Pramoedya Ananta Toer, Sastrawan Patriotisme Indonesia

Pramoedya Ananta Toer, Sastrawan Patriotisme Indonesia
info gambar utama

Film Bumi Manusia yang diperankan oleh Iqbaal Ramadhan dan Mawar de Jongh menceritakan kisah kasih romansa dua remaja yang berakhir tragis dengan pengambilan adegan di masa penjajahan Belanda.

Terinspirasi dari novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer dan disutradarai oleh Hanung Bramantyo, film ini berhasil memikat hati para penonton 5 tahun silam. Tayangan Bumi Manusia masih dapat ditonton kembali di platform streaming online.

Berkat kesuksesan film tersebut, kini karya-karya sastra Pramoedya Ananta Toer menjadi kiblat dan menjadi fondasi para penulis untuk menciptakan sastra tulis seperti novel maupun cerita pendek, mulai dari anak muda hingga orang tua.

Meski sosoknya telah tiada di muka bumi, Pramoedya Ananta Toer atau yang sering dipanggil Pram meninggalkan segudang karya hingga dilirik mahasiswa kancah Internasional di Malaysia, Australia, Amerika Serikat, Belanda, Korea Selatan, dan beberapa negara lain.

Pramoedya Ananta Toer telah menghasilkan sebanyak lebih dari 50 sastra yang diterjemahkan lebih dari 42 bahasa asing. Untuk mengenang Pramoedya Ananta Toer, Google Doodle memasang wajah beliau pada tanggal 6 Februari setiap tahun sebagai sastrawan paling berpengaruh di Indonesia.

Kisah Tumiso, Orang yang Menyelamatkan Naskah-naskah Pramoedya Ananta Toer

Biografi Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer © Wikipedia
info gambar

Pramoedya Ananta Toer merupakan pengarang novel patriotisme tahun 1940-an dengan nuansa Indonesia masa lampau yang lahir di Blora, Jawa Tengah pada tanggal 6 Februari 1925. Beliau menghembuskan nafas terakhir di Jakarta pada tanggal 30 April 2006.

Berdasarkan koleksi cerita pendek semi-otobiografi berjudul Cerita dari Blora, pria ini memiliki nama asli yakni Pramoedya Ananta Mastoer. ‘Mastoer’ merupakan nama keluarga ayah lalu dihapus kata ‘Mas’ menjadi ‘Toer’ karena ‘Mastoer’ terkesan ningrat atau aristokrat.

Dikutip dari Memoar-Hikayat Sebuah Nama tahun 1962, Pramoedya Ananta Toer adalah anak sulung dari 8 bersaudara dan dipanggil dengan sebutan ‘Mas Moek’ dari ayah seorang kepala sekolah swasta Boedi Oetomo dan ibu anak penghulu di Rembang.

Latar Belakang Pendidikan Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer menyelesaikan sekolah dasar di Instituut Boedi Oetomo, Blora, dan melanjutkan studi di sekolah teknik radio Surabaya atau disebut Radiovakschool Surabaya pada tahun 1940-1941, meski lulus tanpa ijazah akibat kedatangan Jepang ke Indonesia.

Pramoedya Ananta Toer menginjakkan kaki dari kota kelahirannya menuju Jakarta untuk memulai mengepakkan sayap karier pada bidang jurnalistik dan kesastraan di Kantor Berita Domei pada tahun 1942.

Di tengah aktivitas bekerja, Pramoedya Ananta Toer juga mengikuti studi di Taman Siswa tahun 1942—1943, kursus di Sekolah Stenografi tahun 1944—1945, hingga mengemban kuliah Filsafat, Sosiologi, dan Sejarah di Sekolah Tinggi Islam Jakarta tahun 1945.

Untuk selingan info, stenografi bisa diartikan sebagai seni maupun ilmu berupa penulisan pendek nan singkat dengan tujuan untuk menghemat waktu penulisan dan kini telah menjadi salah satu mata pelajaran di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

Sejarah Hari Ini (6 Februari 1925) - Pramoedya Ananta Toer, Sastrawan Angkatan '45

Lika-Liku Karier Pramoedya Ananta Toer

Berselang tiga tahun yakni 1945, Pramoedya Ananta Toer keluar dari Kantor Berita Domei dan menjelajah Pulau Jawa. Setahun berselang, Pramoedya Ananta Toer ikut menjadi prajurit hingga Letnan II Tentara Keamanan Rakyat di Cikampek dengan sekutu Front Jakarta Timur.

Namun, Pramoedya Ananta Toer ditangkap militer Belanda di Cipinang tahun 1947 melalui penyusupan karena menyimpan dokumen gerakan bawah tanah menentang Belanda. Ia dipenjara tanpa diadili sampai tahun 1949 di Bukit Duri.

Melewati masa kelam, Pramoedya Ananta Toer kembali ke dunia penerbitan buku sebagai redaktur Balai Pustaka tahun 1950-1951 dan memperoleh hadiah sastra atas novel berjudul Perburuan di tahun 1950.

Pramoedya Ananta Toer mendirikan dan memimpin Literary and Features Agency Duta pada tahun 1952 hingga 1954 sebelum pada tahun 1953 bertolak ke Negeri Kincir Angin, Belanda, sebagai tamu Sticusa yang merupakan yayasan kerja sama antara Indonesia dan Belanda di bidang kebudayaan.

Sayangnya, Pramoedya Ananta Toer memperoleh kecaman dan perlakuan kejam dari seniman lain karena keterlibatannya menjadi anggota Pimpinan Pusat Lembaga Kesenian Rakyat yang berada di bawah naungan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Hingga gebrakan PKI 30 September 1965 menjadi luka pilu Indonesia, buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer dilarang terbit oleh Kejaksaan Agung. Padahal, karya-karyanya itu di luar negeri terbit dan beredar luas yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris maupun bahasa Belanda.

Karya dan Penghargaan Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer © KITLV

Meski memperoleh pemboikotan hingga akhir hayat, karya Pramoedya Ananta Toer semakin melejit di kalangan pecinta buku yang dapat ditemui di toko buku tua bahkan sudah dijual di e-commerce dewasa ini. Deretan karya Pramoedya Ananta Toer antara lain:

  1. Bumi Manusia tahun 1980
  2. Anak Semua Bangsa tahun 1980
  3. Jejak Langkah tahun 1985
  4. Rumah Kaca tahun 1988
  5. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I tahun 1995
  6. Arus Balik tahun 1995
  7. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II tahun 1996
  8. Arok Dede tahun 1999
  9. Larasati tahun 2000

Karya Pramoedya Ananta Toer yang semula memperoleh pelarangan keras dari Kejaksaan Agung, kini diterbitkan kembali oleh penerbit Hasta Mira, seperti buku Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa.

Pramoedya, Bicara Karya dan Kepercayaan Penuhnya kepada Manusia

Kegigihan Pramoedya Ananta Toer dengan pemikiran humanisme yang menggambarkan kondisi bumi pertiwi diapresiasi dengan deretan penghargaan nasional maupun internasional selama menggarap karya sastranya, sebagai berikut:

  1. Penghargaan Balai Pustaka tahun 1951.
  2. Hadiah Magsaysay dari Filipina tahun 1995, yang menimbulkan pro-kontra akibat polemik masa lalu dan tetap diberikan atas dasar pencerahan tentang sejarah kebangkitan dan kehidupan modern masyarakat Indonesia.
  3. Penghargaan PEN Internasional tahun 1998.
  4. Doctor of Humane Letters dari Universitas Michigan tahun 1999.
  5. Fukuoka Cultural Grand Prize di Jepang tahun 2000.
  6. Norwegia Authors’ Union Award tahun 2004 atas sumbangannya pada sastra dunia.

Kepedulian atas sesama manusia, kegigihan menggapai mimpi, dan semangat juang Pramoedya Ananta Toer patut diteladani dengan mengesampingkan keterlibatan pada organisasi yang dikecam seluruh Indonesia.

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah
-Pramoedya Ananta Toer-

Referensi:

https://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Pramoedya_Ananta_Toer

https://www.independenmedia.id/various/pr-2767400472/kh-hasyim-asyari-hingga-buya-hamka-inilah-10-tokoh-nasional-yang-lahir-bulan-februari

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

NU
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini