Melihat Penjara sebagai Tempat Tobat atau Sekolah Kejahatan bagi Terpidana?

Melihat Penjara sebagai Tempat Tobat atau Sekolah Kejahatan bagi Terpidana?
info gambar utama

Sistem penjara telah masuk ke Hindia Belanda pada abad ke 19. Sistem ini diatur dalam landasan formal pasal 10 Wetboek van Stafrecht voor de Inlanders in Nederlansch Indie atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terbitan 1872.

Menukil dari Historia, penjara berasal dari Eropa pada abad ke 17 digunakan untuk menggantikan hukuman badan dan mati. Dahulu sebelum ada penjara di Hindia Belanda, para terpidana akan terkena dua hukuman yakni kerja paksa (dwang arbeid) dan dipekerjakan (ter arbeid stellen).

Biasanya mereka akan dibuang ke luar daerah (verbanning), diperkerjakan untuk proyek-proyek besar dan tentunya dirantai. Para terpidana praktis tidak mendapatkan perlakuan yang layak sebagaimana mestinya.

"Akibatnya, kondisi kesehatan para terpidana sangat menyedihkan bahkan hampir setiap hari terjadi usaha pelarian," catat Nasirudin Acil dalam kolom Rujukan Pas.

Sejak 1905, penjara sentral wilayah (gewestelijke centralen) mulai dibuat untuk para pekerja paksa. Penjara saat itu dianggap sebagai sistem hukuman pencabutan kemerdekaan untuk para pelaku kriminal.

"Pidana penjara adalah pidana pencabutan kemerdekaan,” ungkap R.A. Koesnoen dalam Politik Pendjara Nasional.

Koesnoen menyebut penjara berasal dari bahasa Jawa, penjoro, yang berarti “tobat”. Penjara dipandang sebagai suatu tempat penjeraan bagi mereka yang pernah melakukan kejahatan.

Mengenal Nasi Cadong, Makanan Para Napi di Penjara

Pada tahun 1918 mulai berlaku Reglemen Penjara Baru (Gestichten Reglement). Reglemen ini mengatur bagaimana narapidana harus diperbaiki agar menjadi seorang manusia yang susila.

"Pembinaan menjadi fungsi utama dari pemenjaran. Hal ini berkembang seiring dengan meningkatnya kesadaran akan perlindungan hak asasi manusia," tulis Koesnoen.

Beberapa penjara yang lebih luas dan sehat mulai didirikan, pegawai-pegawai yang dianggap cakap dalam urusan kepenjaraan mulai direkrut. Dalam jangka waktu 1905 sampai 1918 didirikan penjara-penjara untuk dijadikan contoh.

"Penjara-penjara pusat biasanya berukuran sangat besar, dengan kapasitas kira-kira untuk 700 orang terpidana," tulis Mohammad Taufik Makarao dalam buku Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia.

Tempat tobat atau school of crime?

Impian penjara sebagai tempat memperbaiki sikap para narapidana sehingga bisa kembali ke masyarakat, hanya sekadar gagasan. Penjara tetap merupakan miniatur masyarakat jajahan saat itu.

"Ada masyarakat penjajah yang penuh hak dan ada masyarakat terjajah yang penuh wajib,” tulis Koesnoen.

Para pegawai rendahan tetap harus menghamba kepada para atasannya. Mereka akan kena tegur bila terlihat tidak serius memantau para terpidana. Sikap penindasan ini juga dilakukan oleh para pegawai rendahan kepada para terpidana.

"Pegawai kepenjaraan di saat zaman penjajahan pada berlomba-lomba menunjukkan sifat akan kekejamannya. Dengan kata yang pendek kami sebutkan di sini: menindas,” tulis Suara Buruh Kependjaraan, Juni-Agustus 1955 yang dilansir dari Historia.

Para napi hidup berjejal dalam sel. Selama di penjara, kepala para napi dicukur pelontos. Mereka memperoleh dua setel pakaian: satu untuk bekerja di luar sel, satu lagi buat beristirahat di sel.

Nostalgia Penjara Glodok, Rumah Tahanan Hatta dan Koes Bersaudara yang Jadi Glodok Plaza

Pemberlakuan sistem kamar bersama, bagi ahli penologi (ilmu kepenjaraan) punya andil dalam menyuburkan terjadinya penularan kejahatan sehingga muncul istilah “school of crime” (sekolah kejahatan). Kondisi ini sulit untuk dihindari, terlebih jika pengawasan oleh petugas tidak dilakukan secara optimal.

"Akibat lain adalah munculnya hukum rimba, siapa yang paling kuat, dia yang berkuasa," ucap Acil.

Selain eksploitasi tenaga napi, pemerasan, dan perjudian, bukan rahasia lagi bila si jagoan ini melakukan aktivitas rudapaksa terhadap mereka yang lebih lemah.

“Siapa tidak tahu tentang adanya homoseksualitas, tidak hanya di penjara untuk laki-laki, juga di penjara untuk perempuan, dan perbuatan onani,” tulis Koesnoen.

Sepanjang hari, di dalam tembok setinggi empat setengah meter, para terpidana melakukan kerja paksa yang dikoordinasi layaknya seorang pekerja dalam sebuah perusahaan. Para napi tak boleh beristirahat semaunya selama jam kerja.

“Begitu pula kalau mereka kelihatan merokok sambil mengobrol. Tak ada teguran, langsung rotan melayang,” tulis Suara Buruh Kependjaraan.

Para napi kembali ke sel jelang gelap. Mereka boleh mengobrol di dalam sel sampai pagi. Tema obrolannya berkisar pada pengalaman kejahatan mereka.

“Tiap sore 10 sampai 15 cerita kejahatan baru dengan segala seluk-beluk taktik dan teknik kejahatan, penjara justru membuat mereka mengetahui taktik dan teknik baru kejahatan," tulis Koesnoen

“Tidaklah salah bahwa ada sebutan penjara adalah sekolah tinggi kejahatan,” lanjutnya

Perbaikan dalam sistem lapas?

Gambaran penjara zaman Belanda yang penuh penderitaan kini masih terlihat pada bangunan-bangunan penjara dengan sel-selnya. Bangunan penjara dirancang sedemikian rupa secara khusus sebagai tempat untuk membuat jera para pelanggar hukum.

Pada masa kemerdekaan, pemerintah mulai berupaya mengubahnya menjadi tempat pendidikan narapidana sebelum kembali ke masyarakat. Kemudian pada 1962 muncul konsep Lembaga Pemasyarakatan (lapas).

Gagasan ini dikemukakan oleh Sahardjo, Menteri Kehakiman saat itu dalam pidatonya ketika penerimaan gelar Doktor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Indonesia tanggal 5 Juli 1963. Dalam pidatonya itu beliau memberikan rumusan dari tujuan pidana penjara.

“Di samping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena hilangnya kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya dia menjadi seorang anggota masyarakat Indonesia yang berguna, dengan perkataan lain, tujuan pidana penjara adalah pemasyarakatan," bebernya.

Konferensi Dinas Kepenjaraan saat itu mengeluarkan prinsip pengelolaan penjara. Antara lain kerja sama triumvirat pegawai penjara, para narapidana, dan masyarakat.

"....Tidak menjadikan bangunan penjara sebagai tujuan pemasyarakatan, melainkan hanya sarana; dan tujuan akhir dari pemasyarakatan adalah masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila,"

Menengok Tempat Pengasingan Tersuram di Surabaya, Penjara Kalisosok

Tetapi gagasan ini tak selalu jalan. Ada saja pegawai penjara dan narapidana yang keluar dari gagasan pemasyarakatan.

Keseharian penjara tidak pernah berubah. Masih ada saja pemerasan, kekerasan, perjudian, dan hubungan seksual sejenis. Hanya eksploitasi tenaga agak berkurang.

Penyelundupan berbagai jenis barang juga tetap marak. Tak jarang melibatkan sipir penjara. “Untuk mendapat keuntungan banyak dijual minuman keras pada narapidana, dan segala cara penyelundupan baik barang maupun manusia,” tulis Koesnoen.

Willy A. Hangguman menulis kisah Jhony Indo mantan napi kakap LP Cipinang dan Nusakambangan yang mengenal ganja di penjara.

"Johny Indo merasa heran bagaimana mungkin benda haram tersebut bisa lolos masuk LP Cipinang,” tulisnya dalam Johny Indo: Tobat dan Harapan.

Pelatihan keterampilan dan keahlian untuk narapidana di Lapas atau Rumah Tahanan (Rutan) juga dinilai tidak tepat sasaran. Pelatihan masih bersifat umum, tidak sesuai dengan kebutuhan narapidana.

"Jadi yang diberikan adalah latihan secara umum, latihan bikin tas, bordir, dan masak-masak, kebanyakan begitu," kata pakar ekonomi Miranda Goeltom, menukil Gatra

Alhasil lebih dari 80 persen narapidana tidak tahu apa yang harus dilakukan saat keluar dari lapas atau rutan. Miranda menekankan pentingnya statistik dan analisis pemberian keterampilan dan keahlian narapidana.

Koesnoen pernah mengusulkan pembubaran instutisi penjara. Pasalnya bukannya bertugas memberantas kejahatan dan memberikan keahlian, katanya, tetapi malah mendidik penjahat-penjahat.

"Jika demikian keadaanya lebih baik semua instansi tersebut dibubarkan," sarannya.

Melihat kejadian yang dialami oleh Muhammad Kace dan beberapa realitas yang terjadi di Lapas hingga kini, apakah usul dari Koesnoen masih aktual?

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

RK
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini