Frans Kaisiepo, Pemersatu Bumi Cendrawasih ke Pangkuan NKRI

Frans Kaisiepo, Pemersatu Bumi Cendrawasih ke Pangkuan NKRI
info gambar utama

Sebuah desa kecil di dataran subur di Biak Barat, Teluk Cendrawasih (sekarang Biak Numfor) yang bernama Wardo, diberikan anugerah terbesarnya dalam lintasan sejarah bangsa Indonesia.

Kala itu, 10 Oktober 1921, tangisan seorang bayi memecah langit Biak. Seketika itu juga, kebahagiaan dirasakan oleh keluarga Kaisiepo. Mereka dikarunia anak pertama.

Oleh keluarga Kaisiepo, bayi itu diberi nama Frans. Sesuai dengan tradisi di sana, maka ia meneruskan garis keturunan keluarganya dengan menyematkan nama keluarga di belakang namanya.

Frans Kaisiepo, adalah seorang anak yang kelak menjadi penggerak masyarakatnya dalam usaha pengintegrasian Bumi Cendrawasih berpuluh tahun setelah waktu kelahirannya. Ia adalah pahlawan bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena telah menyatukan Papua kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.

Sudah Menonjol Sejak Belia

Frans lahir dari pasangan Albert dan Alberthina, ia merupakan anak pertama dari enam bersaudara. Orang tua Frans adalah pasangan suami istri yang memimpin suku di tempat tinggalnya.

Sejak muda, ayah Frans, Albert, memiliki keterampilan sebagai pandai besi yang sangat bermanfaat dalam berbagai situasi. Albert sangat ahli dalam membuat alat-alat rumah tangga dan senjata sederhana dari tangan terampilnya. Mungkin karena bakat turunan yang diwariskan dari ayahnya, membuat Frans menjadi anak yang cerdas dan tangkas.

Kehidupan keluarga Kaisiepo memiliki kisah yang pedih selang beberapa tahun setelah kelahiran anak pertamanya. Tidak lama setelah Frans menginjak usia 10 tahun, ibunya meninggal dunia.

Kepergian ibunya di usia yang belia, meninggalkan kesedihan yang sangat mendalam. Tambah lagi, kesedihan itu diperparah dengan kepergian (meninggal dunia) sang ayah yang tidak berselang lama setelah ibunya. Sejak kecil, Frans sudah menjadi seorang yatim piatu.

Karena kepergian kedua orang tuanya di usia yang masih sangat belia, Frans kecil akhirnya diasuh oleh keluarga terdekatnya yang bernama Tante Nay.

Semasa kecil, Frans mendapatkan lingkungan yang cukup mendukung dalam pembentukan karakter kepemimpinannya. Ia tumbuh bersama teman-teman sebaya dan mempunyai pergaulan yang baik di masyarakat.

Alam dan budaya di sekitarnya juga turut berkontribusi membentuk perilakunya.Walaupun ia tumbuh tanpa orang tua kandung. Hal itu justru membentuk dirinya menjadi seorang pribadi yang tangguh dan memiliki jiwa kepemimpinan.

frans kaisiepo
info gambar

Dalam berbagai perkara, jiwa kepemimpinan Frans Kaisiepo sudah nampak secara jelas. Salah satu peristiwa yang paling dikenang adalah ketika terjadi perselisihan antara dua kampung yang bertetangga. Frans selalu hadir untuk mendamaikan situasi.

Kemampuannya dalam menyelesaikan perselisihan, menurut masyarakat dianggap sebagai bakat yang diturunkan dari Albert Kaisiepo, ayahnya. “Semasa hidupnya, Albert memang dikenal sebagai seorang kepala suku yang sangat dihormati,” seperti dikutip dari Tokoh Indonesia Teladan (2017)terbitan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Seiring berjalannya waktu, Frans yang menurut masyarakat mewarisi talenta dari sang ayah, tumbuh menjadi seorang pemuda yang tangkas, cerdas, dan bijaksana.

Frans muda mengenyam pendidikan di sekolah rakyat di desanya atau disebut Dorsschool B. Ia menjalani pendidikan di Dorsschool B sejak tahun 1928 hingga 1931. Beranjak remaja, Frans melanjutkan pendidikannya di LVVS Korido dari tahun 1931 hingga 1934. Kemudian melanjutkannya lagi ke Sekolah Guru Normalis di Manokwari pada tahun 1934 sampai 1936.

Frans Kaisiepo bisa dibilang termasuk dalam angkatan pertama orang asli Papua yang mengenyam pendidikan tinggi. Masyarakat sekitar menaruh rasa hormat padanya karena kecerdasan dan keteladanan perilakunya.

Sebagai anak pertama dari seorang kepala suku, ia tetap dihormati meski ayahnya telah tiada. Frans muda kerap memikul tanggung jawab dalam memimpin perang antar suku. Kala itu, perang antar suku adalah hal yang wajar karena merupakan bagian dari tradisi berbagai suku di wilayah Papua.

Dalam kebudayaan masyarakat Biak Numfor, terdapat kepercayaan bahwa seorang kepala suku juga merupakan seorang panglima perang. Ada sebuah predikat yang melekat terhadap seseorang yang menjadi pemimpin dalam peperangan. Predikat tersebut adalah “mambre”, yang artinya berani dan patriotik.

Seorang mambre akan terus berjuang untuk orang-orang yang lemah. Ia juga harus menjaga kehormatan dan kebanggaan sukunya dari ancaman suku lain. Budaya atau tradisi lain yang juga harus dijalani Frans adalah kewajiban merantau bagi seorang pemuda di Biak Numfor.

Bagi masyarakat di sana, para pemuda yang sudah berusia dua puluh tahun harus meninggalkan keluarganya. Melalui sebuah upacara simbolis, para pemuda itu dianggap sudah dewasa dan harus bisa hidup mandiri serta berbaur di masyarakat.

Dengan berbagai tradisi luhur dan kehidupan di lingkungannya itulah, Frans Kaisiepo digembleng menjadi seseorang yang memiliki jiwa dan karakter seorang pemimpin. Dan sejak di usia belia, Frans telah terlihat menonjol dibanding teman-teman sebayanya.

Berguru Pada Seorang Nasionalis

Ketika beranjak dewasa dan selesai menempuh pendidikan dasar. Frans melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi. Ia memilih Papua Bestuur School atau yang juga dikenal dengan sekolah pamong praja di Hollandia (sekarang Jayapura).

Sekolah tersebut didirikan untuk mendidik calon pegawai pemerintah Hindia Belanda. Pada saat Frans bersekolah di sana, tentara Jepang sudah menduduki sebagian wilayah Indonesia dan mendesak pemerintahan kolonial Belanda.

Hal itu membuat semakin minimnya jumlah pegawai pemerintah Hindia Belanda yang memiliki keterampilan administrasi pemerintahan di wilayah Papua.

Karena kebutuhan tenaga terampil, pada tahun 1944, Residen J.P. van Eechoud mendirikan sekolah polisi dan sekolah pamong praja. Dari sekolah itu, menghasilkan banyak golongan terpelajar di Papua, termasuk Frans Kaisiepo. Banyak dari para pelajar itu kelak menjadi pejuang yang saling bahu-membahu membangun Republik Indonesia.

Terdapat kisah menarik yang menjadi titik awal tumbuhnya jiwa nasionalisme keindonesiaan pada diri Frans Kaisiepo saat ia bersekolah di Papua Bestuur School. Tahun 1945, Frans bertemu seorang nasionalis lulusan Taman Siswa yang didirikan Ki Hajar Dewantara. Nasionalis itu bernama Sugoro Atmoprasojo, yang tengah menjadi tahanan politik di Digul.

“Soegoro adalah orang pertama yang memperkenalkan nilai-nilai nasionalisme Indonesia kepada para siswa,” ujar Corinus Krey, seperti dikutip Bernarda Meteray dalam Nasionalisme Ganda Orang Papua (2012), dilansir dari Tirto.id.

Karena pengaruh dari Sugoro, Frans bersama kawan-kawan seperguruannya, semakin memiliki garis politik yang cukup jelas dengan menjadi nasionalis pro-Indonesia. Mereka mulai memiliki rasa kebanggaan terhadap Indonesia.

frans kaisiepo
info gambar

Sebagai orang terpelajar, Frans tak suka dengan kata Papua. Ia menganggap, nama itu mengandung pelecehan dan penghinaan.

Dikutip dari Historia.id, kata Papua merupakan sebutan dari pendatang asal Maluku, pua-pua yang berarti keriting. Kata itu mengandung kesan merendahkan orang lokal.

Ia memperkenalkan kata Irian yang berasal dari bahasa asli Biak. Irian artinya panas yang diserap dari tradisi pelaut Biak.Biasanya, pelaut Biak yang hendak menuju Pulau Papua selalu mengharapkan panas matahari untuk melenyapkan kabut yang menyelubungi. Frans menerjemahkannya menjadi, “Cahaya yang mengusir kegelapan.”

Berkaitan dengan kata Irian itu, Frans pernah bikin ulah di Papua Bestuur School karena ketidaksukaannya. Ia menyuruh adiknya, Marcus Kaisiepo, yang juga menjadi pelajar di sekolah itu. Mengganti papan nama sekolah dari Papua Bestuur School menjadi Irian Bestuur School.

Menjadi Papua untuk Indonesia

Pertengahan dekade 1940-an, gagasan kemerdekaan Indonesia sudah tersebar di berbagai daerah seperti Jawa, Sumatera, Sulawesi hingga Papua. Seringkali para pelajar di Papua Bestuur School mengadakan rapat-rapat rahasia untuk menentang pemerintah Hindia Belanda.

Rapat rahasia itu membahas tentang keinginan integrasi Papua dengan Republik Indonesia. Dengan bimbingan Sugoro, ide kemerdekaan Indonesia menjadi landasan berdirinya dewan perwakilan wilayah Papua. Dewan perwakilan tersebut beranggotakan tokoh-tokoh berpengaruh di Papua seperti, Frans Kaisiepo, Silas Papare, Marthen Indey, S. D. Kawab hingga G. Saweri.

Beberapa hari sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan di Jakarta, Frans bersama rekan-rekannya telah mengumandangkan lagu Indonesia Raya di Kampung Harapan Jaya, Jayapura.

Hasrat nasionalismenya semakin tidak terbendung. Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta. Pada 31 Agustus 1945, tokoh-tokoh Papua tadi, mengibarkan bendera merah putih di Papua.

frans kaisiepo
info gambar

Situasi pasca kemerdekaan Indonesia di tanah Papua, baru dapat secara masif dirayakan oleh masyarakatnya beberapa waktu kemudian. Hal itu akibat terkendala jangkauan penyebaran informasi yang masih terbatas dan kembalinya Belanda yang membonceng NICA.

Pada saat perayaan kemerdekaan Indonesia yang kedua di tahun 1947, Silas Papare memimpin upacara bendera di Jayapura. Akibat aksinya itu, membuat ia dan para peserta upacara ditahan polisi Belanda selama tiga bulan di dalam penjara.

Waktu itu, Frans sudah kembali ke Biak dan menjadi Kepala Distrik Warsa, Biak Utara. Jarak Biak dengan Jayapura sekitar 40 menit menyeberangi lautan menggunakan pesawat Walaupun jaraknya jauh, antara Biak dan Jayapura, Frans tetap menjaga nasionalisme keindonesiaannya.

Ia bersama beberapa rekannya di Biak, pada 10 Juli 1946 mendirikan Partai Indonesia Merdeka (PIM). PIM adalah wujud perjuangan Frans dan kawan-kawannya yang berupaya mengintegrasikan Papua ke dalam NKRI.

Perjuangan Nama IRIAN

Sebagai salah satu tokoh penting di Papua, Frans juga kerap dilibatkan dalam beberapa perundingan antara pemerintah kolonial Belanda dan Republik Indonesia. Pada Konferensi Malino di Sulawesi Selatan yang membahas tentang pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT), Frans menjadi delegasi yang mewakili Papua.

Dalam konferensi itu, Frans mengusulkan penggantian nama Papua menjadi Irian. “Nama ini diberikan oleh almarhum Frans Kaisiepo di pertemuan Malino. Untuk menyebut tanah Papua yang terletak dekat khatulistiwa dan terpampang sinar matahari,” tulis Filep Karma dalam Seakan Kitorang Setengah Binatang, dikutip dari Tirto.id.

Soekarno kemudian menciptakan akronimnya sendiri untuk istilah Irian yang dicetuskan oleh Frans, yakni “Ikut Republik Indonesia Anti Nederland”.

Dalam konferensi itu, Frans termasuk penentang berdirinya Negara Indonesia Timur. Ia lebih memilih Papua bersatu dengan Sulawesi Utara bagian dari Indonesia.

Frans Kaisiepo
info gambar

Kiprah nasionalisme Frans lainnya terjadi pada penghujung tahun 1949. Kala itu Frans kembali ditunjuk menjadi delegasi dalam konferensi berskala internasional. Kali ini Frans dipilih menjadi ketua delegasi Nederland Nieuw Guinea untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda.

Pemilihan Frans sebagai ketua delegasi merupakan taktik Belanda untuk mendekatinya. Namun, karena rasa nasionalismenya terhadap Indonesia dan enggan didikte Belanda. Ia menolak tugas yang diberikan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Akibat aksi penolakannya itu, Frans dijebloskan ke dalam penjara terpencil dari tahun 1954 hingga 1961.

KMB berujung pada pengakuan kedaulatan dari pemerintah Belanda terhadap Republik Indonesia. Meskipun begitu, Belanda masih tetap ingin mempertahankan Papua sebagai bagian dari wilayahnya.

Konflik yang terjadi akibat pembebasan Papua terus berlangsung hingga Soekarno mengambil langkah tegas dengan melahirkan Tri Komando Rakyat atau Trikora. Trikora bertujuan untuk membebaskan Papua melalui berbagai langkah.

Pada upaya itu, Frans memegang peranan penting untuk mendukung terealisasinya Trikora. Hingga pada 15 Agustus 1963, melalui Perjanjian New York, Papua resmi dianggap masuk dalam wilayah kedaulatan Indonesia.

Keberhasilan perjuangan membebaskan Papua dari cengkeraman Belanda akhirnya membuahkan hasil. Frans kemudian ditunjuk menjadi gubernur di wilayah tersebut. Setelah bergabung dengan Indonesia, Papua diubah namanya menjadi Irian Jaya, tapi kini telah diubah lagi menjadi Papua.

Tugas yang paling krusial Frans Kaisiepo pada waktu menjabat sebagai gubernur Papua adalah mengawal Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Dengan gigih ia meyakinkan masyarakat Papua untuk tetap bergabung dengan Indonesia. Berkat perjuangannya, akhirnya Papua tetap menjadi bagian dari wilayah NKRI.

Mengingat jasa dan perjuangan Frans Kaisiepo dalam memperjuangkan Papua agar tetap berada di pangkuan Ibu Pertiwi. Pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden nomor 077/TK/1993.

Baca juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini