkan kembali setiap orang tentang budaya dan tradisi Minang yang harus dilestarikan. Jadi bukan hanya sekedar perform dan estetika semata.

Rabies Mengancam NTT, Vaksinasi Digalakkan hingga Bulan Maret 2024

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AC
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini