Atribut Kampanye Pemilu Menuai Keluhan, Apa Akar Masalah dan Solusinya?

Atribut Kampanye Pemilu Menuai Keluhan, Apa Akar Masalah dan Solusinya?
info gambar utama

Berbagai sudut kota dan desa yang dipenuhi atribut kampanye seperti baliho, bendera, dan spanduk seakan sudah jadi pemandangan lazim setiap menjelang pemilu. Dengan benda-benda itu, partai politik (parpol) serta para politisi yang bertarung mempromosikan diri dan kelompoknya dengan harapan lebih dikenal publik. Karena itu pula, tak heran apabila atribut tersebut kerap menampilkan wajah para politisi, lengkap dengan ajakan untuk memilih mereka.

Hal itu kerap menuai keluhan masyarakat. Bukan tanpa sebab, atribut kampanye dianggap mengotori dan merusak estetika, dan dalam beberapa kasus ada yang sampai membahayakan pengguna jalan. Seperti yang terjadi di Jakarta Timur baru-baru ini, sebuah baliho partai ambruk hingga menimpa pengendara sepeda motor.

Bagi generasi muda terdidik, kampanye menggunakan spanduk, baliho, dan semacamnya sebetulnya sudah tidak begitu menarik. Berdasarkan hasil survei Praxis mengenai Aspirasi dan Preferensi Mahasiswa pada Pemilu 2024, diketahui bahwa hanya 21,08 persen yang menjadikan Out of Home Advertising alias OOH sebagai sumber informasi politik.

Sebaliknya, 66,43 persen mahasiswa menjadikan media massa daring sebagai sumber informasi utama. Sebanyak 69,93 persen dari mereka juga memilih mencari informasi melalui debat terbuka.

Kominfo: Angka Hoaks Pemilu 2024 Menurun, Kabar Baik untuk Demokrasi Indonesia

Pentingnya Regenerasi Politisi

Jika spanduk, baliho, dan semacamnya tak lagi menarik bagi mahasiswa selaku generasi muda terdidik, lantas, apa penyebab atribut kampanye tetap marak hingga seakan tak terkendali, dan adakah harapan agar itu bisa diperbaiki ke depannya? Jawaban atas kedua pertanyaan tersebut ternyata mengarah kepada satu hal: Regenerasi politisi.

"Problem utama yang menyebabkan terjadi yang seperti ini adalah regenerasi kader yang mandeg," ujar Director of Public Affairs Praxis Indonesia, Sofyan Herbowo dalam paparannya di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Senin (22/1/2024).

Dengan kader-kader yang lebih muda, maka akan terbuka peluang bagi berubahnya media kampanye yang digunakan. Namun sayangnya, kesempatan bagi anak-anak muda itu nyatanya belum benar-benar terbuka luas.

Menurut Sofyan, anak muda yang ingin bertarung di gelanggang politik masih harus menunggu untuk mendapat giliran tampil. Sementara itu, para politisi dari generasi sebelumnya masih sangat aktif meski di antara mereka ada sudah berpolitik selama puluhan tahun.

Sofyan memberi contoh adanya salah satu politisi kawakan yang usianya hampir menginjak 80 tahun dan telah menjadi anggota DPR sejak era 1970-an. Politisi tersebut hingga kini masih kerap kesana-kemari untuk melakukan lobi-lobi.

"Dia itu generasi 70-an 80-an. Sedangkan kondisi politisi muda agak sulit untuk jadi pucuk pimpinan partai," kata Sofyan.

Paparan Sofyan selaras dengan fakta bahwa saat ini tidak banyak anak muda yang menduduki posisi pimpinan puncak partai. Dari 18 partai nasional yang ikut serta, hanya tiga yang pimpinannya berusia di bawah 50 tahun.

RI Jual Paket Wisata Pemilu, Ajak Turis Asing Ramaikan Pesta Demokrasi

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan A Reza lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel A Reza.

Terima kasih telah membaca sampai di sini