Ketangguhan Panglima Batur, Pejuang Muslim dari Suku Dayak yang Menentang Belanda

Ketangguhan Panglima Batur, Pejuang Muslim dari Suku Dayak yang Menentang Belanda
info gambar utama

Perlawanan masyarakat Kalimantan kepada pemerintah kolonialisme Belanda semakin gencar, ketika komisaris pemerintah F.N Nieuwenhuyzen mengumumkan bahwa Kesultanan Banjar dihapuskan.

Pengumuman yang dibuat tanggal 11 Juni 1860 ini memicu bangsawan Kesultanan Banjar untuk menarik diri ke pedalaman dan akhirnya bergabung dengan kepala suku (mayoritas Dayak), di bawah kepemimpinan Tumenggung Surapati.

Sejak saat itu, pertempuran antara pasukan Pangeran Antasari dari Kesultanan Banjar ditambah dengan pasukan Surapati yang terdiri dari orang-orang Dayak melawan pasukan kolonial Belanda tidak dapat dicegah.

Belanda mulai bisa mengatasi perlawanan ini setelah Pangeran Antasari meninggal pada 1862. Karena kondisi ini, akhirnya pada tahun 1867 memaksa Tumenggung Surapati mundur hingga ke pedalaman Murung.

Tetapi pertempuran masih terus berlanjut, pada perang Banjar tahap kedua atau juga disebut perang Barito ini. Ada dua tokoh utama, yakni Sultan Muhammad Seman dari bekas Kesultanan Banjar dan Panglima Batur yang merupakan kepala suku Dayak.

Tradisi Lawang Sakepeng Bermakna Pemutus Rintangan dan Malapetaka dalam Pernikahan Adat Dayak Ngaju

Panglima Batur merupakan sosok yang berhasil menyatukan beberapa daerah di Barito Hulu (Siang Murung, Bumban, Bahan Batu Tuhup, dan Batu Sopang Tahun) untuk melawan kolonial Belanda.

Dirinya sendiri merupakan panglima suku Dayak Bakumpa. Dalam beberapa tulisan suku Dayak Bakumpai masuk ke dalam rumpun suku Dayak Ngadju atau Biaju, dan lainnya masuk dalam kelompok Barito.

Panglima Batur lahir di Buntok Baru, Barito Utara, Kalimantan Tengah pada tahun 1852 dengan nama lengkap Batur bin Barui. Ayahnya adalah seorang panglima dari tokoh masyarakat di Boven Dusun semasa perlawanan Tumenggung Surapati.

Keikutsertaan Batur sebagai pasukan dimulai sejak usia belia. Dia masuk dalam daftar prajurit saat Perang Banjar yang meletus pada tahun 1859. Batur ketika itu menjadi tentara yang dipersiapkan oleh Pangeran Antasari.

Setelah sang pangeran meninggal, perjuangannya dilanjutkan oleh putranya, Sultan Muhammad Seman. Batur kemudian menjadi pengikut setia Seman. Berada di bawah kepemimpinan sang sultan, Batur dikenal sebagai ahli strategi perang yang cerdik.

Keduanya saling membantu untuk mempertahankan benteng terakhir di Sungai Manawing dari serangan Belanda. Bentang tersebut satu-satunya pertahanan rakyat Banjar yang tersisa untuk menahan gempuran Belanda.

Serangkaian perlawanan

Setelah bertemu dengan Seman, Panglima Batur terus melakukan serangkaian perlawanan. Serangan pertama terjadi di bulan Maret 1904, Panglima Batur melancarkan aksi ke sebuah daerah yang disebut Kasintu dan berhasil mendudukinya.

Selanjutnya sang panglima melanjutkan perjalanannya ke Jaan, tempat yang dahulu pernah menjadi basis perlawanan Seman yang direbut oleh pemerintah kolonial pada tahun 1886. Panglima Batur juga berhasil merebut dan menghancurkan Benteng Kuala Sirat.

Masih di tahun yang sama, kedua pemimpin ini melakukan satu usaha perlawanan yang cukup masif, yaitu menyerang Benteng Muara Teweh, benteng pemerintah kolonial yang cukup kuat, dipersenjatai dengan meriam dan senjata modern lainnya.

“Atas serangkaian serangan tersebut pemerintah kolonial Belanda semakin serius mengadakan operasi militer dengan jumlah besar dengan pasukan khusus,” tulis Mikael Marasabessy dalam artikel berjudul Panglima Batur: Panglima Dayak Islam yang dimuat dari Jejak Islam.

Operasi ini ternyata membuahkan hasil, pada tahun 1905 pemerintah kolonial Belanda berhasil mengepung pasukan Seman di Kalang Barah. Dalam masa-masa kritis tersebut, Batur diperintahkan untuk mengambil mesiu tambahan sebagai modal pertahanan benteng.

Kepergian Panglima Batur dimanfaatkan Belanda untuk menyerang benteng. Pasukan Belanda dipimpin Letnan Christofel yang dikenal kejam dan dan berpengalaman dalam Perang Aceh menyerang benteng tersebut pada 1905.

Mengenal Kuntau Bangkui, Silat dari Suku Dayak Ngaju

Serangan tersebut sangat dahsyat dan berakibat fatal. Kekuatan yang tak seimbang menyebabkan kerugian material dan korban jiwa. Dalam pengepungan ini, Seman gugur. Tetapi perlawanan terus berlanjut di bawah kepemimpinan Batur.

Pasca kematian Seman, beberapa pasukan perlawanan mulai goyah, mereka mulai menarik diri dari pertempuran. Lain halnya dengan sang panglima yang terus melakukan penyerangan dan perlawanan meskipun dalam skala yang lebih kecil dari sebelumnya.

Karena itu, pemerintah kolonial Belanda tidak tinggal diam dengan apa yang dilakukan oleh Panglima Batur. Operasi militer terus dilakukan, tetapi karena medan yang cukup sulit membuat pemerintah Belanda kerap kali gagal menangkap panglima Batur.

“Sang panglima kerap kali lolos dari berbagai pengepungan yang dilakukan,” jelasnya.

Panglima ditangkap

Dirinya dikenal sangat teguh dengan pendiriannya. Walau begitu dirinya juga tidak rela melihat anak buah atau keluarganya menderita dijadikan umpan untuk menangkapnya. Hal inilah yang digunakan oleh Belanda untuk menghabisi Batur.

Belanda memanfaatkan rasa sayang panglima terhadap sanak kerabatnya. Pemerintah Belanda menawan satu daerah yang memiliki kekerabatan dengan Batur dan mengirimkan surat kepadanya agar segera menyerahkan diri.

Pada surat tersebut, Belanda mengancam tidak segan-segan menghabisi seluruh anggota keluarganya. Ancaman ini membuat Batur iba dan memutuskan menyerahkan diri pada tahun 1905.

“Dengan begitu akhirnya Panglima Batur menyerah dan ditangkap lalu dibawa ke Banjarmasin untuk diadili,” ucap penulis buku H.O.S Tjokroaminoto: Dari Santri Menjadi Guru Tokoh Bangsa.

Pengadilan Belanda memutuskan untuk memberikan hukuman mati di tiang gantungan kepada Panglima Batur atas segala perlawanannya. Sang panglima naik ke tiang gantungan pada tanggal 30 Mei 1906.

Setelah tali gantungan menjerat lehernya, pahlawan kelahiran Buntok Baru ini mati syahid. Kematian yang mengesankan karena disaksikan keluarga dan sahabatnya yang juga sama-sama membacakan dua kalimat syahadat ketika detik-detik eksekusi.

Karungut, Lantunan Puisi Penuh Makna dari Suku Dayak Ngaju

Jenazah Panglima Batur kemudian dimakamkan di belakang Masjid Jami Lama Banjarmasin di tepi Sungai Martapura. Tetapi pada 21 April 1958, jenazahnya dipindahkan ke Kompleks Makam Pahlawan Banjar di Jln Masjid Jami Banjarmasin.

Untuk mengingat jasa-jasanya, pemerintah setempat membuat monumen Panglima Batur yang terletak di Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah. Bahkan sosoknya pun telah diusulkan untuk menjadi pahlawan nasional.

“Atas perjuangan melawan penjajah itulah Pemerintah Kabupaten Barito Utara mengusulkan menjadi pahlawan nasional,” kata Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten Barito Utara, Jainal Abidin yang disadur dari Antaranews.

Usulan tersebut sudah dilakukan sejak tahun 2010. Saat itu sudah dibentuk Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD), Kabupaten Barito Utara dan Provinsi Kalteng, namun karena kepengurusan TP2GD yang lama sudah berakhir akhirnya dibentuk baru.

Usulan Panglima Batur sebagai pahlawan nasional secara substansial, kata Jainal, sudah lengkap, tetapi masih harus disusun dengan sistematika sesuai ketentuan. Di samping iu harus diadakan seminar pahlawan nasional yang dihadiri para pejabat.

Selain itu, pemerintah daerah juga melakukan rehabilitasi dan melestarikan situs-situs bersejarah dari perang Barito, seperti bangkai kapal onrust yang ditenggelamkan, Tumenggung Surapati.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini