Jejak Kayu Jati yang Memengaruhi Peradaban Masyarakat Jawa

Jejak Kayu Jati yang Memengaruhi Peradaban Masyarakat Jawa
info gambar utama

Kayu jati memiliki sejarah yang cukup panjang bagi masyarakat Jawa. Hal ini bisa dilihat dari berbagai macam peninggalan sejarah dalam wujud bangunan seperti rumah tradisional Jawa, masjid, pendopo-pendopo keraton, mebel maupun dalam Serat Centhini.

Dalam Serat Centhini (1814-1824), pujangga Keraton Kasunanan Solo turut memuat pengetahuan tentang kayu tersebut. Beberapa juru tulis istana lelana atau pengembara mengumpulkan informasi, termasuk hasil dialog orang Jawa mengenai dunia flora.

Saking akrabnya manusia Jawa dengan pohon jati selama berabad-abad, mampu menelurkan ciri atau sifat kayu. Kayu ini diyakini mengusung watak yang dapat membuat pemakainya hidup sejahtera dan rukun.

“Umumnya, dipakai untuk kerangka pintu rumah, pintu pagar batu, tiang penyangga rumah bagian dalam, pencak suji (jenis pagar), dan grogol (pagar yang lebih kokoh ketimbang pencak suji,” tulis Dosen Prodi Sejarah Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, Heri Priyatmoko dalam artikel berjudul Pohon Jati di Mata Orang Jawa Kuno.

Dari catatan sejarah, muasal tumbuhan jati berasal dari Gujarat, India. Tumbuhan ini dibawa iring oleh pedagang India ke Tanah Jawa. Ketika itu raja menilai jati sebagai pohon suci. Lalu petinggi kerajaan mengimpor jati dari Kalingga di Pantai Timur India Selatan.

Kayu Jati Indonesia Jadi Favorit Warga Inggris

Heri menyebut sedari abad ke 2, masyarakat Jawa telah membiasakan menaman jati di sekitar candi. Bagi mereka, pohon jati di lingkungan candi untuk menghormati Dewa Shiwa. Sejak pengujung periode Hindu, hutan jati mulai ditanam di Jawa.

Sementara itu pemanfaatan kayu jati oleh masyarakat Jawa belum diketahui secara pasti. Tetapi beberapa ahli menduga kuat sebelum abad ke 8, masyarakat Jawa telah memanfaatkan kayu jati sebagai bahan baku membuat rumah.

Hal ini didasarkan atas kesamaan teknik penyusunan rumah adat Jawa dengan teknik penyusunan batu-batu candi yang ada di Pulau Jawa. Teknik penyusunan batu-batu candi yang umumnya dibuat pada abad ke 8 diduga kuat mengikuti penyusunan rumah Jawa.

Bedasarkan naskah kuno, rumah-rumah orang Jawa yang terbuat dari kayu baru muncul pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya. Pada naskah tersebut pula disebutkan ketika masa pemerintahan Prabu Wijayaka telah dibentuk “departemen” perumahan.

  1. Bupati kalang blandong (ahli menebang kayu/pohon)
  2. Bupati kalang obong (ahli pembersih hutan)
  3. Bupati kalang adeg (ahli perencanaan bangunan)
  4. Bupati kalang abreg (ahli merobohkan bangunan)

Merujuk spesialisasi yang telah dibuat pada masa itu, masyarakat Jawa telah memiliki pengetahuan yang cukup memadai tentang persoalan hutan, pohon jati, dan bagaimana cara manfaatkan kayu tersebut menjadi rumah atau bangunan.

VOC melakukan eksploitasi kayu jati

Sejarah telah mencatat bahwa kayu jati memiliki peranan tersendiri bagi masyarakat Jawa maupun pemerintah Hindia Belanda. Sejak masa Kerajaan Majapahit– jauh sebelum tahun 1200-, kayu jati telah diambil untuk membangun armada laut,

Made Oka Purnawati dalam buku Hutan Jati Madiun; Silvikultur Di Karisidenan Madiun 1830-1913 menyebut ketika itu moda transportasi darat yang menggunakan hewan masih belum begitu dominan.

“Oleh karena itu, dilakukan penguatan armada laut untuk mengontrol wilayah kekuasaan Majapahit yang sangat luas,” tulis Purnawati.

Jika demikian, maka pada masa Kerajaan Majapahit, kayu jati sudah menjadi komoditas industri perkapalan, walaupun masih dalam skala kecil atau hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan kerajaan.

Dijelaskan oleh Purnawati, pemanfaatan kayu jati masih berlanjut hingga kedatangan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di bumi Nusantara pada awal abad ke 16 Masehi.

Ketika itu keistimewaan kayu jati yang berasal dari Jawa telah melegenda dalam dunia internasional dengan munculnya istilah Java teak. Munculnya istilah Java teak berawal ketika kerajaan Mataram menyerahkan kekuasannya kepada VOC.

Berbeda, Tropi Piala Presiden dibuat dari Kayu Jati Asli Indonesia

Kayu jati sebagai salah satu produk tanam paksa di samping kopi, gula, katun, dan nila digunakan VOC untuk membangun kapal dagang, kapal perang, dan untuk diperdagangkan ke dunia internasional.

“Sejak saat itulah Java teak muncul untuk menyebut kayu jati yang berasal dari Jawa yang terkenal sangat tinggi harganya dalam perdagangan internasional,” papar Purnawati.

VOC juga menggunakan kayu jati untuk memenuhi kebutuhan membangun gudang-gudang, galangan-galangan kapal serta bangunan-bangunan. Perlahan-lahan VOC mulai mengeksploitasi hutan jati, khususnya di Pulau Jawa.

Pulau Jawa memang menjadi daerah yang paling produktif bagi pertumbuhan pohon jati, khususnya Jawa bagian tengah dan timur. Pohon jati tumbuh subur pada ketinggian 1 hingga 1.800 mdpl, di tanah yang berbatu, berkapur, serta beriklim kering dan panas.

Dijelaskan oleh Purnawati, hal ini berbeda dengan di Jawa Barat, persebaran pohon jati tidak dominan dikarenakan iklimnya yang cenderung basah dan sifat tanahnya yang tidak disukai oleh spesies Jati.

Peradaban kayu jati di Jawa

Pengetahuan orang Jawa tentang kayu jati relatif komplet, bahkan mampu menciptakan klasifikasi berlatar mutu. Ada kayu jati lengo atau jati malam yang dikenal keras, berat, halus jika diraba dan seperti mengandung minyak, kayu berwarna gelap, banyak bercak dan bergaris.

Kemudian ada jati sungu berwarna hitam, padat dan berat. Disusul kayu jati werut yang serat berombak. Ada juga kayu jati doreng yang keras, berkelir loreng hitam yang indah dan seperti menyala, Terakhir kayu jati kapur dianggap kurang kuat dan kurang awet.

Menjelang pergantian abad ke 19 sampai abad ke 20, pengetahuan lisan masyarakat Jawa mengenai arsitektur mulai dituliskan ke dalam naskah yang berjudul Kawruh Kalang dan Kawruh Griya.

Menurut Josef Prijotomo dalam Griya dan Omah, naskah tersebut lebih menjelaskan seluk beluk bagian bangunan, pengukuran, serta pengonstruksiannya dan petunjuk perencanaan bangunan.

Di dalam naskah ini memang tidak terdapat pembahasan mengani kayu jati secara spesifik. Namun, terdapat penjelasan rumah yang ideal bagi orang Jawa yang diibaratkan sebagai berteduh di bawah pohon.

“Makna kalimat tersebut bisa merujuk pada pohon jati yang memang pada kenyataannya banyak digunakan untuk membangun rumah ataupun bangunan lainnya,” tulis Prijotomo.

Pembicaraan lebih jelas mengenai kayu jati lebih spesifik terdapat dalam Serat Centhini yang menjelaskan tentang jenis-jenis, watak, serta pengaruhnya terhadap penghuni rumah atau bangunan lainnya.

Pohon Jati Kluwih, Petilasan Sunan Kalijaga yang Dipercaya Berusia 500 Tahun

Misalnya pohon jati bercabang tiga dinamai trajumas. Masyarakat percaya jenis pohon ini bisa mengundang rezeki. Karena itu biasanya dipakai untuk kerangka rumah bagian belakang yang berukuran besar, pengeret, blandar, molo dan sebagainya.

Sedangkan pohon bercabang lima disebut pendhawa. Tampaknya orang Jawa klasik terinspirasi ceria pewayangan. Pohon berwatak sangat kuat dan sentosa ini sering dimanfaatkan sebagai kerangka pendopo utama.

Menurut Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Puger, serat yang disusun oleh Pakubuwono V ini bedasarkan pengetahuan masyarakat Jawa saat itu. Pembuatan serat ini bertujuan untuk mewatakkan agar seolah-olah pohon jati ini hidup.

Dengan mewataki dan memberi sifat kepada bermacam-macam pohon jati, diharapkan bisa mencegah upaya-upaya serakah dalam memanfaatkan kayu jati. Mengingat jati merupakan tanaman tahun yang memerlukan waktu cukup panjang untuk bisa tumbuh dengan baik.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini