Jalan-Jalan Sambil Belajar Sejarah Bersama Indonesia Colonial Heritage

Jalan-Jalan Sambil Belajar Sejarah Bersama Indonesia Colonial Heritage
info gambar utama

Tur heritage menjadi salah satu alternatif tur wisata yang digemari masyarakat saat ini. Di beberapa kota, seperti Surabaya, Jakarta, Bogor, dan Kudus, komunitas-komunitas yang mengadakan kegiatan ini semakin banyak bermunculan.

Selain itu, tur heritage ini juga disambut masyarakat dengan antusias. Menariknya, pelaksanaan tur tidak saja diikuti oleh warga kota setempat, tetapi juga peserta lain dari luar kota.

Selain kota-kota yang telah disebutkan sebelumnya, Kota Malang menjadi salah satu kota yang aktif mengadakan kegiatan tur heritage. Hal ini didukung pula dengan keberadaan beberapa komunitas pencinta heritage, salah satunya adalah Indonesia Colonial Heritage (ICH) yang berdiri pada akhir Mei 2023 lalu.

Baca Juga: Cara Baru Nikmati Malang, Wisata Sejarah ke 4 Destinasi Ini, Yuk!

Indonesia Colonial Heritage sendiri didirikan oleh Arief DKS, Irawan Paulus, Ratna Shanty Indrasari, dan Eko Ari Purwoko. Sebelumnya, mereka berempat tergabung dalam komunitas Malang OldPhoto (MOP), yang juga merupakan sebuah komunitas pencinta heritage di Kota Malang. Setelah MOP bubar pada pertengahan 2023, keempatnya kemudian mendirikan ICH.

“Alasan terbentuknya ICH, ya, sama saja dengan dengan MOP dulu. Mau mengajak orang-orang untuk jalan-jalan dan mengenal sejarah terutama sejarah di era kolonial,” ucap Arief DKS.

Tur heritage pertama ICH diselenggarakan pada 2 Juli 2023, dengan tema Om Ir Djalan-djalan Nang Kerkhof Soekoen. Kerkhof Sukun sendiri merupakan pemakaman orang-orang Belanda yang didirikan pada tahun 1918.

Selanjutnya, komunitas ini mengadakan tur menginap di Hotel Niagara. Tak berhenti sampai di situ, ICH juga aktif mengadakan beberapa tur heritage lainnya. Pada bulan Agustus, mereka mengadakan tur bertema Kamp Interniran, dan diikuti dengan tur bertajuk Dari Kotalama ke Kotabaru pada Desember.

Irawan Paulus memberi penjelasan kepada para peserta tur | Sumber: Dokumentasi ICH
info gambar

Irawan Paulus selaku storyteller dalam setiap tur yang diadakan ICH, juga menjelaskan keberadaan komunitas ini. Menurutnya, ICH juga terbentuk karena kecintaan mereka terhadap bangunan lama yang ada di Kota Malang.

Lebih lanjut, setiap tur heritage yang diadakan ICH juga selalu mendapat sambutan hangat dari pencinta bangunan-bangunan kolonial. Om Ir, panggilan akrab Irawan di kalangan komunitas ICH, menyebut jumlah peserta setiap tur yang mencapai sekitar 50 peserta dalam setiap pelaksanaannya.

Baca Juga: Historis Malang Raya Mulai dari Asal dan Penamaannya

Para peserta tur juga tidak hanya terbatas pada warga Kota Malang saja. Antusiasme masyarakat terhadap tur heritage ini juga tampak dari keikutsertaan para peserta dari luar kota.

Abdul Karim Abimanyu, misalnya, menjadi salah satu peserta tur dari Bandung. Sebagai pencinta sejarah kolonial, ia pernah mengikuti tur heritage ICH pertama yang bertempat di Kerkhof Sukun.

“Biasanya, saya mengikuti tur heritage, karena beberapa hal di antaranya tempat yang dituju, narasumber serta kegiatan yang dilakukan. Bagi saya, Om Ir sebagai sesepuh kota, Pak Arief dan tim ICH lainnya, adalah narasumber ahli dan sangat capable untuk memuaskan keingintahuan saya. Tidak hanya tentang sejarah dan heritage di Malang dan Jatim, tetapi juga kota-kota lain,” ujar sosok yang biasa dipanggil Abi ini.

Tak hanya mengajak orang-orang belajar sejarah kolonial seputar Kota Malang saja, Komunitas ICH juga pernah mengadakan tur heritage ke Kota Lawang, yang berada di perbatasan Kabupaten Malang dan Pasuruan.

Tur ini dilaksanakan dengan menginap di Hotel Niagara. Bahkan, karena banyaknya peminat tur tersebut, ICH sampai mengadakan hingga dua kali kegiatan menginap di hotel yang berada di Jalan Dr. Sutomo tersebut.

Ke depannya, menurut Om Ir, ICH juga berkeinginan untuk mengunjungi kota-kota lain yang memiliki bangunan-bangunan era kolonial. Namun, lelaki kelahiran 1967 ini, belum dapat memastikan kapan rencana tersebut dapat terealisasi mengingat keterbatasan sumber daya manusia yang mereka miliki.

Baca Juga: Datangi Kampung Kayutangan Malang, Lompati Waktu ke Zaman Kolonial Belanda

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

DS
GI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini