Tahun Kabisat dan Upaya Merawat Warisan Nh. Dini, Sastrawan Pelopor Feminisme di Indonesia

Tahun Kabisat dan Upaya Merawat Warisan Nh. Dini, Sastrawan Pelopor Feminisme di Indonesia
info gambar utama

Lahir pada 29 Februari membuat peringatan hari lahir Nh. Dini hanya dapat dilakukan setiap tahun kabisat. Jika pada 2020 figur Dini tampil dalam Google Doodle, tahun ini peringatanya dimeriahkan oleh berbagai komunitas di Semarang melalui gelar wicara, pameran arsip, dan pertunjukan seni. Namun siapa gerangan dirinya?

Bagi generasi muda pembaca di Indonesia, nama Nh.Dini dan karyanya seperti Pada Sebuah Kapal (1972) dan La Barka (1975) seringkali absen dari daftar bacaan dan penulis Indonesia yang mereka ketahui. Padahal, karya Dini yang mendobrak pakem pada masanya dahulu begitu populer dan hingga kini masih dicetak ulang oleh para penerbit. Riwayat hidup Dini yang banyak mengilhami karyanya pun tak kalah menarik untuk diketahui, sebagaimana ia adalah ibu dari Pierre Coffin, sutradara Despicable Me dan pencipta Minions.

 Karya Nh.Dini banyak berfokus pada tokoh perempuan. Foto: Dokumen Pribadi
info gambar

Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin atau yang lebih dikenal dengan nama pena Nh. Dini adalah penulis dari angkatan 1950. Sepanjang hidupnya, ia telah menulis tak kurang dari 20 cerita pendek, memoar, dan novel yang dibukukan.

Sebagian karyanya seperti Keberangkatan (1977) telah diterjemahkan ke bahasa Inggris, Jepang, dan Prancis. Ia juga menerjemahkan sastra dunia seperti The Plague (1947) karya Albert Camus ke bahasa Indonesia dengan judul Sampar (1985). Cerpen dan sajak buatanya juga banyak dimuat dalam majalah sastra atau disiarkan melalui radio sehingga ia berkawan dengan nama sebesar H.B. Jassin yang dikenal sebagai 'Paus Sastra' Indonesia.

Sastra di Ruang Publik: Menjadikan Sastra Kalbar Tuan di Rumah Sendiri

Karya Dini memberi pembaruan pada masanya karena dengan berani dan terus terang mengangkat sudut pandang perempuan dalam melihat kehidupan asmara, rumah tangga, hingga karier di mana ruang gerak perempuan banyak terbatasi oleh eskpektasi sosial. Suara tersebut jarang dapat tersampaikan dengan baik dalam dunia sastra negeri yang didominasi laki-laki.

Meskipun begitu Dini tidak menyangka jika karyanya yang sebagian besar berpusat dengan perempuan sebagai karakter utama akan digolongkan sebagai karya feminisme. Baginya, ia hanya menulis berdasarkan pandangan akan keadilan. “Aku menulis tanpa dasar pikiran ‘isme-isme’ apa pun. Yang menjadi arah kepengaranganku adalah keadilan,'' imbuh Dini(Teguh, 2018).


Dalam Langit dan Bumi Sahabat Kami (1979), Dini mencontohkan pandangan yang tak menghakimi akan seorang karakter bernama Yu Saijem yang hidup dalam kesulitan ekonomi: Waktu itu aku belum mengenal perkataan pelacuran. Aku juga tidak mengetahui larangan suatu agama yang menghukum laki-laki dan perempuan yang melakukan hubungan akrab tanpa perkawinan. Tapi hatiku yang hijau membetulkan dan menerima perbuatan Yu Saijem. Dia beralasan: daripada mencuri. Bagiku itu telah lebih dari cukup, Mengambil milik orang lain merupakan perbuatan yang amat hina di mataku. Lebih hina dari menjual diri.

Mengenang Sosok Mohammad Yamin: Bapak Bangsa Segudang Karya Sastra

Keterus-terangan seperti yang dicontohkan dalam bait di atas membuat beberapa sekolah dahulu melarang muridnya untuk membaca karya Dini karena dianggap terlalu vulgar, terang pegiat sastra Sulis Bambang yang juga sahabat dari Dini dalam acara peringatan sang sastrawan yang bertajuk Dini, Kita, Nanti.

Dahulu memang terdapat mata pelajaran Sastra, berbeda dengan pelajaran Bahasa Indonesia saat ini yang bersifat gramatikal, di mana siswa ditugaskan untuk membaca sebuah karya sastra.

Pameran arsip dalam peringatan hari lahir Nh. Dini ke-88 di Collabox Creative, Semarang. Foto: Dokumen Pribadi
info gambar

Selain sebagai penulis, Dini sempat berkarier sebagai pramugari di maskapai Garuda Indonesia dan menikah dengan diplomat Prancis bernama Yves Coffin yang membuatnya hidup berpindah negara dari Jepang, Kamboja, Filipina, Amerika Serikat, Belanda, hingga Prancis.

Ragam peran sebagai seorang ibu, pramugari, dan istri diplomat yang bertemu dengan banyak budaya membuat Dini memiliki segudang inspirasi untuk berkarya. Di mana tanah dipijak, di situlah Dini akan menulis tentangnya.

Hal tersebut terlihat jelas dalam novel Keberangkatan (1977) yang karakter utamanya berprofesi sebagai pramugari, cerita pendek Istri Konsul (1989) yang berlatar kehidupan keluarga diplomat, dan Namaku Hiroko (1977) yang berkisah tentang perempuan Jepang.

Dini memiliki putra bernama Pierre-Louis Padang Coffin atau lebih dikenal sebagai Pierre Coffin yang mendunia sebagai sutradara film serial Despicable Me dan pencipta hingga pengisi suara karakter Minions. Sehingga tidak mengejutkan ketika Minions mengucapkan kosakata Indonesia seperti 'Nasi Goreng Kecap Manis' dan 'Terima Kasih'. Sebab, Coffin memang mengambil kosakata dari bahasa-bahasa yang ia sukai, salah satunya bahasa sang ibu. Dini juga menjadi sosok yang mendorong Padang, nama panggilanya, untuk menggambar dan menyukai dunia film.

Dokumentasi dua novelis perempuan ternama Indonesia: Nh Dini dan Leila Chudori di Ubud Writers & Readers Festival 2017. Foto: Dokumen Pribadi

Nh Dini yang terus berkarya hingga usia senja kemudian memilih menghabiskan masa tuanya di sebuah panti wreda di kota asalnya, Semarang. Meskipun telah mengeliling dunia, kota di mana ia dilahirkan pada 1936 tersebut memang melekat pada sosok Dini.

Terlihat melalui karyanya pada Sebuah Lorong di Kotaku (1978), Padang Ilalang di Belakang Rumah (1979), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1979), dan Sekayu (1988) yang mengabadikan kenangan masa kecilnya akan sudut-sudut kota. Dari kisah sederhana seperti bermain di pekarangan rumah yang ditumbuhi pepohonan buah hingga menjadi saksi sejarah ketika kota berada di bawah kekuasaan Jepang dan Belanda. Semua dari sudut pandang seorang perempuan kecil yang mampu menggelitik batin para pembaca dewasa.

Pantaskah Gelar Pahlawan Nasional kepada Sang Paus Sastra?

Rumah masa kecil Dini pun masih berdiri dan ditinggali oleh sanak keluarganya di Sekayu, perkampungan tua di pusat Semarang yang masih bertahan di tengah perkembangan kota. Rumah tersebut sesekali digunakan sebagai ruang publik pada acara yang berkaitan dengan Dini seperti peringatan hari lahir ke-88 yang jatuh pada 29 Februari silam.

Wacana mendirikan taman bacaan atau memberi nama jalan sesuai dengan namanya di Semarang, kota yang kerap ia angkat sebagai latar sastra, tengah disuarakan. Diharapkan upaya tersebut menumbuhkan apresiasi masyarakat terhadap karya Dini dan dunia sastra indonesia terutama bagi generasi muda yang semakin asing terhadapnya.

Dini yang meninggal pada 2018 akibat kecelakaan lalu lintas di Semarang tidak memiliki pusara sesuai permintaanya untuk dikremasikan. Abu kremasinya kemudian ditebarkan di Gunung Ungaran yang juga menjadi judul bagi buku terakhirnya.

Namun, nilai-nilai yang disebarkan dan jalur yang dibuka untuk kelahiran penulis perempuan lainnya akan selamanya hidup dalam karya Dini dan di hati pembacanya. Terutama pada tahun kabisat.

#WritingCamp

Referensi:

Teguh, I. (2018, December 4). Pilihan Hidup dan Perjuangan NH Dini. Tirto.id. https://tirto.id/pilihan-hidup-dan-perjuangan-nh-dini-da5H

TM, H. (2022, December 14). “Feminist Story” dan NH Dini. Kompas.id. https://www.kompas.id/baca/buku/2022/12/14/feminist-story-dan-nh-dini

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

FW
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini