Ramai Kritik Film Horor Religi Indonesia, Begini Tanggapan Sutradara Joko Anwar

Ramai Kritik Film Horor Religi Indonesia, Begini Tanggapan Sutradara Joko Anwar
info gambar utama

Meski belum naik ke layar lebar, film horor Kiblat telah mendulang berbagai kritik dari pelaku dunia film, tokoh agama, dan masyarakat hingga memunculkan berbagai diskusi di publik mengenai standar film horor dalam negeri.

Film yang disutradarai Bobby Prasetyo ini berlatar pada Kampung Bumi Suwung yang ditinggali seorang pemimpin padepokan bernama Abah Mulya (Whani Darmawan). Ia merupakan seorang pelaku praktik supranatural yang membuat kampung tersebut menyimpang dari kiblat agama. Jika praktik ibadah seperti azan dan salat dilakukan maka kejadian janggal pun meneror warga.

Teror tersebut menjadi pokok masalah yang dihadapi sang protagonis, Ainun (Yasmin Napper) dan sahabatnya, Rini (Ria Ricis) yang semula mengagumi sosok Abah Mulya.

Plot film Kiblat yang mempertemukan unsur agama dengan kisah horor tengah menjadi tren produksi film horor di Indonesia. Sebut saja berbagai pendahulunya seperti Makmum (2019), Makmum 2 (2021), Qorin (2022), dan Khanzab (2023) yang sarat dengan adegan gangguan gaib saat beribadah.

Kritik terhadap Tren Film Horor Religi

Sorotan terhadap film Kiblat dan film horor religi lainya bermula dari curhatan sutradara dan penulis skenario Gina S. Noer. Melalui akun Instagram pribadinya di @ginasnoer, Ia mengkritik maraknya penggunaan adegan ibadah seperti doa, salat, dan zikir sebagai instrumen menampilkan teror dalam film horor Indonesia.

Megenal Dukun Perempuan dari Jawa Timur, seperti Hwarim di Film Exhuma?

Bagi Gina, penggunaan unsur agama dalam film horor yang seharusnya memberi pesan pada penguatan keyakinan telah direduksi sebagai jalan pintas untuk menciptakan adegan seram atau jumpscare bagi penonton. Sehingga nilai agama yang sejatinya penuh kasih sayang dan praktik ibadah yang suci ditampilkan sebagai sesuatu yang mengerikan.

Gina S.Noer, sutradara & penulis skenario ternama Indonesia kritik penggunaan religi dalam horor yang tidak tepat (Sumber: Instagram@ginasnoer)

Penulis skenario Ayat-Ayat Cinta (2008), Habibie & Ainun (2012), Keluarga Cemara (2019), dan Dua Garis Biru (2019) ini lebih lanjut menyebut praktik tersebut telah memasuki ranah eksploitasi agama. Ia juga menyorot dampak film bagi penonton yang menimbulkan rasa takut ketika beribadah seperti saat melakukan salat di malam hari.

Gina kemudian membandingkan dengan film horor Exhuma (2024) yang berasal dari Korea Selatan. Film ini juga mengandung unsur religi tetapi karakternya mampu menggunakan keyakinan sebagai modal kekuatan alih-alih menjadi menjadi titik lemah yang membuatnya rawan terhadap pengaruh setan.

Curhatan yang menjadi viral tersebut membuat promosi film Kiblat disorot. Poster film yang menampilkan wanita bermukena melakukan gerakan rukuk tetapi pose yang mengerikan dianggap tidak pantas oleh sebagian orang. Adegan ini juga banyak ditampilkan dalam trailer film.

Salah satu kritik datang dari Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah Cholil Nafis, melalui akun Instagram. Ia yang membuat penilaian berdasarkan pengamatan terhadap poster film, menyayangkan penggunaan kata kiblat sebagai judul film horor dan menyarankan agar film tidak ditayangkan jika benar mengandung 'kampanye hitam' terhadap ajaran agama.

Sementara Lembaga Sensor Film (LSF) mengonfirmasi jika Kiblat baru lulus sensor tahap awal untuk melakukan promosi. Sementara dalam sensor isi film, LSF menilai masih diperlukanya perbaikan agar film dapat tayang di masyarakat.

Mengapa Kita Mencintai Film Horor? | Video GNFI

Joko Anwar mewajarkan film horor religi, asal..

Sebagai sutradara film-film horor ternama Indonesia, isu yang ramai belakangan juga menyoroti sosok Joko Anwar dan karyanya. Dalam wawancara yang dilakukan Bloomberg Technoz (Decembria, 2024), Joko Anwar menilai penggunaan nilai religi dalam film horor Indonesia sebagai hal yang wajar.

Pasalnya, agama merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat Indonesia sehingga memasukan nilai yang ada di masyarakat, seperti agama, diperlukan agar cerita menjadi relevan bagi penonton.

''Kalau dihilangkan sama sekali, ya nggak realistis. Seolah nggak ada agama di kehidupan sehari-hari kita. Baik dalam film horor, drama, dan sebagainya," terang sang sutradara yang telah mengantongi dua Piala Citra (2015 & 2020) untuk kategori Sutradara Terbaik.

Sutradara Joko Anwar dalam proses pengambilan gambar film horor Perempuan Tanah Jahanam (Sumber: Instagram @jokoanwar)
info gambar

Namun, ia tidak membenarkan penggunaan unsur agama untuk sekedar menciptakan adegan horor dalam film. Ia menegaskan jika tujuan utama film horor bukan pada keberhasilan untuk menakut-nakuti penonton, tetapi kekuatan pesan yang tertuang dalam cerita dan karakter. Baginya, memasukan unsur agama dalam film horor juga dapat berfungsi sebagai dakwah.

Meskipun banyak menyutradarai film dari berbagai genre, nama Joko Anwar paling melekat dalam benak masyarakat melalui film-film horor. Sebut saja Pengabdi Setan (2017), Perempuan Tanah Jahanam (2019), dan Pengabdi Setan 2: Communion (2022) yang masuk dalam daftar film Indonesia terlaris sepanjang masa.

Dalam kedua film tersebut Joko memasukan adegan gangguan gaib dalam praktik ibadah. Misalnya saat karakter Rini (Tara Basro) dan Tari (Ratu Felisha) melakukan salat serta dalam proses pengurusan jenazah yang dilakukan secara Islam. Karakter yang dekat dengan agama seperti ustaz pun tidak absen menerima teror dari mahkluk gaib.

Film terbarunya, Siksa Kubur (2024), yang akan tayang Lebaran mendatang juga semakin kental dengan nuansa religi. Film yang bertabur bintang seperti Christine Hakim, Faradina Mufti, Happy Salma, dan Reza Rahardian tersebut mengangkat ajaran Islam mengenai hukuman manusia di alam kubur. Teknik promosi film pun dilakukan dengan mengutip hadis dan ayat dari Alquran yang terkait dengan siksa kubur.

Dibalik Sosok Joko Anwar, Belajar Teknik Penerbangan hingga Jadi Sutradara

Perkembangan horor religi di Indonesia

Rupanya pemanfaatan unsur agama dalam film bisa ditarik dari masa Orde Baru. Agar film horor dapat lulus sensor, unsur agama perlu dimasukan sesuai dengan aturan Kode Etik Produksi Film yang diterbitkan Menteri Penerangan Ali Murtopo pada tahun 1981.

Karena sekedar formalitas, simbol-simbol agama yang diselipkan dalam film horor seperti kehadiran karakter kyai dan ustaz seringkali tidak menyatu dengan cerita (Firdaus, 2023). Ketika tidak lagi menjadi aturan, unsur agama pun absen dari film horor di awal era Reformasi hingga kemudian tren pasar kembali memunculkanya dalam layar lebar.

Referensi

  • Decembria, D. (2024, March 26). Tanggapan Joko Anwar Soal Film Horor Identik dengan Agama. Bloomberg Technoz. https://www.bloombergtechnoz.com/detail-news/33595/tanggapan-joko-anwar-soal-film-horor-identik-dengan-agama/2
  • Firdaus, A. (2023, April 11). Ikonografi Islam dalam Film Horor Kontemporer. Tirto.id. https://tirto.id/ikonografi-islam-dalam-film-horor-kontemporer-gEoJ

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

FW
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini