Golok Cikeruh, dan Jejak Pandai Besi yang Jadi Langganan Pemerintah Belanda

Golok Cikeruh, dan Jejak Pandai Besi yang Jadi Langganan Pemerintah Belanda
info gambar utama

Kawasan Cikeruh, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang kini dikenal sebagai sentral pembuatan kerajinan senapan angin. Padahal dahulunya kawasan ini dikenal sebagai tempat para pandai besi dengan produknya berupa golok atau pedang Cikeruhan.

Golok Cikeruh menjadi satu dari 37 Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) yang ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Jabar) di tahun 2022. Golok ini pun masih sangat termasyhur di kalangan para kolektor dunia yang mencintai benda-benda pusaka.

Bila ditelusuri dalam mesin pencarian dengan kata kunci Golok Tjikeroeh kemasyhuran benda pusaka ini bisa terlihat. Di sana akan tampak banyak website luar negeri yang membahas tentang keunikan Golok Cikeruh yang kini telah menjadi barang langka.

Sejak zaman pra-Islam, tanah Pasundan sudah menjadi tempat bersemainya para ahli metalurgi. Perkembangan ini tidak hanya karena adanya dukungan kandungan geologi alamnya yang mumpuni, namun juga disokong dengan eksistensi kekuasaan berapa kerajaan.

Sejumlah tradisi tertulis dan toponim yang ada juga menguatkan pendapat tersebut. Misalnya dalam naskah Sejarah Empu Tanah Jawa yang disalin Mas Sardama Sastraredja pada tahun 1806 mengungkapkan adanya empu-empu hebat dari Galuh dan Pajajaran pada masa kejayaannya.

Mengungkap Peradaban Pandai Besi Tertua yang Tenggelam di Danau Matano

“Nama-nama seperti Windusarpa, Andayasangkala, dan Anjani, disebutkan sebagai tokoh-tokoh yang handal dalam pengeloahan logam di wilayah Pasundan,” tulis Tendy Chaskey dalam artikel berjudul Pedang dan Golok Cikeruh, yang disadur dari Tapak, Senin (14/3/2022).

Berawal dari Galuh dan Pajajaran, tradisi dalam membuat senjata dan pusaka terus berlanjut ke kerajaan-kerajaan lain yang berkembang setelahnya. Cirebon, Banten, dan Sumedang adalah kerajaan-kerajaan yang terkenal dengan senjata serta pusaka yang istimewa.

Di antara ketiga kerajaan yang mewarisi Pajajaran, hanya Sumedang yang lokasinya berada di wilayah pedalam Pasundan. Hal ini membuatnya sebagai kerajaan yang lebih inklusif ketimbang dua kerajaan lainnya yang terletak di wilayah pesisir.

Sementara itu perkembangan pembuatan senjata di Cikeruh tidak dapat dilepaskan dari sosok-sosok menak (bangsawan) yang silsilah darahnya berasal dari lingkungan Kerajaan Sumedang.

Semula para perintis pandai besi di Cikeruh hanya memproduksi berbagai perkakas sederhana yang penggunaannya untuk kegiatan sehari-hari, namun kemudian berkembang dengan pesat di zaman kolonial hingga ada perajin Cikeruh yang dikirim ke Eropa untuk menimba ilmu.

Pada tahun 1941, Wijnand Kerkhoff pernah mengabadikan kegiatan dan toko milik salah satu perajin senjata Cikeruh tersebut dalam citra foto. Sehingga perjalanan pandai besi di tempat ini masih dapat terlacak hingga akhir masa kolonial.

Senjata pusaka dari Cikeruh

Berdasar arsip kolonial, pada abad 19 di Cikeruh telah tersohor sebagai sentral kerajinan pedang dan golok (senjata tajam) di Tanah Priangan. Produk-produk yang dihasilkan desa ini tidak hanya untuk memenuhi permintaan pasar lokal, namun juga pasar mancanegara.

Pesanan dari luar negeri biasanya datang melalui pesanan perwira-perwira Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL) yang berdinas di Kota Bandung. Pada 1864, Bandung memang dipilih sebagai ibu kota Karisedanan Priangan.

Menurut tradisi lokal masyarakat, nama paling awal yang masih dikenal sebagai pandai besi di Cikeruh adalah Ki Adimadja. Tokoh ini diperkirakan hidup pada paruh partama abad 19, dan memiliki keterampilan dalam memproduksi peralatan pertanian dan senjata tradisional.

Senjata tradisional yang dimaksud adalah golok, yaitu sejenis pedang sabet yang bentuknya mirip dengan lameng pendek. Bentuknya cembung di ujung punggungnya, sedangkan bagian depannya berbetuk lurus.

Salah satu cucunya, Kartadimadja kemudian meneruskan usaha kakeknya pada masa silam. Usahanya dalam pembuatan senjata tajam ini diperkirakan dimulai pada tahun 1881 dengan cara penempaan tradisional.

Tradisi pandai besi telah lama dipraktikan di Desa Cikeruh, namun produk terbaik tetap lahir dari sentral kerajinan yang dimiliki oleh Kartadimadja. Makin meningkatnya popularitasnya, kontributor surat kabar kolonial menyambangi gosali atau tempat kerja Kartadimadja di Cikeruh.

“Mereka dapat menyaksikan berbagai macan jenis golok, pedang, pisau berburu dan bilah-bilah lainnya yang dibuat secara apik oleh tangan-tangan perajin yang sangat terampil,” catat surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad (1912).

Ketika perang berkecamuk di Aceh sejak 1873, sehingga sangat menyulitkan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Salah satu solusi yang mereka ambil adalah pembentukan Korps Marechaussee te Voet dengan senjata klewang, yang merupakan produk Kartadimadja sebagai andalan.

Cara Masyarakat Desa Citengah Memaknai Sumber Kehidupan Melalui Awi

Pada masa itu, kesadaran nasional belum muncul di tengah masyarakat pribumi. Dalam melawan pemerintah kolonial, masing-masing daerah masih melakukannya secara sporadis dan bersifat lokal. Hal inilah yang mendasari Kartadimadja menerima pesanan Belanda tersebut.

Ketenaran Kartadimadja juga pernah membuatnya memperoleh kesempatan untuk turut serta memamerkan karyanya dalam sebuah pameran tingkat internasional di luar negeri. Dalam surat kabar Java-Bode, dikatakan bahwa pisau dan bilah Cikeruh diarak dengan baik dalam suatu pameran seni dan budaya di Prancis.

Setelah pameran di Eropa dan kembali ke Cikeruh, Kartadimidja mengembangkan karyanya yang bergaya Eropa. Para pejabat kolonial di Bandung adalah orang-orang pertama yang tertarik akan hasil kerja Kartadimidja tersebut.

Pesanan pedang dengan model Eropa terus berdatangan karena Bandung makin ramai dengan kedatangan orang Eropa ke kota yang diproyeksikan sebagai ibukota Hindia Belanda ini. Bahkan pada 1908, Departemen Peperangan telah dipindahkan ke Kota Kembang.

Senjata Cikeruh dan kemasyhurannya kini

Kerajinan tangan para pandai dan maranggi Cikeruh memiliki keunikan dan keunggulan tersendiri. Selain dapat membuat senjata berbentuk golok tradisional, mereka juga dapat membuat pedagang bergaya Eropa.

Sejak lama juga, golok tradisional Cikeruh memiliki citra yang istimewa di mata para pecinta senjata. Golok dengan gaya khas daerah Priangan, ditempa dengan baik, dilengkapi bilah berkualitas dan pembuatan gagang juga sarung bersama ukiran-ukiran khas.

Para perajin Cikeruh berhasil mewariskan keahlian metalurgi kepada keturunanya dengan baik, seperti halnya Adimadja kepada Kartadimadja. Di samping membuat golok dan pedang bergaya Eropa, perajin Cikeruh tak jarang memodifikasi bilah buatannya dengan menghadirkan kedua gaya ini bersamaan.

Sehingga tidak mengherankan apabila ada bilah wesi aji berbentuk Suduk Maru yang bersandangan sarung berukiran logam dan memiliki gagang yang ber-guard atau pedang melengkung khas saber yang ternyata memiliki kepala handle Si Tumang meski dihiasi cross-guard yang kuat.

Ubi Cilembu, Si Ubi Manis Asal Sumedang

Namun seiring perkembangan zaman atau ketika memasuki abad 20-an, permintaan akan senjata tajam berupa golok atau pedang kian berkurang. Salah satunya imbas dari Artillerie Constructie Winkel (ACW) atau pabrik konstruksi artileri yang semula di Surabaya kemudian pindah ke Bandung.

ACW yang merupakan cikal bakal dari PT PINDAD ini pindah saat meletusnya Perang Dunia I sekitar pertengahan 1914. Karena teknologi senjata yang kian berkembang membuat pesanan senjata pedang dan golok ke Cikeruh makin menurun.

Minimnya pesanan senjata golok dan pedang menjadikan kegiatan penempaan makin jarang dilakukan. Akhirnya generasi penerus Kartadimadja memilih mengembangkan usahanya dalam bidang senjata api.

Bahkan Pipik Soemadimadja, keturunan dari Kartadimadja, namanya diabadikan menjadi salah satu ruangan di PT Pindad. Tanpa disebutkan asal mulanya, namun keahlian Pipik ternyata cukup diperhitungkan dalam pembuatan senjata.

Sedangkan Golok Cikeruh telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Jabar sebagai langkah dan upaya pemerintah dalam melindungi dan melestarikan karya budaya. Sedikitnya ada 15 syarat dalam penetapan WBTB, salah satunya sudah berusia lebih dari 50 tahun.

Selanjutnya diharapkan tradisi Golok Cikeruh tetap dilestarikan oleh pemerintah setempat bersama masyarakat. Hal ini agar warisan budaya Golok Cikeruh tetap eksis di tengah masyarakat.

“Jadi bukan hanya penetapan (WBTB) tetapi harus ada upaya pemerintah daerah setempat bersama masyarakat untuk menghidupkan kembali tradisi itu, semisal sekarang masih ada tidak maestro atau tokoh sepuh terkait pewarisannya seperti apa, masih ada tidak pandai-pandai besi dari anak muda yang tertarik, terpenting itu harus diwariskan jangan sampai hilang,” terang Kepala Bidang Kebudayaan Disparbud Jabar, Febiyani, mengutip Detikcom.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

RK
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini