Menapaki Jejak Konghucu di Bali dari Kelenteng Caow Eng Bio yang Berdiri Sejak Abad ke-16

Menapaki Jejak Konghucu di Bali dari Kelenteng Caow Eng Bio yang Berdiri Sejak Abad ke-16
info gambar utama

Bali dikenal sebagai daerah di Indonesia dengan masyarakat yang mayoritas menganut agama Hindu. Perjalanan agama Hindu sejak dulu hingga sekarang di sini pun sudah melekat erat dalam kebudayaan masyarakat serta melebur sebagai identitas lokal.

Namun, apakah Kawan GNFI tahu bila agama Konghucu pun memiliki jejaknya tersendiri di Pulau Dewata?

Ya, hal tersebut bisa kita lihat di salah satu peninggalan Konghucu di sini, yaitu pada kelenteng Caow Eng Bio. Kelenteng ini menjadi saksi bisu dari keberadaan masyarakat Konghucu di Bali sejak abad ke-16.

Kelenteng ini berlokasi di Desa Tanjung Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Untuk mencapai ke sini dari Kota Denpasar memakan waktu kurang lebih 40 menit.

Tay Kak Sie, Klenteng Tua di Kota Semarang yang Penuh Nilai Filosofi

Sudah ada sejak abad ke-16

Keberadaannya di tengah bangunan pura serta rumah penduduk dengan nuansa khas Bali menjadikan bangunan ini terlihat menonjol. Keunikan lainnya adalah adanya unsur akulturasi dari bangunan ini. Yang mana, gapura pintu masuknya memiliki gaya arsitektur tradisional khas Bali.

Caow Eng Bio memiliki sejarah panjang yang bermula sejak tahun 1548, menjadikannya salah satu bangunan kelenteng tertua di Bali, bahkan kelenteng tertua kelima di Indonesia. Pendirinya adalah pelaut Hainan asal Desa Dong Chiao, Kabupaten Wenchang, Tiongkok. Para pelaut inilah yang turut menyumbang papan nama di gerbang kelenteng.

Hal itu diperkuat oleh pengakuan Dewan Pertimbangan Caow Eng Bio, yakni Nyoman Suarsana Ardika, yang merujuk pada sebuah prasasti milik kelenteng. Sebelum berdirinya kelenteng, para pelaut Hainan hanya memanfaatkan sebuah bangunan kecil sebagai lokasi persembahyangan. Ini lantaran mereka hanya sebentar saja berada di Tanjung Benoa, baru 2-3 bulan kemudian kembali lagi.

Kawasan Tanjung Benoa sejak lama dijadikan para pelaut Hainan sebagai lokasi berlindung dari hantaman badai dan angin barat saat berlayar. Bahkan, mereka jauh lebih dulu menginjakkan kaki dibandingkan warga asli Bali lantaran kawasan tersebut masih berupa hutan lebat.

Bangunan kecil dengan altar pemujaan merupakan tempat mereka mengungkapkan rasa syukur kepada Dewi Laut karena telah melindungi perjalanan di lautan.

Setelah sekian lama hanya berbentuk bangunan kecil, pada 1800-an, kelenteng diperbesar setelah mendapatkan hibah lahan dari Raja Badung Ida Cokorda Pemecutan ke-10. Sejumlah barang di Caow Eng Bio pun didatangkan langsung dari daratan Tiongkok.

Mengenal Cina Benteng, Masyarakat Peranakan Tionghoa yang Tinggal di Tangerang

Satu-satunya kelenteng di Indonesia dengan patung Dewi Laut

Kelenteng ini mengusung arsitektur khas Tiongkok dengan atap melengkung dan ornamen naga yang diukir di beberapa sudut atapnya. Warna dominan pada dinding kelenteng adalah merah dan kuning keemasan, dengan sentuhan hijau yang mencolok pada atap gapura dan pagoda.

Gerbang masuk kelenteng dipasangi papan nama yang ditulis dalam aksara Tionghoa dan latin, menyambut setiap pengunjung. Baris pertama aksara Tionghoa menampilkan tulisan "dān róng zhāo yìng," sementara di sampingnya tertulis dalam aksara latin: Caow Eng Bio.

Di halaman kelenteng, terdapat pagoda serta bangsal untuk balai pertemuan warga, dan sebuah patung perahu berkepala naga yang menarik perhatian di sekitar bangunan inti kelenteng.

Uniknya, kelenteng ini menjadi satu-satunya di Indonesia yang memiliki patung Dewi Laut atau Shui Wei Shen Niang. Patung serupa hanya dapat ditemui di empat negara lain di dunia, termasuk Singapura, Malaysia, Thailand, dan tentu saja Tiongkok.

Shui Wei Sheng Niang, dewi yang dipuja oleh masyarakat asal Hainan di seluruh dunia, terutama di daerah-daerah tepi laut. Kelenteng ini juga menampilkan altar untuk memuja dewa-dewi lainnya sebagai bagian dari tradisi keagamaan.

Tidak hanya sebagai tempat beribadah, tempat ini juga bisa didatangi oleh siapa saja sebagai tujuan wisata. Tertarikkah Kawan GNFI berkunjung ke sini?

Ketika Masyarakat Betawi "Ngamen" untuk Orang Tionghoa saat Perayaan Imlek

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Muhammad Fazer Mileneo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Muhammad Fazer Mileneo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini