Sejarah Es Batu di Indonesia yang Dulu Harus Impor dari Amerika Serikat

Sejarah Es Batu di Indonesia yang Dulu Harus Impor dari Amerika Serikat
info gambar utama

Jenis minuman seperti Jonker Capero, Heineken’s Bier, Haatjes Bier, Pittig Hollandsch Pils, sampai bir pahit Belanda Cap Ayam hingga Koentji Bier—yang sebenarnya merek aslinya Beck’s Beer—buatan Jerman yang masuk ke Nusantara pada masa kolonial dulu adalah barang-barang yang menjadi pundi-pundi keuntungan.

Pemerintah Hindia Belanda mengambil cukai dari impor minuman-minuman beralkohol itu ke Nusantara. Bahkan hadirnya minuman impor ini disinyalir yang menjadi penyebab awal mula minuman keras—atau minuman fermentasi—tradisional mulai kehilangan popularitasnya.

Pasalnya seiring tingginya keuntungan yang diraup cukai impor minuman beralkohol, pemerintah Hindia Belanda membentuk komisi pemberantasan alkohol yang disebut Alcoholbestrijdings-commisie pada tahun 1918.

Alih-alih membentuk komisi tersebut, rupanya pemerintah Hindia Belanda malah ingin 'memberantas' minuman keras tradisional yang populer di kalangan masyarakat pribumi, seperti arak, badeg, dan ciu. Alasannya adalah jenis minuman beralkohol itu termasuk minuman 'gelap' tak berizin. Atau bisa dikatakan pemerintah Hindia Belanda tidak bisa menarik pajak dari minuman-minuman tradisional tersebut.

Semuanya ditulis dan dikisahkan lengkap oleh Achmad Sunjayadi dalam artikelnya yang berjudul Kuliner dalam Pariwisata Kolonial di Hindia Belanda, yang dimuat dalam satu buah buku berjudul Titik Balik Historiografi di Indonesia.

Meski begitu, tersohornya minuman alkohol impor itu juga berkat kehadiran aijerbatoe dibaca 'air batu' atau kini kita akan lebih mengenalnya dengan es batu.

''Tentunya bir dingin tersebut mampu membasahkan kerongkongan sekaligus menghilangkan dahaga para turis yang kelelahan setelah berpelesir di udara panas,'' tulis Sunjayadi dikutip dari JPNN.

Kehebohan di Nusantara Saat Es Batu Pertama Kali Tiba

Dikisahkan Harian Kompas edisi 19 Juni 1972, terjadi kehebohan di Nusantara pada tahun 1846. Tepatnya kehebohan itu terjadi pada 18 November 1846. Pasalnya sehari sebelumnya tersebar kabar bahwa kapal besar dari Boston, Amerika Serikat, telah melempar sauhnya. Kapal itu memuat 'air batu' yang dipesan oleh Roselie en Co, salah satu saudagar kaya dari Eropa.

Kala itu, pemerintah Hindia Belanda belum mempersiapkan aturan mengimpor es batu, yang ada hanya impor soal minuman keras saja. Saking hebohnya, semua orang banyak membicarakan soal es batu, yang mereka sebut sebagai ''batu-batu putih sejernih kristal, yang kalau dipegang bisa membuat tangan kaku.''

Pedagang es keliling di Batavia / Jawa 1910an dalam salah satu postcard keluaran G. C. T. van Dorp & Co dan kartu pelajaran abjad bahasa Belanda, menggambarkan toko penjual es dengan latar nama Petodjo Ijs. Tampak es batu masih digergaji dan ditimbang, pembeli memiliki semacam kotak untuk membawanya.
Pedagang es keliling di Batavia/Jawa 1910-an dalam salah satu postcard keluaran G. C. T. van Dorp & Co dan kartu pelajaran abjad bahasa Belanda, menggambarkan toko penjual es dengan latar nama Petodjo Ijs. Tampak es batu masih digergaji dan ditimbang oleh penjual, sementara pembeli memiliki semacam kotak untuk membawanya. Sumber: KITLV

Dikisahkan Denys Lombard dalam Nusa Jawa:Silang Budaya, Jaringan Asia (2008: 322), setelah kapal-kapal pengangkut es batu itu datang ke beberapa pelabuhan besar di Nusantara, hingga tahun 1869 banyak keluarga kaya yang tinggal di Batavia mengimpor ini. Bahkan mereka hanya mau minum berasal dari es yang mencair yang sudah didatangkan dari Boston itu.

Sebagai Sajian Mewah dan Obat Sariawan

Hingga tahun 1870, kegiatan impor es batu dari Amerika Serikat ke Batavia masih terus dilakukan. Roselie en Co bahkan menjual es batu tersebut dengan harga 10 sen untuk setiap 500 gramnya. Semakin meluasnya tren minum minuman beralkohol, salah satu pengusaha Eropa bernama David Gilet juga menjual es batu untuk kebutuhan pesta dengan biaya 15 gulden.

Semakin banyak permintaan akan es batu, surat kabar Javasche Courant yang dikutip Kompas pernah mewartakan 'teknologi' sederhana perihal cara penyimpanan es batu agar bisa bertahan lebih lama, yaitu dibungkus dengan selimut wol.

Bahkan khasiat es batu juga semakin meluas di kalangan bangsa Eropa. Selain berkhasiat untuk menyegarkan kerongkongan, es batu juga kerap dijadikan obat sariawan oleh pemerintah Hindia Belanda.

Pemerintah Hindia Belanda kala itu sanggup memberikan bonus sebesar 6.000 gulden untuk mereka yang sanggup mengirimkan es batu ke rumah sakit di Batavia. Yang nantinya digunakan untuk mengobati para tentara Belanda yang terkena sariawan.

Sementara di Semarang dan Surabaya, diketahui Pemerintah Hindia Belanda sanggup menyediakan bonus hingga 7.300 gulden bagi siapa saja yang sanggup mengantarkan es batu kepada para tentara Belanda. Tantangannya tentu saja es batu tersebut tidak boleh mencair saat diantarkan.

Pelopor Pengusaha Es Batu ''Asli'' Nusantara

Kejayaan kegiatan impor es batu perlahan pudar setelah mulai dibangunnya pabrik es di Nusantara. Denys Lombard mengisahkan baru pada tahun 1880, prosedur pembuatan amoniak, temuan Eropa, diimpor ke Jawa. Hal ini untuk meminimalisir impor es batu dari Boston. Dampaknya dalam waktu sepuluh tahun saja, pabrik es sudah dibangun di kota-kota besar dan tren minum menggunakan es batu lebih cepat menjamur.

Hingga akhir abad ke-19, es batu kala itu bukan lagi dikonsumsi oleh keluarga kaya. Dari ujung barat sampai ujung timur, masyarakat yang tinggal di desa, kota, bahkan sampai dipegunungan sudah mudah ditemui para pencinta es batu.

Yang awalnya perusahaan es adalah milik bangsa Eropa, namun dengan sangat cepat, dikatakan Lombard, bangsa China juga memanfaatkan keadaan tersebut. Tercatat salah satu pelopor pengusaha es batu di Nusantara dari bangsa China adalah Kwa Wan Hong, pengusaha dari Semarang. Tepatnya dia memulai bisnis ini sejak tahun 1895.

Warung dan depot es Van Buddingh di Batavia sekitar 1885-1915.
info gambar

Awalnya dia membangun usaha dan tiga pabrik es batu di Semarang, Tegal, dan Pekalongan pada 1910. Tak lama setelah itu bisnisnya pun bercuan tinggi. Hingga akhirnya memutuskan untuk membangun dua pabrik lagi di Surabaya. Pada tahun 1926, dia membangun pabrik terakhir di wilayah Pasar Turi. Baru pada 1928 Kwa Wan Hong akhirnya menetap di Rawa Bangke, tak jauh dari wilayah pabrik terakhirnya.

Bisnisnya ini terus maju, meski pada awal tahun 1970-an penggunaan lemari es listrik juga sedang menjadi tren baru di tengah masyarakat. ''Kebiasaan membeli es setiap hari pada orang Cina masih sangat luas'', tulis Lombard.

--

Sumber: Kompas | Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Jaringan Jawa (2008) | JPNN

--

Baca Juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dini Nurhadi Yasyi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dini Nurhadi Yasyi.

Terima kasih telah membaca sampai di sini