Peristiwa Wadas, dan Ingatan Perjuangan Romo Mangun di Kedungombo

Peristiwa Wadas, dan Ingatan Perjuangan Romo Mangun di Kedungombo
info gambar utama

Masyarakat di Desa Wadas Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah mengalami konflik dengan aparat kepolisian. Kondisi ini terjadi akibat rencana pembangunan tambang andesit dan Bendungan Bener yang ditolak oleh warga.

Tersebar dalam sebuah video, aparat kepolisian yang mendatangi perkampungan warga dengan bersenjata lengkap. Sementara itu sejumlah warga pun turut ditangkap dan diamankan.

Karena insiden ini para pengguna media sosial pun meramaikan tagar #SaveWadas #WadasMelawan #WadasTolakTambang, usai tersebarnya video terkait penambangan batu andesit dan Bendungan Bener di Desa Wadas tersebut.

Peristiwa konflik antara warga dengan pemerintah terkait pembangunan proyek juga pernah terjadi pada era pemerintahan Presiden Soeharto. Pada tahun 1985, rezim Orde Baru (Orba) meluncurkan mega proyek Waduk Kedungombo yang berada di Kecamatan Geyer, Grobogan.

Dipaparkan oleh Wikipedia, Kamis (10/2/2022), Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dari waduk ini akan dipakai untuk mengairi 70 hektare sawah di sekitarnya. Pemerintah saat itu menghabiskan anggaran 25,2 juta dolar yang didapat dari Bank Exim Jepang dan APBN.

Kembali Mengingatnya, Sang Romo Bagi Kaum Marginal

Pada 19 Mei 1991, Presiden Soeharto meresmikan pembangunan Waduk Kedungombo dengan dibayangi protes masyarakat. Sebanyak 6.000 keluarga berjuang menuntut hak atas ganti rugi tanah yang layak.

Ketika itu, Yusuf Bilyarta (YB) Mangunwijaya menjadi satu sosok yang begitu setia mendampingi masyarakat menuntut haknya. Sejak tahun 1986, pria yang kerap disapa Romo Mangun ini bahkan harus kucing-kucingan dengan aparat keamanan demi bertemu dengan warga.

"Mangun memang tidak bisa menerima kenyataan ketika dilihatnya hak asasi manusia (HAM) diganggu, dirampas dengan berbagai alasan pembangunan. Lalu, Romo Mangun datang ke sana untuk berjuang bersama warga Kedungombo,” tulis Priyanahadi dalam Y.B. Mangunwijaya, Pejuang Kemanusiaan (1999) yang dimuat Tirto.

Belajar dari keberanian Romo Mangun

Hanya sepekan lepas dari rumah sakit pada awal Maret 1989, Romo Mangun sudah meluncur ke Kecamatan Kemusu, Boyolali. Menuju beberapa desa yang sebagian besar telah terbenam.

Dengan menyamar sebagai kenalan warga desa, Romo Mangun masuk ke desa tersebut. Dirinya tercekat, tak mampu bicara, di desa itu sudah tidak ada lagi kehidupan. Sejarah sebuah dusun telah dimusnahkan oleh genangan air.

Proyek Kedungombo kala itu, menenggelamkan 37 desa di tiga kecamatan, Grobogan, Boyolali dan Sragen. Tanah yang subur dan lingkungan alam musnah dalam sekejap.

Hampir 6.000 keluarga kehilangan tanah dan habitat hidup akibat pembangunan waduk itu. Lapis demi lapis kekerasan terjadi, mulai dari diculik, dianiaya, dan ditahan tanpa pengadilan.

Kondisi ini diperparah dengan korupsi ganti rugi yang seharusnya diterima oleh warga, ketika itu warga mendapat janji Rp3.000 rupiah per meter tetapi menjadi Rp250 rupiah per meter. Akhirnya 6.000-an keluarga kehilangan hak ganti rugi.

Ketika itu Romo Mangun sebagai pendamping warga melukiskan situasi itu sebagai tragedi pembangunan dengan kebangkrutan moral. Soeharto sendiri kemudian menuduh pria kelahiran Ambarawa ini sebagai komunis yang mengaku sebagai rohaniawan.

Inilah Waduk Pertama di Indonesia yang Usianya Setengah Abad

"Mereka yang melawan secara instan dicap komunis sehingga absah untuk dihabisi," tulis Hertasning Ichlas dalam artikel berjudul Dari Kedung Ombo hingga Narmada yang dimuat dalam Geotimes.

Berbagai teror dan intimidasi menimpa Romo Mangun. Namun dirinya tetap teguh dan kukuh membela rakyat kecil. Walau beberapa kali dirinya juga dituduh melakukan kristenisasi karena profilenya sebagai pastur.

"Kalau saya dituduh melakukan Kristenisasi kepada para santri, silahkan tanya langsung kepada warga Kedungombo," tegas Romo Mangun yang dimuat dalam buku Y. B Mangunwijaya: Rohaniawan Pembela Kaum Tertindas karya M Arief Hakim.

Bagi Romo Mangun sebagai seorang warga negara, dirinya hanya patuh kepada hal-hal yang baik. Dirinya pun yakin bahwa pembelaan terhadap masyarakat Kedungombo sesuai dengan mukadimah UUD 1945 dan Pancasila.

"Suatu proyek yang sudah dinyatakan feasible, layak, tak mungkin minta korban atau tumbal, apalagi tumbal dari manusia yang justru paling lemah, paling miskin, paling tak berdaya," tambah Mangunwijaya.

Manusia yang menerangi kegelapan

Pikiran Romo Mangun ketika itu melayang kepada ribuan anak di Kedungombo. Anak-anak itu terancam putus sekolah, sakit-sakitan, dan mungkin akan segera merenggang nyawa karena kondisi yang semakin parah.

Romo Mangun langsung menuliskan sebuah surat imbauan di atas ranjang rawat inapnya. Surat itu ditanda-tangani bersama dan kemudian dikirimkan ke harian Kedaulatan Rakyat pada 27 Februari 1989.

"Kami memanggil dengan penuh kepercayaan, relawan-relawati cintawan, DEMI 3500 ANAK TELANTAR di KEDUNG OMBO yang sedang digenangi. Untuk bergilir menolong mereka sebagai abang-kakak-guru-pengasuh dsb," tulis Sergius Sutanto dalam bukunya Mangun, Sebuah Novel.

Dalam suratnya, Romo Mangun menyatakan bahwa dia dan kawan-kawan tak punya modal apa-apa. Karena itu, pria kelahiran 6 Mei 1929 itu mengimbau relawan menanggung sendiri biaya transpor serta kebutuhan mereka selama mendampingi anak-anak Kedungombo.

Romo Mangun sejak awal menyatakan gerakannya fokus pada penyelamatan anak-anak, bukan di jalur hukum atau politik. Kendati demikian, bermacam tuduhan tak henti dialamatkan kepada Romo yang juga dikenal sebagai arsitek dan sastrawan itu.

Tak Banyak yang Tahu, Nganjuk Akan Memiliki Waduk 'Raksasa'

"Mana mungkin saya selaku rohaniwan menolak jeritan mereka dalam kegelapan dan kebingungan mereka. Dosa besar rasanya bila berdiam diri." tulisnya kepada Mendagri.

Bagi Romo Mangun tugas seorang rohaniawan dan pendidik sama posisinya dengan dokter dan palang merah di medan perang, menolong siapa pun, bahkan serdadu musuh.

"Di Kedung Ombo tidak ada perang, walaupun seluruh daerah kelilingnya penuh dengan pasukan berbaju loreng dengan senjata-senjata otomatis yang berkesan menakutkan orang, apalagi orang-orang desa dina."

Setelah surat ini terbit, banyak bantuan mulai mengalir seperti bantuan sandang, pangan, hingga buku bacaan anak terus berdatangan di posko Solo dan Jogja. Namun, tak mudah menyalurkannya.

Dinukil dari Detik, bahkan ketika Romo Mangun menggunakan jalur legal seperti menemui gubernur sampai bupati, tetap saja hasilnya nol. Kawasan Kedungombo ketika itu telah dijaga ketat aparat.

Tidak bisa menembus jalur, para relawan mencoba mencari jalan tikus, keluar masuk hutan menghindari aparat yang tersebar di segala titik di Kedungombo. Beberapa kali mereka tertangkap basah sehingga harus membawa kembali bantuannya ke posko.

Romo Mangun bahkan pernah membuat perahu dari drum bekas minyak tanah berlapis aspal untuk menyalurkan bantuan lewat laut. Di Sragen, relawan merakit lagi sejumlah perahu.

Kemudian, mereka long march ke Desa Kemusu di Boyolali, pintu masuk ke kawasan Kedungombo. Ratusan warga tumpah ruah ke jalan. Ketika itu brikade pengamanan dilakukan oleh mahasiswa.

Aksi Romo Mangun tidak sia-sia. Pada tanggal 5 Juni 1994, Mahkamah Agung RI mengabulkan tuntutan kasasi warga Kedungombo. Warga Kedungombo memperoleh ganti rugi yang nilainya lebih besar dari tuntutan semula.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo. Artikel ini dilengkapi fitur Wikipedia Preview, kerjasama Wikimedia Foundation dan Good News From Indonesia.

Terima kasih telah membaca sampai di sini