Menguak Kisah Cinta di Kehidupan Mahapatih Gajah Mada

Menguak Kisah Cinta di Kehidupan Mahapatih Gajah Mada
info gambar utama

Gajah Mada adalah sosok legenda yang terkenal dengan "Sumpah Palapa"-nya. Dia adalah Mahapatih Kerajaan Majapahit tersohor yang meneruskan doktrin politik Cakrawala Mandala Dwipantara, yang sebelumnya digagas oleh Raja Kertanagara dari Kerajaan Singhasari.

Semboyan Cakrawala Mandala Dwipantara bermakna cita-cita luhur menyatukan kerajaan-kerajaan di seluruh penjuru negeri atau Nusantara. Semboyan ini pun sebenarnya adalah merupakan pengembangan dari semboyan Cakrawala Mandala Jawa yang diusung oleh pendahulunya, yaitu Wisnuwardhana dan Narasinghamurti.

Jejak yang ditorehkan Mahapatih Gajah Mada adalah menyatukan banyak wilayah di Kepulauan Nusantara dengan Kerajaan Majapahit pada masa itu. Langkah ini sebenarnya sudah pernah ditempuh oleh Raja Kertanagara yang juga berhasil menyatukan seluruh wilayah Malaysia, Sumatra, Kalimantan, Nusantara bagian timur, dan seluruh Pulau Jawa di bawah kekuasaan Kerajaan Singhasari.

Kisah tentang keperkasaan Gajah Mada dalam mempersatukan wilayah nusantara telah begitu tersohor. Namun cerita mengenai kehidupan pribadi sang patih menyangkut siapa kekasih atau istrinya sangat sedikit sekali referensi yang ada.

Menukil dari Sindonews bedasarkan buku Kisah Cinta Gajah Mada, Kontroversi Kehidupan sang Mahapatih karya Gesta Bayuadhy, cetakan pertama 2015, disebutkan sebelum Gajah Mada menjadi prajurit Bhayangkara yang menjaga Prabu Jayanegara di Majapahit, dia juga pernah menjalin cinta dengan putri Demang Suryanata yang bernama Puranti.

Saat itu Gajah Mada dikenal sebagai seorang Bekel Dipa atau prajurit biasa yang mengabdi di Kahuripan. Sayangnya sang kekasih Puranti ketika itu telah dilamar oleh Raden Damar, putra seorang patih bernama Rangga Tanding di Kahuripan.

Fakta-Fakta "Mencengangkan" Gajah Mada yang Belum Banyak Diketahui

Tentu saja Demang Suryanata tidak bisa menolak lamaran tersebut mengingat dia adalah bawahan Patih Rangga Tanding. Sang Bekel Dipa (Gajah Mada) pun sudah menerima kenyataan ini dan bersedia mundur demi kebahagian sang kekasih Puranti.

Celakanya Raden Damar memergoki ketika Bekel Dipa sedang berduan dengan Puranti. Raden Damar Salah Paham, sehingga terjadilah pertarungan antara Bekel Dipa dengan Raden Damar.

Raden Damar tewas dalam pertarungan tersebut. Kisah cinta ini pun terputus karena sang Bekel Dipa pergi mengabdi ke Majapahit setelah peristiwa tersebut. Saat mengabdi di Majapahit inilah Gajah Mada berhasil masuk menjadi anggota satuan Bhayangkara pengawal raja.

Gajah Mada pun mampu menunjukan kehebatannya dengan menyelamatkan Sang Raja Prabu Jayanegara dari sasaran pemberontak. Sehingga karirnya melesat diangkat menjadi patih di Daha. Lalu karena kepiawaiannya, Gajah Mada lalu diangkat sebagai Patih Majapahit.

Menolak nafsu duniawi?

Setelah menjadi Patih Majapahit, Gajah Mada lalu mengucapkan Sumpah Palapanya dalam rangka mempersatukan wilayah nusantara. Inti dari Sumpah Palapanya adalah Gajah Mada tidak akan menikmati sesesuatu yang bersifat keduniawian sebelum mempersatukan nusantara.

Salah satu kenikmatan yang bersifat keduniawian bagi laki-laki adalah wanita. Dari buku karya Gesta Bayuadhy ini juga disebutkan kalau Gajah Mada adalah sesosok pimpinan yang tidak berambisi pada harta, tahta, dan wanita.

Sedangkan melalui novel biografi karya Langit Kresna Hadi berjudul Gajah Mada: Hamukti Palapa, disebutkan bahwa Mahapatih Gajah Mada adalah sosok pemimpin yang tidak berambisi kepada wanita.

Dalam salah satu bagian novel tersebut tersaji percakapan antara Gajah Mada dengan Mahapatih Arya Tadah, "Bagaimana aku bisa mewujudkan semua impianku itu jika aku terganggu makhluk perempuan bernama istri, yang merengek merajuk. Istri atau perempuan bagiku tidak ubahnya rasa lapar dan haus yang harus dilawan."

Kutipan percakapan tersebut hendak mengisyaratkan bahwa Mahapatih Gajah Mada dalam karier kepemimpinannya menjadikan cita-citanya yaitu menyatukan seluruh Nusantara dalam pangkuan Kerajaan Majapahit sebagai hal yang paling utama.

Namun dari Tutur Tinular (kisah yang diwariskan dari generasi ke generasi), disebutkan bahwa Mahapatih Gajah Mada pernah menjalin tautan asmara dengan Dyah Pitaloka Citaresmi, seorang Putri Kerajaan Sunda yang terkenal kecantikannya.

Berdiri dengan Gagah, Patung Gajah Mada di Mojokerto Pecahkan Rekor MURI Indonesia

Karena kecantikannya itu pula, Raja Hayam Wuruk berniat mempersuntingnya sebagai istri. Rencana tersebut gagal karena konon Gajah Mada berusaha menggagalkannya, sehingga terjadilah peristiwa akbar yang kita kenal sebagai Perang Bubat (1351). Cerita ini adalah salah satu versi yang beredar dan menjadi sebab-musabab terjadinya perang maha dahsyat itu.

Sebenarnya pada waktu itu Gajah Mada dan pasukannya diutus oleh Raja Hayam Wuruk untuk menjemput kedatangan rombongan dari Kerajaan Sunda yang membawa Putri Dyah Pitaloka Citaresmi. Niat itu ternyata kemudian tidak pernah terwujud, dengan tewasnya seluruh anggota rombongan, yang lalu disusul dengan kisah bunuh diri Putri Dyah Pitaloka.

Perang Bubat melibatkan pasukan Kerajaan Sunda yang dipimpin Maharaja Linggabuana melawan para prajurit Kerajaan Majapahit di bawah komando Mahapatih Gajah Mada. Perang hebat pun berkecamuk dan menewaskan Maharaja Linggabuana beserta seluruh pasukannya.

Namun kisah cinta antara Gajah Mada dengan Putri Dyah Pitaloka hingga berujung Perang Bubat banyak memunculkan perdebatan. Menurut Sejarawan Agus Sunyoto, langkanya sumber sejarah perihal cerita ini menimbulkan banyak tanda tanya.

"Munculnya berbagai spekulasi yang melahirkan berbagai varian cerita bersifat historiografi ataupun lisan seperti cerita bahwa Gajah Mada berasal dari Galuh, cinta terpendam Gajah Mada terhadap Dyah Pitaloka, dan bahkan kisah saling cinta antara Gajah Mada dan Dyah Pitaloka," ucapnya yang dinukil dari Serbasejarah.

Bahkan Agus menyampaikan cerita seperti itu lahir dari karangan-karangan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Ia menegaskan bahwa Perang Bubat tidak ada. Karena itu, tentu saja tidak tertulis dalam sejarah. Hanya saja, Belanda mengimajinasikan cerita tersebut dengan referensi melalui kitab Pararaton.

"Itu adalah sejarah buatan Belanda yang menyesatkan," ujarnya.

Aria Bebed putra Gajah Mada

Dari segala polemik dan peristiwa yang menyelubungi sosok Gajah Mada. Ada beberapa sumber yang menyebutkan Gajah Mada pernah menikah dengan Ni Gusti Ayu Bebed atau dikenal pula dengan nama Ken Bebed.

Pasalnya, hal ini berkaitan dengan topeng-topeng kuno yang disimpan di Puri Ageng Blahbatuh Bali. Topeng-topeng tersebut berkaitan erat dengan sosok Gajah Mada dan mertuanya, Ki Gusti Pinatih.

Mengutip dari Merdeka, menurut analisis H.H. Noosten dalam artikelnya yang berjudul Topeng-topeng Bersejarah di Pura Panataran Topeng Blahbatuh (Bali), Gajah Mada dinikahkan dengan Ni Gusti Ayu Bebed, putri Ki Gusti Pinatih sekaligus saudara angkat Gajah Mada.

Ken Bebed mempunyai peran yang cukup besar bagi karier Gajah Mada karena koneksi yang dimilikinya. Ayahnya merupakan salah satu patih di Majapahit.

Menurut keterangan juru kunci Air Terjun Madakaripura, Suhardi, Gajah Mada menjalin cinta dengan wanita yang dijodohkan dengannya itu sejak remaja, tepatnya di tanah Madakaripura. Menurut sang juru kunci, Gajah Mada memang menghabiskan masa kecil dan remajanya di tempat tersebut. Di sana pula dia belajar ilmu kanuragan dan politik.

Prasasti Aria Bebed yang ditemukan di Desa Bubunan, Kecamatan Sririt, Kabupaten Buleleng, Singaraja, Bali, juga menyebutkan Ken Bebed sebagai istri sah Gajah Mada. Namun menurut prasasti ini, Gajah Mada juga sempat menikah dan memiliki anak dengan putri pendeta Ki Dukuh Gedangan yang bernama Ni Luh Ayu Sekarini.

Awal Mula Pendirian Kerajaan Majapahit Ternyata Berasal dari Daerah Ini

Parasasti ini memuat cerita tentang Gajah Mada yang diutus Ratu Tribhuwana Tunggadewi untuk melakukan penyerbuan dan penaklukan terhadap Kerajaan Bali. Saat penaklukan Bali, Gajah Mada sempat mendatangi Pedukuhan Gedangan untuk bermeditasi.

Gajah Mada yang sempat tinggal dan melakukan meditasi di tempat itu sekitar kurang lebih empat bulanan sering bertemu dengan putri Ki Dukuh Gedangan yang bernama Ni Luh Ayu Sekarini. Dikisahkan Gajah Mada pun langsung jatuh hati terhadap Ni Luh Ayu Sekarini yang cantik jelita.

Lalu benih-benih cinta tumbuh diantara keduanya hingga sampai menikah. Sehingga Ni Luh Ayu Sekarini mengandung. Namun sebelum anaknya lahir, Gajah Mada harus kembali ke Mahapahit karena dipanggil Ratu Tribhuwana Tunggadewi.

Anak mereka kemudian diasuh oleh Ken Bebed yang tidak punya anak. Anak itu kemudian diberi nama Aria Bebed. Setelah beberapa lama tinggal di Majapahit, Aria Bebed kembali ke Bali dan beranak-pinak di pulau itu.

Sebelum Aria Bebed pulang, Gajah Mada memberikan hadiah berupa Pangastulan (Tempat Menyimpan Abu Leluhur Gajah Mada). Kepada Aria Bebed, Gajah Mada berpesan agar abu yang di Pagastulan di taburkan di sepanjang jalan yang dilaluinya.

Tempat yang ditaburi Abu Pagastulan akan menjadi wilayah kekuasaan Aria Bebed. Hendaklah pula Aria Bebed berhenti dan menetap di tempat terakhir yang ditaburi abu Pagastulan. Di sana Aria Bebed akan menjadi penguasa tertinggi.

Aria Bebed kemudian menuju Bali dan menetap di Desa Bwahan. Di sana Aria Bebed menikah dengan Nyi Ayu Rangga, putri Pangeran Pasek Wanagiri. Dari perkawinan itu lahir dua orang Putra yakni Aria Twas dan Nyi Gusti Ayu Wanagiri.

Prasasti tersebut ditulis pada Tahun Saka 1881 (1959 M). Ditinjau dari tahun pembuatannya, jelas Prasasti Aria Bebed umurnya amat muda sehingga dalam menanggapi isi kisah yang terkandung di dalamnya perlu telaah kritis.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

RK
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini