Patriarki Musuh Perempuan Sejak Dulu, Mengulas Perjuangan Raden Ajeng Kartini

Patriarki Musuh Perempuan Sejak Dulu, Mengulas Perjuangan Raden Ajeng Kartini
info gambar utama

Perempuan hebat merupakan gambaran dari keteguhan, keberanian, dan kegigihan dalam menghadapi tantangan serta mengubah paradigma yang ada. Salah satu contoh perempuan hebat yang dihormati dan diinspirasi di Indonesia adalah Raden Ajeng Kartini, yang dikenal sebagai salah satu tokoh emansipasi wanita terbesar dalam sejarah Indonesia.

Kisah perjuangan Kartini melawan patriarki tidak hanya memengaruhi perkembangan masyarakat Indonesia pada zamannya, tetapi juga memiliki dampak yang terasa hingga saat ini.

Kartini lahir pada tahun 1879 di desa Mayong, Jepara, Jawa Tengah, di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Meskipun lahir dari keluarga bangsawan Jawa, Kartini dan keluarganya tetap terikat oleh norma-norma patriarki yang mengatur peran dan status perempuan dalam masyarakat.

Namun, Kartini tidak puas dengan kehidupan terbatas yang dijalani oleh perempuan pada zamannya. Ia memiliki keinginan yang kuat untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi dan memperjuangkan hak-hak yang setara dengan kaum pria.

Salah satu aspek paling menonjol dari perjuangan Kartini adalah keinginannya untuk memberikan akses pendidikan yang lebih baik bagi perempuan. Pada zamannya, pendidikan untuk perempuan sangat terbatas, bahkan bagi mereka yang berasal dari keluarga bangsawan sekalipun.

Kartini menyadari bahwa pendidikan adalah kunci untuk membebaskan perempuan dari keterbatasan dan ketergantungan mereka terhadap pria. Melalui surat-surat yang ditulisnya kepada teman-temannya di Belanda, Kartini mengungkapkan impian dan visinya tentang pentingnya pendidikan bagi perempuan.

Budaya Patriarki dan Dampaknya Terhadap Kesetaraan Gender bagi Laki-laki

Selain itu, Kartini juga menentang praktik pernikahan yang terjadi pada zamannya, di mana perempuan sering kali dinikahkan secara dini dan dipaksa untuk hidup dalam peran yang terbatas sebagai istri dan ibu rumah tangga. Kartini bermimpi tentang kebebasan untuk memilih pasangan hidupnya sendiri dan hidup sebagai individu yang mandiri.

Namun, ia menyadari bahwa perubahan yang diinginkannya tidak akan terjadi secara instan. Ia menyebut dirinya sendiri sebagai "biji kecil" yang berusaha menanam benih-benih perubahan yang akan tumbuh dan berkembang di masa depan.

Perjuangan Kartini melawan patriarki tidak hanya mempengaruhi kehidupan perempuan pada zamannya, tetapi juga memicu gerakan emansipasi wanita di Indonesia. Setelah kematiannya pada usia yang masih muda, surat-surat Kartini diterbitkan dan menjadi inspirasi bagi banyak orang.

Gerakan Kartiniisme, yang didasarkan pada gagasan-gagasan Kartini tentang pendidikan dan kebebasan perempuan, mulai muncul dan menginspirasi banyak perempuan Indonesia untuk berjuang demi hak-hak mereka.

Dalam konteks sejarah Indonesia, Kartini dianggap sebagai salah satu pahlawan nasional yang memberikan kontribusi besar dalam perjuangan untuk kesetaraan gender. Hari lahirnya, tanggal 21 April, dirayakan sebagai Hari Kartini setiap tahunnya di Indonesia, sebagai penghormatan atas perjuangannya yang menginspirasi.

Patriarki Masih Ada di Zaman Modern

Kartini bukan hanya sekadar simbol, tetapi juga contoh nyata dari kekuatan individu untuk mengubah dunia, bahkan dalam situasi yang penuh dengan tantangan dan hambatan.

Adapun faktor-faktor yang membuat patriarki masih ada sampai zaman modern ini dikutip dari IDN Times:

1. Praktik Pembagian Kerja Patriarki Sudah Berlangsung Sejak Dulu

Sejak dahulu pada masa berburu, praktik patriarki sudah secara tidak langsung terjadi. Pada saat itulah, kaum laki-laki bekerja di luar huniannya, berburu, dan mencari makanan.

Memasuki masa bercocok tanam, ada alternatif pekerjaan baru, yaitu menanam tumbuhan pangan. Sementara perempuan akan merawat anak, memasak buruan, atau keluar pergi ketempat yang tidak terlalu jauh untuk mencari buah-buahan.

Hal ini tampaknya terlihat adil, akan tetapi akan menjadi salah jika perempuan ingin keluar dari zona nyaman mereka ingin berkarya, bekerja, dan berprestasi. Namun, dilarang karena mereka perempuan.

Agar Tidak Saling Berebut Kebenaran, Pahami dulu Perbedaan Sistem Matriarki dan Patriarki

2. Diwariskan dari Orang Tua Turun-temurun secara Tidak Langsung

Hingga kini, banyak ujaran seperti perempuan tidak boleh jorok, bangun siang, harus berpenampilan rapi, dan sebagainya. Memang ini semua baik untuk diri kita. Namun, dengan konteks yang sedemikian rupa, bukankah seakan-akan laki-laki diberikan toleransi lebih besar untuk itu semua?

Bagaimana jika perempuan bangun siang karena bekerja malam dan berjuang mati-matian demi masa depannya sendiri dan keluarga? Bagaimana jika ia jorok dan kurang menarik, tapi prestasinya tinggi? Akankah orang melihat sisi positifnya ketimbang buruknya saja?

Kini, iklim kapitalisme juga ikut-ikutan melanggengkan patriarki. Lihat saja bagaimana perempuan digambarkan dalam beberapa pariwara. Melihat iklan parfum, busana, atau kosmetik yang beredar, seakan-akan mereka digambarkan sepertu sosok yang hanya memikirkan penampilannya saja.

3. Menjunjung Patriarki Atas Nama Aturan Adat dan Agama

Sebagian daerah di Indonesia memang masih memegang kuat aturan adat yang menjadikan posisi laki-laki lebih tinggi. Ada juga pandangan dalam agama yang memposisikan pria sebagai pemimpin, sehingga wanita tak patut berpendapat sebagai yang utama.

Hal ini sebenarnya tidak ada masalahnya kalau perempuan masih diberikan hak maju dan mewujudkan pengembangan kepribadiannya. Namun, sekali lagi, tidak semua orang bijak memandang aturan ini. Malah, ada yang menggunakannya untuk memuluskan semua kepentingan pribadi.

Seringnya dilontarkan pertanyaan klasik seperti "Kapan menikah?", disadari atau tidak, patriarkisme juga masih dijunjung masyarakat. Kita pasti tidak asing lagi dengan hal ini.

Dari sisi laki-laki, ada anggapan bahwa laki-laki harus kuat, tegas, tidak boleh menangis, atau lemah. Sementara perempuan sebaliknya, jangan terlalu mandiri atau lelaki akan 'takut' mendekat.

Sebenarnya, hal ini bisa diubah jika perempuan dan laki-laki tidak diperlakukan dengan cap-cap tertentu. Kesetaaran bisa didapat ketika masing-masing tidak dianggap harus ini dan itu di luar kemampuan mereka.

Dengan begitu pun, tidak ada semacam "balas dendam" untuk menjadi apa yang diharapkan mamasyarakat.

Namun, meskipun telah banyak kemajuan yang dicapai dalam memperjuangkan kesetaraan gender di Indonesia, sejak zaman Kartini, tantangan masih belum teratasi sepenuhnya. Masih ada berbagai bentuk diskriminasi dan ketidaksetaraan yang dihadapi oleh perempuan di berbagai bidang kehidupan, baik itu dalam hal pendidikan, pekerjaan, maupun kehidupan sosial dan politik.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus mengambil inspirasi dari perjuangan Kartini dan pahlawan-pahlawan perempuan lainnya. Serta untuk terus berjuang demi terciptanya masyarakat yang lebih adil dan setara bagi semua individu, tanpa memandang jenis kelamin mereka.

Girls on The Rise! Girl Up Semarang Ajak Perempuan Muda Berani Dobrak Patriarki

Dalam mengenang Kartini dan perjuangannya yang luar biasa, kita tidak hanya mengenang masa lalu, tetapi juga mengambil inspirasi dan motivasi untuk terus bergerak maju menuju masa depan yang lebih baik.

Kartini adalah simbol harapan dan kekuatan bagi semua perempuan Indonesia, mengingatkan kita bahwa dengan kegigihan, keteguhan, dan tekad yang kuat. Tidak ada hal yang tidak mungkin untuk dicapai, bahkan dalam menghadapi sistem patriarki yang kuat sekalipun.

Sumber referensi:

https://www.idntimes.com/life/women/vita/alasan-budaya-patriarki-masih-ada-di-indonesia?page=all

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

WA
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini