Candi Cetho, Peninggalan Kerajaan Majapahit di Karanganyar

Candi Cetho, Peninggalan Kerajaan Majapahit di Karanganyar
info gambar utama

Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki banyak candi. Meski merupakan bangunan yang merujuk pada tempat keagamaan dan peninggalan dari peradaban Hindu-Buddha, candi juga memiliki daya tarik untuk pariwisata.

Candi merupakan tempat ibadah, pemujaan dewa-dewi, penghormatan pada leluhur, dan memuliakan Sang Buddha dan diyakini sebagai replika tempat tinggal para dewa. Bangunan candi identik dengan hiasan ukiran, pahatan, relief, dan arca. Beberapa candi memang dibuat dengan semegah mungkin dan bernilai estetika tinggi.

Ada salah satu candi yang menarik untuk dikunjungi bila Anda sedang berwisata ke Karanganyar, Jawa Tengah, yaitu Candi Cetho. Candi bercorak Hindu ini merupakan peninggalan masa akhir pemerintahan Majapahit, sekitar abad ke-15 Masehi.

Candi Cetho berlokasi di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jemawi. Hingga kini bangunan candi yang diperkirakan selesai dibangun pada tahun 1475 M ini masih berdiri kokoh dan banyak dikunjungi umat Hindu untuk sembahyang, terutama pada momen Kuningan dan Galungan, sekaligus menjadi tempat pertapaan bagi penganut kepercayaan Kejawen.

Meski namanya tak setenar Candi Borobudur atau Prambanan, berwisata ke Candi Cetho pun akan memberikan pengalaman yang menyenangkan untuk mempelajari kembali sejarah dan kebudayaan di Jawa Tengah.

Dusun Prumpung, Tempat Para Pematung Ulung di Balik Kemegahan Candi Borobudur

Menyusuri kawasan Candi Cetho

Kawasan Candi Cetho memiliki struktur yang berteras-teras atau punden berundak. Ketika pertama kali ditemukan, candi ini masih berupa reruntuhan batu pada 14 teras dan saat ini tersisa 13 teras yang tersusun dari barat ke timur. Semakin belakang pola susunannya semakin tinggi dan dianggap paling suci.

Setiap halaman teras dihubungkan oleh sejumlah pintu dan jalan setapak. Di sisi timur teras pengunjung bisa melihat gapura gerbang masuk dan di sana terdapat arca Nyai Gemang Arum. Memasuki teras pertama, terdapat bangunan tanpa dinding yang di dalamnya ada susunan batu untuk menaruh sesajian dan sepasang arca Nyai Agni.

Pada teras ke dua, terdapat susunan batu membentuk garuda terbang. Uniknya, di bagian punggung garuda ada susunan batu yang membentuk kura-kura dan di atas kepalanya ada susunan batu berbentuk matahari bersinar, segitiga sama kaki, dan arca Kalacakra atau kelamin laki-laki.

Burung garuda diyakini sebagai kendaraan Wisnu yang melambangkan dunia atas, sedangkan kura-kura menjadi simbol dunia bawah. Sedangkan keberadaan Kalacakra ini yang membuat Candi Cetho disebut sebagai candi lanang atau lelaki.

Lanjut ke teras ketiga, ada susunan batu membentuk segi empat dan di dindingnya tampak relief dengan tema Kidung Sudamala bergambar hewan dan manusia. Di teras keempat, pengunjung bisa melihat sepasang arca Bima yang tampak sedang menjaga tangga batu menuju teras ke lima. Kemudian, di teras kelima ada sepasang bangunan yang disebut pendapa luar.

Berjalan sampai teras keenam, di sana ada arca Kalacakra dan sepasang arca Ganesha. Selanjutnya di teras ketujuh ada halaman yang dikelilingi dinding batu dan terdapat pendapa dalam. Baru pada teras kedelapan terdapat ruangan untuk bersembahyang dan diteras kesembilan merupakan penyimpanan benda-benda kuno, seperti arca Sabdapalon dan Nayagenggong.

Sementara itu diteras kesepuluh terdapat arca Prabu Brawijaya, arca Kalacakra, dan tempat penyimpanan pusaka Empu Supa, seorang pembuat senjata pusaka yang dihormati. Terus menyusuri sampai ke teras kesebelas, di sana ada pesanggrahan Prabuwijaya. Pada bagian teratas kompleks Candi Cetho merupakan bangunan yang pada masa lalu biasa digunakan untuk membersihkan diri sebelum melakukan ritual ibadah.

Untuk memasuki kawasan candi, pengunjung wajib menggunakan kain kampuh atau poleng. Selama berwisata di area candi, jangan lupa untuk mengikuti aturan yang berlaku, menjaga kebersihan, dan pastinya tidak merusak apapun yang ada di sana.

 Candi Cetho | @Mardiya Shutterstock
info gambar
Menyingkap Sejarah Candi Kedulan yang Hilang Ribuan Tahun

Sejarah Candi Cetho

Melansir dari laman Cagar Budaya Kemdikbud, Candi Cetho dibangun sekitar tahun 1451-1470 pada zaman Kerajaan Majapahit. Dalam bahasa Jawa, cetho artinya jelas.. Nama cetho juga digunakan sebagai nama dusun tempat candi ini berada karena dari sana orang bisa melihat ke berbagai arah dengan jelas, termasuk pemandangan kota Solo, Gunung Merapi, Merbabu, Lawu, dan Sumbing.

Keberadaan Candi Cetho pertama kali dilaporkan oleh Van De Vlis pada tahun 1451-1470. Penemuan tersebut kemudian menarik perhatian sejumlah ahli purbakala seperti W.F. Sutterheim, K.C. Crucq, N.j. Krom, A.J. Bernet Kempers, dan Riboet Dharmosoetopo.

Situs Candi Cetho termasuk situs suci yang berkaitan dengan penghormatan arwah-arwah leluhur yang pada abad ke-15 kemudian diubah menjadi monumen dengan unsur kebudayaan Hindu-Jawa. Candi ini juga pernah mengalami pemugaran pada tahun 1975-1976 oleh Inspektur Jenderal Pembangunan (Irjenbang) Sudjono Hoemardhani .

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dian Afrillia lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dian Afrillia.

DA
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini