Tradisi Oleh-Oleh, Berawal dari Migrasi Masyarakat yang Hidup Nomaden

Tradisi Oleh-Oleh, Berawal dari Migrasi Masyarakat yang Hidup Nomaden
info gambar utama

Pernah mendengar jika Kawan GNFI bepergian ada yang mengatakan, "Oleh-olehnya apa? Jangan lupa bawa oleh-oleh, ya!"

Seseorang yang dari jauh telah datang dan diharapkan membawa sesuatu. Ibarat sayur tanpa garam, jika datang tidak membawa apa-apa akan terasa kurang.

Namun, sebenarnya apakah oleh-oleh ini menjadi suatu keharusan? Tidak juga. Mungkin karena sebuah norma yang terbentuk bertahun-tahun dan akhirnya menjadi kebiasaan. Kebiasaan yang dijalankan secara terus menerus itu kemudian berkembang jadi sejenis ritual sosial, dan menjadikan aktivitas memberi oleh-oleh sebagai kewajiban.

Oleh-oleh bisa diibaratkan sebagai tanda kasih sayang. Bahkan bisa jadi, membawa buah tangan adalah diplomasi buday dan pembangkit UMKM. Oleh sebab itu, industri pengrajin lokal atau pembuat makanan akan semakin ramai di momentum tertentu, misalnya ketika musim liburan atau mendekati lebaran.

Asal Muasal Oleh-Oleh

Nenek moyang kita dahulu hidupnya nomaden atau berpindah-pindah. Proses berpindah ini bisa juga disebut sebagai migrasi. Nah, proses migrasi inilah yang akhirnya membawa budaya oleh-oleh ada sampai saat ini.

Kaum urban di masa lampau, ketika bepergian ke suatu tempat, diharuskan membawa sesuatu yang menjadi ciri khas atau ikon daerah tersebut.

Selain dari migrasi, tradisi oleh-oleh tak terlepas juga dari budaya berburu, tradisi nelayan, dan perang yang terjadi di masa lampau. Nenek moyang kita yang seorang pelaut akan membawa seluruh barang yang di dapat untuk kembali pulang. Orang-orang yang berburu juga begitu. Mereka akan membawa hasil buruan dari daerah tertentu untuk dibawa ke kampung halaman.

Jika orang-orang yang berperang dan sudah berhasil mengalahkan lawan, makan rampasan perangnya akan dibawa kembali sebagai oleh-oleh bagi sang pemenang.

Di masa Kerajaan, orang sering memberi upeti dengan beragam bentuk untuk kerajaan lainnya. Upeti merupakan sebuah cara di mana para raja saling mengirim sesuatu barang.

Sekitar tahun 1850, oleh-oleh berbentuk kartu pos. Kemudian, sejak teknologi foto dimulai pada tahun 1850, kartu pos semakin berkembang dan menjadi buah tangan yang dikenal secara umum oleh wisatawan, khususnya lintas negara.

Bertahun-tahun kemudian, ketika sudah modern, ada teknologi gerabah yang bisa dikreasikan menjadi wujud 3 dimensi dan lebih kuat. Gerabah ini dikreasikan dengan warna-warni dan dibentuk bermacam-macam. Lalu, dari sini bentuk oleh-oleh mulai berubah dan berkembang.

Oleh-oleh kini berevolusi menjadi berbagai bentuk seperti asbak, gantungan kunci, patung-patung kecil, magnet kulkas, dan yang lainnya. Oleh-oleh yang berbentuk kuliner pun bukan berupa bahan mentah, melainkan olahan hasil bumiyang awet, seperti asinan dan keripik.

Kisah Cinta Dua Budaya dalam Lunpia, Oleh-Oleh Legendaris Semarang

Oleh-Oleh sebagai Diplomasi Budaya

Oleh-oleh sebagai bentuk diplomasi budaya. Kok, bisa? Ketika kita datang ke suatu tempat baru, tentu tempat itu mempunyai keunikannya masing-masing. Bisa dari makanan khas hasil bumi, karya kreatif dari potensi alamnya, dan kondisi sosialnya.

Misalkan saat kita datang ke Bali dan membawa gantungan kunci Tari Pendet. Itu dapat memberikan arti bahwa daerah tersebut banyak penari atau industri tarinya sangat maju.

Bukan hanya sebagai cindera mata, nyatanya oleh-oleh juga mewakili citra sebuah daerah. Semakin unik dan khas oleh-oleh di daerah tersebut, maka akan lebih dikenang dan dikenal di hati wisatawan. Hal ini menjadi penting, karena oleh-oleh menjadi sesuatu yang lekat untuk penanda sebuah kota.

Makanan sebagai Perekat Rasa

Biasanya ketika akan berkunjung ke sanak saudara, kita terbiasa memberikan hadiah atau buah tangan, salah satunya makanan. Tentunya, hal ini didasari karena makanan biasanya akan lebih menarik bila dikonsumsi bersama-sama dan sebagai perekat rasa.

Berbagai olahan makanan, kini juga sudah dikreasikan dengan lebih modern, mulai dari packaging hingga kualitas makanan. Para penjajanya pun juga berlomba-lomba untuk mengkreasikan jualannya supaya lebih menarik peminatnya. Bahkan, makanan old style pun kini juga bertransformasi mengikuti tren.

Cinderamata sebagai Ungkapan Tali Kasih

Cinderamata biasanya disebut juga dengan souvenir. Menurut Sosiolog Lugina, souvenir merupakan produk, objek, atau material yang menyambungkan antara pembeli, penjual, dan tempat. Sehingga, ikatan memori dengan tempat yang pernah didatangi tidak hilang atau dengan kata lain sebagai pembuktian bahwa pernah ke sana.

Sejalan dengan adat ketimuran, khususnya di Indonesia yang mempunyai karakter ramah tamah, tradisi memberi oleh-oleh atau buah tangan ini berasal dari kultur yang sudah terbentuk, sehingga dapat ditandai dengan memberikan cinderamata kepada orang-orang terdekat.

Berbagai souvenir yang dapat dijadikan oleh-oleh biasanya berbentuk gantungan kunci, magnet kulkas, kerajinan tangan, ukir-ukiran atau kreasi pahat kayu, hiasan dinding dan berbagai aksesoris yang lainnya. Bahkan industri fashion pun saat ini juga dapat dijadikan oleh-oleh. Misalkan saja kain lurik dari Yogyakarta, kain tenun dari Sumatra, NTT, NTB, Bali, Sulawesi dan yang lainnya.

Ragam Oleh-Oleh Khas Indonesia, Pengaruh Historis dan Letak Geografisnya



Sumber:

https://ejournal.undip.ac.id/index.php/ip/article/download/50779/22704

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

RP
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini