Cara Meraup ''Cuan'' dari Layangan Hias Saat Pandemi Covid-19

Cara Meraup ''Cuan'' dari Layangan Hias Saat Pandemi Covid-19
info gambar utama

Kawan GNFI, Minggu pagi (21/6/2020) tak ada hal yang lebih istimewa bagi penulis selain melakukan olahraga bersama keluarga, menyusuri jalan-jalan di kawasan Ciledug, Tangerang Kota menuju kawasan Graha Raya, Tangerang Selatan.

Kami bersepeda menyesap udara pagi yang segar, sambil mengayuh pedal sesekali memacu keringat. Dan ternyata, hal itu lazim dilakukan hampir semua keluarga di kawasan itu. Pukul 6 pagi WIB pun jalanan mulai ramai dengan orang-orang beraktivitas serupa.

Tapi ada yang tak biasa di pagi itu, selain melihat orang yang ramai melakukan aktivitas olahraga, sebagiannya menatap langit Tangerang yang penuh dengan layangan hias.

Sebagian ada yang membubung tinggi, namun sebagian ada pula yang baru bersiap menerbangkannya. Ukuran layang-layang pun tak biasa, yakni 1-2 meter, bahkan yang paling ekstrim ada yang hingga lime meter, membawanya pun harus menggunakan mobil pikap.

Ya, cukup ekstrem untuk hanya sekadar bermain layang-layang di lapangan kecil di pinggiran jalan raya, terlebih setahu penulis tak ada kompetisi layang-layang hias yang digelar.

Hingga kemudian pertanyaan timbul, mengapa orang-orang ini menaikan layangan di pagi hari dan mereka begitu antusias. Bukankah main layang-layang paling ideal dilakukan sore hari?

Dan, pertanyaan penulis pun terjawab pagi itu juga.

''Kalo pagi gini bandar banyak bang, kesempatan menangnya lebih besar,'' kata seorang remaja yang penulis tanya soal fenomena aneh ini, sebut saja ia Ilham (17) pelajar asal Desa Tajur, Ciledug.

''Hah, bandar? menang?" tanya penulis dalam hati. Bermain layangan kok pakai bandar.

Nama bandar memang identik dengan permainan judi yang tentunya ada pertaruhan untuk memenangkan atau menghasilkan uang.

Nah, buat kawan yang makin penasaran, jadi begini ceritanya kawan.

"Cuan" berlimpah para bandar dan peserta

Meski Ilham hanya bercerita secara singkat, namun pada akhirnya penulis memahami fenomena yang mulai marak ini, terlebih situasi saat ini merupakan proses penormalan baru saat masyarakat mulai kembali melakukan aktivitas seperti biasa.

Para pemain layangan hias, bisa mendaftarkan individu atau kelompoknya untuk menerbangkan layangan hias meraka di kawasan tertentu dengan membayar uang pendaftara.

Angkanya beragam, sekira Rp50 ribu hingga Rp500 ribu, tergantung hadiah uang yang akan diterima.

Untuk pendaftaran Rp50 ribu, bayaran itu bagi mereka setimpal dengan uang hadiah yang mereka peroleh--jika menang, yakni sekitar Rp500 ribu. Itupun jika layangan mereka berhasil manteng di langit selama enam jam.

Jadi, jika layangan mereka naik pukul 6 pagi, pukul 12 siang mereka bisa menurunkan dan pulang ke rumah sambil membawa cuan. Layangan yang bermain pada kategori ini berukuran relatif sedang, yakni memiliki lebar sekira 1-2 meter saja.

Sementara untuk yang berukuran besar--lima meter atau lebih--ditantang untuk menginvestasikan pendaftaran Rp500 ribu dengan ganjaran hadiah Rp5 juta. Itu juga jika layangan memenuhi keriteria mampu bertahan selama 12 jam non-stop di angkasa tanpa kendala.

Bayangkan, naik jam 6 pagi, turun jam 6 sore.

Terdengar gampang memang, namun nyatanya untuk sebuah layang-layang tetap stabil mengangkasa selama 6-12 jam tanpa kendala bukan perkara mudah. Butuh kerjasama tim--lazim terdiri atas tiga orang--dan harus pandai membaca arah angin.

Jika sial, baru mengangkasa beberapa saat, layangan langsung jatuh bahkan terbelit dengan benang layangan lain.

Soal bandar, adalah nama lain yang diistilahkan untuk penyelenggara. Ada penyelenggara independen, ada yang berasal dari komunitas, ada juga yang resmi diselenggarakan instansi tertentu dengan mendapatkan piala.

Sekali penyelenggaraan, jumlah pesertanya pun lumayan banyak, hingga mencapai 80-an peserta. Para bandar biasanya mengantongi uang Rp4 juta hingga Rp40 jutaan sekali penyelenggaraan. Uang itu tentunya untuk penyewaan lahan, membayar keamanan, dan memberikan hadiah bagi tiga pemenang.

Sebelum beranjak pergi, Ilham pun mengatakan dirinya dan beberapa kawannya hanya sekadar Runner. Nanti akan penulis ceritakan, apa itu runner.

Momentum dan kreativitas para peracik layangan

Akhirnya penulis bisa menemui Okta (19) pada Minggu siang, peracik layangan hias yang kerap menang kontes di kawasan Tangerang.

Ia menjelaskan, layangan hias memiliki beragam kategori, baik dari ukuran, penamaan, hingga spesifikasi, terlebih jika digunakan untuk sebuah kontes.

Dari penjelasan Okta yang kini aktif menjual beragam layangan hias di pinggir jalan maupun daring/online, kategori layangan hias atau layangan kontes pun beragam.

Ada layangan peteng yang berkumis dan memiliki suara nyaring, layangan koangan yang berekor panjang, layangan delta yang berbentuk kerucut, layangan pari yang berundak dan terdiri dari beberapa titik sayap, dan masih banyak lagi.

Okta yang workshop-nya berada di kawasan Parung Serab, Ciledug, mengaku belakangan laris menjual beragam model. Mulai dari yang ia buat sendiri hingga melalui pemesanan. Ukurannya pun beragam, 1-5 meter dengan banderol yang mengikuti spesifikasi.

Jika layangan dengan bentang satu meter, ia menjualnya Rp125-150 ribu, tergantung ragam coraknya. Sementara jika ukurannya lebih besar, bisa mencapai Rp500 ribu.

''Modalnya nggak seberapa bang, cuma bikinnya yang lama bisa 3-4 jam, nyerut bambu buat rangkanya harus pas, biar stabil pas dinaikin (diterbangkan),'' akunya.

layangan hias
info gambar

Bagi pencinta layangan hias, sambungnya, uang tak akan jadi soal. Yang terpenting, layangan nampak elok dan stabil ketika mengangkasa.

Bahkan, pemesanan layangan juga tak datang dari penggila kontes layangan, tapi juga dari orang yang menyukai olahraga.

''Makin tinggi layangan di atas, makin berat pula tarikannya, dan itu kayak olahraga bang. Makanya banyak juga yang pesen layangan emang buat olahraga. Biasanya ukurannya gede-gede,'' bebernya.

Dalam sepekan, Okta bisa melariskan setidaknya 10-15 layangan, dengan mengantongi uang Rp1-3 juta. Terlebih jika sedang musiman seperti ini.

''Saran saya sih kalo buat kontes, mendingan pesan sama yang sering menang. Dia tahu trik bikin rangkanya supaya manteng (stabil di udara),'' pungkasnya.

Lain itu, Jarot (26), salah satu peserta kontes layangan hias asal Perumahan Fortune, Graha Raya, ini mengaku menghabiskan uang hingga ratusan ribu untuk mendapatkan layangan yang ideal dan stabil di udara. Jika sudah stabil, Jarot bahkan bisa menggelontorkan 300-400 meter benang nilon menjulang ke angkasa.

"Awalnya hobi karena seru, tapi belakangan ada duitnya juga dari kontes, ya ikut aja,'' tandas pemenang kontes yang diselenggarakan pekan silam di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan, itu.

kontes layangan hias
info gambar

Tebusan yang tak murah

Sebelumya, ada istilah Runner di antara fenomena penyelenggaraan layangan hias ini. Runner merupakan istilah bagi pemburu layangan hias yang putus di angkasa.

Runner biasanya beraktivitas secara berkelompok yang terpencar di beberapa area. Mata mereka sigap memantau layangan hias yang limbung dan terhempas turun karena tak dapat aliran udara yang cukup di angkasa.

Satu buah layangan yang putus, bisa ditebus pemiliknya dari runner dengan harga Rp20 ribu hingga Rp200 ribu tergantung ukuran layangan. Terlebih jika layangan itu andalan kontes.

Jika apes, pemilik layangan rela menemukan layangannya di penjual layang-layang hias dan menebusnya. Karena umumnya, layangan hias akan berbeda satu dengan lainnya, dan biasanya terpampang nama pemiliknya.

Jika sedang beruntung, dalam sehari runner aktif bisa mendapatkan 4-6 layangan hias yang putus. Bisa dibayangkan uang yang akan mereka dapat, dengan hanya bermodal bensin--karena lazimnya runner menggunakan motor matik secara berkelompok.

Menurut keterangan Ilham, kelompok runner kebanyakan dari usia belia hingga remaja. Mereka pelari cepat, menjelajah jalan tikus, hingga pemanjat pohon maupun tembok yang andal.

Pengaruhnya terhadap ekonomi masyarakat

Lepas dari ragam cerita dan fenomena layangan hias yang marak belakangan ini, terselip secercah harapan bagi para pedagang kecil.

Sebut saja tukang baso, tukang siomay, tukang mi ayam, tukang bubur ayam, tukang ketoprak, tukang cilok, tukang kopi keliling, bahkan hingga tukang balon.

Kepada penulis, beberapa pedagang yang mangkal di sebuah area yang banyak menggelar kontes layangan hias, mengaku pendapatannya meningkat drastis. Bagi mereka, ini merupakan jawaban atas doa-doa setelah selama pandemi Covid-19 ekonomi keluarga mereka terjelembab.

''Lumayan bang, tiap pagi bisa habis 100 mangkok,'' kata penjual bubur ayam yang mangkal pada sebuah lapangan di kawasan Graha Raya.

Jika biasanya ia berdagang hingga jam 12 siang, semenjak ada kontes layangan hias dadakan ini, sejak buka dari jam 6 pagi, sekira jam 9 pagi pun dagangannya sudah tandas tak bersisa.

Hal serupa juga dikatakan tukang cilok, hingga tukang balon. Karena selain para peserta dan komunitas layang-layang yang memadati sepinggir area lapangan, para penonton yang usai berolahraga juga datang dengan keluarga maupun pasangan.

Yang pasti, anak mereka bakal minta jajan, baik itu makanan atau balon.

pedagang mangkal
info gambar

Pada akhirnya, cerita-cerita tadi menggambarkan betapa kreatifnya masyakarat Indonesia dalam upaya menjalankan roda ekonomi saat pandemi Covid-19 ini. Para peserta kontes layangan, bandar, runner, dan para pedagang, terdampak langsung secara ekonomi.

Indonesia yang kaya dengan ragam kultur dan budaya, memang selalu menakjubkan dengan cerita-cerita baru yang sebetulnya nampak sederhana.

Dari ragam kreativitas yang diciptakan, mereka bisa membuat ekosistem roda perekonomian untuk meneruskan nafas ekonomi, dan yang tak kalah penting agar dapur tetap ngebul.

Baca juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Mustafa Iman lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Mustafa Iman.

Terima kasih telah membaca sampai di sini