Menengok Lapo Tuak, Tempat Orang Batak Bercakap dan Menghibur Diri

Menengok Lapo Tuak, Tempat Orang Batak Bercakap dan Menghibur Diri
info gambar utama

Pada masa Yunani klasik, terdapat wilayah yang terkenal dengan nama Agora. Di sini orang-orang saling berdebat apa saja, baik politik, hukum hingga masalah-masalah pelik soal ketuhanan.

Ruang publik ini bisa diakses oleh segala kalangan, baik pejabat hingga masyarakat biasa. Memang disinilah tempat terbuka untuk menyampaikan gagasan yang terendap dalam pikiran.

Nilai dan semangat ini pulalah yang lahir dalam bingkai kehadiran lapo tuak. Warung ini, memang tidak hanya identik dengan minum-minum, tetapi juga ruang bercakap.

Bedasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), lapo diambil dari kata lepau. Kata ini bermakna beranda di belakang rumah yang dipergunakan sebagai dapur. Di Sumatra, tempat ini selalu identik dengan rumah makan.

Ditulis oleh Historia, pada aksen Batak, lepau lebih sering diucapkan dengan kata lapo. Tradisi lapo kemudian muncul dari konsep pemukiman Batak tradisional (huta) yang merupakan budaya Tanah Batak, sekitaran Danau Toba, Tapanuli Utara.

Lapo memang sama dengan warung makan lainnya yang menyediakan makanan khas Batak. Tetapi yang berbeda di sini adalah hampir semua lapo menyediakan tuak.

Menurut Ilmuan Jepang, Shigehiro Ikegami dari Universitas Shizuoka menyebut tradisi minum tuak sudah biasa dilakukan oleh masyarakat setempat. Tradisi ini dilakukan oleh orang-orang untuk melepas penat setelah menyelesaikan pekerjaan.

Kisah Tunggal Panaluan, Tongkat Sakti Para Datu Batak Toba

Tentunya salah satu tempat yang paling populer untuk menghabiskan waktu, juga tentunya meminum tuak adalah di lapo. Biasanya selain minum, mereka melakukan kegiatan hiburan untuk melepas penat.

"Mereka berbincang-bincang, menyanyi, bermain kartu, bercatur dan menonton televisi, sambil minum tuak," ucapnya dalam artikel berjudul Tuak dalam Masyarakat Batak Toba: Laporan Singkat tentang Aspek Sosial-budaya Penggunaan Nira.

Tuak sendiri diyakini memiliki khasiat. Minuman fermentasi ini memang berasal dari sadapan pohon enau yang oleh orang Batak disebut bagot.

Biasanya tuak manis atau yang dikenal dengan nama nira digunakan untuk melepas dahaga dan penambah energi. Tuak juga mampu menghangatkan tubuh, apalagi saat cuaca dingin. Sedangkan kepercayaan orang dahulu, minuman ini dipercaya baik untuk wanita yang baru melahirkan.

"Namun demikian, menurut tradisi Batak Toba, wanita yang baru melahirkan anak, minum tuak untuk memperlancar air susunya dan berkeringat banyak guna mengeluarkan kotoran-kotoran dari badannya," jelas Ikegami yang melakukan penelitian sejak Agustus 1997 sampai dengan Oktober 1997 di Medan dan Kecamatan Balige ini.

Lapo tuak sebagai tempat bercakap

Foto tuak (Shutterstock)

Masyarakat Batak memang terkenal suka berkumpul, pada acara makan saja selalu disertai dengan obrolan-obrolan hangat. Kondisi inilah yang akan akrab dijumpai saat mengunjungi lapo.

Lapo memang dijadikan wahana diskusi bagi masyarakat, tidak hanya orang Batak tetapi juga dari etnis lain seperti Melayu, Jawa hingga Karo. Akhirnya tujuan untuk mengunjungi lapo bukan hanya untuk mengisi perut, tetapi juga ajang kongko.

"Tidak jarang juga ditemui calon-calon perseorangan di lapo tuak. Biasanya calon-calon perseorangan ini bersosialisasi politik, mencari simpatik dari pengunjung lapo tuak untuk merebut suara tanpa melalui partai politik," papar Holong A.T.I.S dalam skripsi berjudul Peluang Lapo Tuak Sebagai Wadah Membangun Gerakan Sosial di Masyarakat.

Holong menyebut Lapo Tuak digunakan oleh masyarakat sebagai tempat berkumpul. Di sini apa saja dibahas baik masalah politik, ekonomi, sosial, nomor undian togel, dan terpenting soal menjaga tradisi dan adat di tengah gempuran arus modernitas.

Fungsinya menjadi tempat pertukaran informasi, bahkan perannya dianggap sudah menyamai partungkoan dalam masyarakat adat. Secara harfian, partungkoan merupakan tempat musyawarah tua-tua adat di zaman dahulu yang berlokasi disekitar pintu masuk kampung.

Menyantap Arsik, Kuliner Khas Batak dengan Campuran Andaliman yang Menggetarkan Lidah

"Partungkoan dalam konteks musyawarah bersifat formal, sedangkan lapo dalam terminologi partungkoan terkait pembicaraan adat bersifat nonformal, dengan kata lain lapo tuak berfungsi sebagai media informasi dan komunikasi yang bersifat konvesional," ucap mahasiswa Fakultas Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatra Utara (Sumut) itu.

Lapo ternyata juga digunakan untuk menyelesaikan masalah sosial yang sedang terjadi. Berbagai persoalan masyarakat ini mendapatkan tempatnya di lapo untuk dibicarakan.

Tidak hanya sekadar diskusi, Holong juga menilai ada gerakan sosial yang tercipta setelah diskusi di lapo selesai. Gerakan ini merupakan langkah lanjutan yang langsung bersentuhan dengan permasalahan masyarakat.

Dirinya mencontohkan diskusi sosial tentang kerusakan jalan yang terjadi di Namo Bintang, Kabupaten Deli Serdang, Sumut. Kondisi jalan ini sangat mengganggu aktivitas masyarakat bahkan sering kali menyebabkan kerusakan kendaraan yang melintas.

"Berbagai permasalahan sosial di atas setelah didiskusikan bersama di lapo tuak ditindaklanjuti dengan menyampaikan aspirasi kepada kepala desa," tutur Holong.

Pada 2015, masyarakat setempat kemudian mendapat bantuan untuk perbaikan jalan. Holong pun mencatat bahwa ini menjadi bukti adanya gerakan sosial setelah terjadinya diskusi di lapo tuak.

Lapo dan ketahanan budaya

Di balik segala percakapan yang terjadi di lapo, tempat ini merupakan ruang hiburan untuk setiap kalangan. Debat panjang bisa saja terjadi, tetapi alunan musik tetap menggema menghiasi malam yang panjang.

"Lapo, bar ala Batak Toba memegang peranan penting dalam kehidupan orang Batak Toba," tulis budayawan Mandailing Angkola Basyral Hamidy Harahap dalam Orientasi Nilai-nilai Budaya Batak.

Lapo tak ubahnya tempat bermain bagi orang-orang Batak. Di sini ditawarkan beragam hiburan dan inspirasi. Lapo tuak pun menjadi ajang untuk mendidik para generasi, tentunya bukan untuk minum dan berjudi.

Namun melalui alunan nyanyian dan suara. Tak heran, lapo bisa menjadi semacam ajang pencari bakat bagi penyanyi muda yang ingin mencari pengalaman.

Salah satu seniman dan komponis zaman dahulu, Nahum Situmorang dikenal sebagai penyanyi yang lahir dari susana lapo. Beberapa lagunya memang tercipta saat dirinya menghabiskan waktu di tempat itu, Lisoi lagu legendarisnya, menjadi salah satu bukti.

Jangan Lewatkan Makanan Ini Jika Kamu Datang ke Pernikahan Batak

"Konon, kedai tuak yang menjadi langganan Nahum semasa hidupnya ialah kedai tuak Parlagutan di daerah Simpang Barat. Di sanalah ia banyak mencipta lagu yang kebanyakan tema-temanya berangkat dari tema keseharian," tulis jurnalis Tonggo Simangunsong dalam artikel bertajuk Kisah Nahum Situmorang dan Lapo Tuak Parlagutan dilansir dari Naraspasi.

Melalui budaya perantauan, lapo akhirnya menyebar hingga ke wilayah Ibu Kota. Menukil dari Historia, sejak 1990 an, lapo mulai mewabah di Jabodetabek.

Di sinilah menjadi tempat berkumpul para perantauan kemudian saling menanyakan silsilah marga yang dikenal sebagai tradisi martarombo. Tradisi ini dilakukan untuk membentuk jaringan yang menjadikan orang Batak tidak pernah sendiri di mana pun mereka berada.

Tetapi lapo kini lebih dikenal dengan citra yang negatif. Biasanya dikenal sebagai tempat mabuk-mabukan dan arena keributan.

Memang tidak bisa dipungkiri lapo pada masa kini selalu dipandang dari dua sisi, positif dan negatif. Tetapi bila diletakan pada peran awal berdirinya, lapo bisa menjadi tempat mengisi perut sekaligus bercengkrama.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini