Indonesia Kaya Perempuan Penulis Potensial

Indonesia Kaya Perempuan Penulis Potensial
info gambar utama

Ketika aku pertama kali memasuki dunia menulis dengan mengirimkan karya ke berbagai media massa cetak yang berhonor, aku tidak punya gambaran apa pun mengenai dunia ini.

Bagiku literasi adalah hal baru jika hendak menjadikannya sebagai profesi. Segala sesuatu yang kubaca lewat berbagai literatur tentang menulis dan penulis, hanya bisa kupahami jika telah menjalaninya sendiri.

Maka begitulah aku berproses sebagai perempuan penulis, jatuh-bangun dalam meniti karier jenjang kepenulisan. Berjalan lambat dan tidak mudah, sampai waktu menuntunku untuk mengenal banyak orang yang sedunia, bahkan bergabung dalam komunitas kepenulisan serta bahasa.

Semuanya bukan hal yang instan, tetapi penting bagiku untuk bergabung dalam komunitas penulis. Demi pengembangan diri dan relasi, demi bertambahnya pengetahuan dan cara mengaplikasikan, demi kebutuhan mendasar untuk bersosialisasi, demi memperlancar rezeki, dan demi lainnya yang relevan untuk kujalani.

Semua “demi” itu adalah hal yang menantang sekaligus menyenangkan. Menantang untuk dijalani karena proses awalnya tidak mudah, menyenangkan karena pada akhirnya berbuah hasil manis setelah melalui berbagai kepahitan.

Kamu bisa menyebutnya sebagai buah ikhtiar. Ya, usaha tidak akan mengkhianati hasil asal kamu fokus dan konsisten meski harus alami beragam kegagalan.

Aku berkaca dari kisah Amy Tan, novelis yang kukagumi. Untuk menghasilkan kesuksesan dia harus alami alergi dan gatal-gatal karena tekanan psikis setelah keberhasilan novel The Joy Luck Club.

Ada banyak omongan negatif yang menghampirinya, membuatnya down karena berdampak psikologis. Bahwa kesuksesan novel pertama akan memengaruhi keberhasilan novel keduanya; bahwa yang kedua tidak akan sebaik yang pertama, bahwa yang kedua akan gagal, bahwa yang kedua akan blablabla.

Betapa komentar negatif memberi pengaruh energi negatif bagi jiwa dan tubuh Amy. Ia depresi dihantui keberhasilan yang harus dipertahankan. Pada titik itu segala keyakinan dirinya memudar karena ucapan tidak berdasar.

Obat alergi atau gatal tidak membantunya sama sekali, sampai Amy memutuskan pindah rumah dan mengganti nomor telefonnya. Sebuah upaya “melarikan diri” dari komentator sok tahu yang terlalu menyinisinya, bahkan sesama penulis yang ingin belajar darinya atau menawarkan karyanya untuk diterbitkan atas nama Amy Tan.

Semua itu menjadi beban karena sebagai perempuan penulis tentu halus perasaan. Karya Amy sendiri mencerminkan kehalusan khas percampuran budaya Cina-Amerika.

Setelah menepi dan menyepi dari ingar-bingar pergaulan dan fokus untuk mempersiapkan karya keduanya dengan “berdarah-darah” dan banyak bantuan dari berbagai pihak yang peduli, seperti editor sampai sahabat, Amy Tan sukses membuktikan bahwa novel keduanya pun tetap yang terbaik.

Bagiku The Kitchen God’s Wife justru lebih baik. Novel tebal itu menawan untuk berbagai alasan. Aku terpesona dengan jalinan cerita dan pilihan bahasanya. Karya sastra yang dibalut bahasa mudah dicerna akan mendekatkan pembacanya.

Bagiku yang menarik dari kisahan Amy Tan adalah akulturasi budaya antara dua bangsa dan negara,. Dia memberi kontribusi melalui karya sastra yang menawan banyak pembaca dari berbagai negara. Karya laris kelas dunia.

Lalu bagaimanakontribusi perempuan penulis Indonesia?

Ada banyak perempuan penulis di Indonesia dan itu adalah hal baik. Dunia digital telah memudahkan para perempuan yang menggeluti literasi agar bisa membangun atau terhubung dengan jaringan. Jaringan yang terbentuk itu pada akhirnya akan membantu mereka untuk bisa mengembangkan diri.

Hal yang konyol dariku kala baru memasuki dunia menulis adalah semangat untuk mengenal feminis. Itu memang hanya semacam euforia karena pengaruh bacaan.

Apalagi Ayu Utami tengah populer dengan novel Saman. Aku hanya bergairah karena merasa bahwa perempuan penulis di Indonesia masih minoritas. Itu anggapan salah!

Perempuan penulis di Indonesia, yang populer maupun tidak, banyak tersebar di mana-mana hanya gaung mereka kurang bergema. Itu berkaitan dengan sarana.

Zaman telah berubah, sarana dan prasarana yang tersedia serta kemudahan untuk mengaksesnya membuat keberadaan perempuan penulis kian jelas.

Aku suka membaca karya mereka karena terasa dekat dengan duniaku. Sesuatu yang intim dengan hidupku. Mungkin bacaan berat yang pernah kulahap bisa menambah wawasan, tetapi bacaan yang dekat dengan keseharian lebih meringankan. Ringan untuk kupahami dengan senang hati tetapi mengisi.

Ada banyak nama perempuan penulis di Indonesia, yang terkenal maupun tidak. Namum bagiku mereka hebat dengan kiprahnya sebab telah berjuang keras agar bisa mencapai posisi seperti sekarang.

Teman-temanku di dunia maya kebanyakan berprofesi sebagai penulis, atau setidaknya suka membaca dan menulis, karena itu berandaku diriuhkan kabar atau status yang selalu berkaitan dengan literasi dan literatur.

Menakjubkannya mereka bisa menghasilkan banyak karya yang menginspirasi. Apa pun jenis bukunya tetap memberi kontribusi berarti bagi Indonesia lewat karya. Mereka adalah anak bangsa yang berbuat demi sesama anak bangsa dengan aksara.

Menjadikan Indonesia surga literasi

Seperti semacam utopia karena minat baca nasyarakat di Indonesia masih minim. Adanya gawai dalam genggaman tidak serta-merta menjadikan mereka cerdas literatur apalagi literasi, karena mata tidak selalu digunakan untuk membaca cermati tulisan dengan benar, maka jari bisa khilaf menyebarkan hoaks. Apalagi jika telah diprovokasi tanpa menggunakan nalar untuk mengecek kebenaran suatu berita.

Literasi hanya bisa diakrabi dengan literatur. Menulis status di media sosial seperti Facebook yang masih menjangkau banyak kalangan, seperti yang dilakukan kawan mayaku, tidak selalu menggunakan bahasa yang baik dan benar.

Bahasa Indonesia tetapi tidak berkaidah baik secara kata sampai tanda baca. Seakan bahasa Indonesia tidaklah penting benar untuk diterapkan.

Adakah yang berkenan berjuang bersamaku untuk mengingatkan? Aku prihatin karena kemampuan berbahasa bangsaku ini seakan kurang menghargai bahasa nasionalnya.

Masih jauh untuk menjadikan Indonesia surga literasi jika minat baca masyarakat masih rendah dan seakan meremehkan kaidah. Pondasi literatur harus dibangun terlebih dulu agar Indonesia bisa menjadi surga literasi.

Ada rasa cemas dan pesimis mengingat kebiasaan orang sekitar di sini yang tidak jauh-jauh amat, bahwa gawai canggih lebih menaikkan gengsi daripada ilmu yang diperoleh dari literatur beragam bentuk.

Pejuang literasi yang kukenal

Mereka perempuan hebat, dikenal atau tidak bagiku mereka sudah hebat. Aku mengambil Anna Farida dan Leyla Hana sebagai contoh. Anna adalah penulis beragam buku, Leyla yang pada mulanya menulis di berbagai media cetak dan karyanya telah banyak dibukukan, beralih media untuk menyebarkan karya buah pemikirannya lewat blog.

Anna lebih sebagai mentor kepenulisan di Ibu-ibu Doyan Nulis (IIDN) dan Sekolah Perempuan, murid-muridnya sekarang banyak yang sukses karena telah menerapkan ilmu literasi.

Leyla yang pada mulanya mentor menulis di grup Be aWriter (BAW), kini lebih fokus pada blog sebagai narablog (blogger). Ia banyak mengabarkan hal baik di dalamnya, ulasan produk sampai kisah keseharian mewarna blognya. Yang kusuka karena telah menjadi corong suara perubahan lewat berbagai acara yang diliput dan dituliskannya. Kuharap semoga ada pengikut yang terinspirasi dengan kiprahnya.

Anna Farida dan Leyla Hana hanya dua contoh perempuan penulis yang berbuat demi diri sendiri dan orang lain. Di Indonesia tentunya ada banyak insan seperti mereka. Bagaimanapun, perubahan selalu dibutuhkan.

Bisakah kita, perempuan penulis Indonesia, menjadi agen perubahan demi cita-cita dan optimisme tentang Indonesia yang lebih baik?

Sumber: Majalah Intisari yang memuat profil Amy Tan dan majalah Femina yang memuat cerpennya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

RS
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini