Sikerei, Dukun Pengobatan yang Hubungkan Dunia dengan Alam Roh

Sikerei, Dukun Pengobatan yang Hubungkan Dunia dengan Alam Roh
info gambar utama

Bila sakit, biasanya orang akan pergi ke dokter atau ke ahli pengobatan alternatif untuk menyembuhkan penyakit. Tetapi berbeda dengan masyarakat di pedalaman Kepulauan Mentawai, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Mentawai, Sumatra Barat.

Orang-orang Mentawai hanya perlu pergi ke sikerei untuk menyembuhkan penyakitnya. Sikerei adalah sebutan masyarakat Mentawai untuk dukun pengobatan tradisional. Pada sikerei inilah, orang Mentawai menggantungkan kesehatan mereka.

Selain pandai mengobati, seorang sikerei juga harus pandai menari. Sebab dengan menarilah para tabib ini baru dapat mengobati sang pasien. Sikerei memang melibatkan unsur-unsur ritual dalam pengobatannya.

Hal pertama yang disiapkan untuk pengobatan adalah ramuan obat-obatan yang dibuat dari daun-daun yang diambil dari hutan. Setelah itu prosesi pengobatan dimulai dan sikerei pun mulai menari.

Ketika gendang ditabuh dan musik dimainkan, Sikerei memanggil roh-roh nenek moyang sambil menari. Melalui roh yang masuk tubuh sikerei, pasien kemudian diobati. Tarian untuk prosesi pengobatan selalu sama, yaitu Tari Burung Bercinta.

Yohannes Pangarita Siritoitet, pria kelahiran Desa Madobag, Kepulauan Mentawai ini telah menjadi menjadi Sikerei sejak 1985. Sejak kecil, Pangarita telah memiliki niat menjadi sikerei yang memang tuntutan untuk meneruskan generasi.

Deretan Sport Tourism dengan Kearifan Lokal Indonesia

Di Mentawai, sikerei merupakan suatu hal yang dibutuhkan walaupun saat ini keberadaannya telah terkikis zaman. Dirinya menyebut tak mudah menjadi sikerei, dia harus melalui proses upacara panjang, belum lagi biaya yang banyak.

Selain melanjutkan generasi, tujuan Pangarita ingin menyembuhkan orang sakit. Di Mentawai, tidak semua penyakit bisa disembuhkan, khususnya yang berhubungan dengan dunia roh seperti kisei.

Karena itu, bila sudah berhubungan dengan hal gaib maka sikerei yang memiliki kemampuan berkomunikasi dengan roh akan mengambil peran. Media yang digunakannya adalah daun-daun dan digabungkan dengan perapalan mantra.

Pangarita menyebut seorang sikerei tak ubahnya dengan petugas kesehatan, kalau ada pasien pada malam hari atau dini hari yang butuh pertolongan, maka harus segera mungkin dirinya akan datang karena sudah menjadi tanggung jawab moral.

“Jika kami sikerei tidak pergi mengobati pasien maka sikerei juga akan mengalami penyakit atau sakit karena membatalkan tidak mengobati kecuali sakit atau ada kendala lain,” kata Pangarita yang dimuat Mentawaikita, Kamis (11/7/2021).

Menjadi pemimpin ritual

Pangarita menjelaskan tugas seorang sikerei tidak hanya sekadar dokter, namun juga menjadi pemimpin ritual dalam uma (suku) saat dia menjabat sebagai sikebbukat uma. Jadi segala kegiatan, seperti pesta harus atas restu sikerei.

Meski fungsi dan tugas utama sikerei sebagai penyembuh orang sakit, namun dirinya tak diberi imbalan oleh pasien atau keluarga pasien. Kadang dirinya mendapat daging khusus, baik babi maupun ayam seperti yang didapat keluarga dalam suku si sakit.

“Kalau untuk uang, sikerei seperti saya belum pernah dikasih namun itu tergantung keluarga pasien,” ucapnya.

Dirinya mengatakan tidak berani mematok tarif untuk melakukan ritual sebab pantang bagi ilmu sikerei. Tarif hanya dipatok bila melakukan ritual khusus. Sementara itu, warga sering menggunakan jasanya dua kali selama sebulan.

Pangarita mengaku tak semua penyakit yang dia obati bisa sembuh, namun dalam banyak kasus telah banyak orang tertolong karena kemampuannya. Biasanya permintaan pertolongan datang dari daerah Madobag, Matotonan, Rogdok, Muntei, dan Maileppet.

Ketika dirinya mengobati, semua peralatan sikerei akan dibawa di dalam bangklu (tas yang terbuat dari pelepah sagu). Di dalamnya ada jejenang (lonceng), luat (ikat kepala), lekkau (ikan lengan), singenget. Ada juga tokgro (cawat) yang langsung dipakai.

Sepulang melakukan ritual pengobatan, Pangarita dan istrinya tak boleh bekerja di ladang dan tak boleh berhubungan suami istri. Aktivitas itu baru bisa dilakukan setelah daun yang digunakan untuk pengobatan oleh sikerei layu.

Kemudian kunyit yang dioleskan di tangan dan beberapa pada bagian tubuh sikerei ketika mengobati orang sakit, akan hilang dengan sendirinya. Biasanya, jelas Pangarita, hal itu memakan waktu dua hari.

Mugejeg: Pameran Foto Unik yang Mengkampanyekan Anti Penebangan Liar

“Kalau belum layu dan kunyit belum hilang, itu belum bisa bekerja keluar dan bekerja,” jelasnya.

Bagi Pangarita, hal yang menjadi kesulitannya dan sikerei lainnya adalah mendapatkan daun-daun obat seperti mumunen, pelekak dan daun lainnya. Tanaman ini harus dicari ke dalam hutan yang berjarak sekitar 2-3 kilometer dari perkampungannya.

Di sekitar kampung, memang sudah mulai jarang ditemukan tanaman obat karena aktivitas perladangan masyarakat. Tumbuhan yang terdekat berupa aileleppet, simakkainak dan daun surak (puring) karena biasa ditanam di pekarangan rumah.

Baginya dan para sikerei, hutan sangat penting untuk apotik hidup. Oleh karena itu, dirinya menolak kehadiran Hutan Tanaman Energi yang dibuka di Hutan Siberut. Pangarita mengaku memiliki hak untuk menolak kehadiran HTE karena memiliki tanah di sana.

“Kami Siritoitet atau Sogouk gouk, HTE tidak kami bolehkan, kehidupan orang Mentawai semua di hutan, di hutan ada buluat, daun pelekak dan daun lainnya. Di sana tanahnya masih kosong belum ada tanaman masyarakat, informasi akan dimasukan HTE di tanah kami sebelumnya dikasih tahu, yang jelas apapun bentuknya kami tidak suka,” tegasnya.

Mulai terancam

Sikerei memang memiliki kepandaian meramu tumbuhan obat, mereka bisa mengobati penyakit ringan, seperti sakit kepala dan flu. Hingga penyakit berat seperti dipatuk ular, luka bacokan, penyakit kulit, menghentikan pendarahan ibu melahirkan, dan sakit perut.

Aman Jairo seorang sikerei bercerita bahwa daun-duan juga digunakan sebagai perantara untuk berkomunikasi dengan roh-roh. Dirinya seperti sikerei lainnya memiliki lokasi rahasia di hutan-hutan tertentu untuk tanaman obat penting.

“Agar tanaman obat tidak hilang, kami punya tempat-tempat rahasia di hutan untuk menemukan tanamannya. Masuknya perusahaan yang mengambil kayu akan membuat kami kehilangan hutan tempat tumbuhnya tanaman obat,” ucap Aman yang dimuat Ekuatorial.

Bagi Aman, hutan sangat penting sebagai sumber tanaman obat. Bila hutan sudah dibuka, para sikerei akan semakin jauh berjalan kaki ke dalam hutan untuk mencari tanaman berkhasiat obat yang masih ada.

Pada 2012, Amri Bachtiar, guru besar dan peneliti tanaman obat dari Fakultas Farmasi Universitas Andalas melakukan penelitian pengobatan tradisional bersama Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT).

Dirinya meminta sikerei menunjukan cara pembuatan berbagai jenis ramuan obat yang mereka gunakan. Dalam penelitian selama 21 hari, lima sikerei dari Bojokan dan Monganpula, bisa membuat 52 ramuan untuk 52 jenis penyakit dari 115 tanaman.

Sedangkan di Kecamatan Sibreut Tengah di Dusun Saibi dan Dusun Sirisurak, lima sikerei itu bisa membuat 64 jenis ramuan obat dari 152 jenis tanaman. Mereka bisa membuat ramuan segar, dan langsung dipakai saat itu juga.

Suku-Suku Asli Indonesia ini Mampu Bertahan Tanpa Mengikuti Modernitas!

Dia juga bertanya kepada sikerei tentang kegunaan tumbuhan obat tersebut dan bagaimana khasiatnya. Hal ini dilanjutkan penelitian di laboratorium untuk mengonfirmasi, apakah khasiatnya sesuai dengan pengetahuan sikerei.

Ternyata setelah diuji, kata Amri, memang ada korelasi dari apa yang diceritakan tentang khasiat tanaman obat ini. Namun ini baru kandungan kimia dari tanaman obat, sedangkan ramuan sikerei dari beberapa jenis tanaman belum diteliti.

Dari 209 tumbuhan yang sering digunakan untuk pengobatan, ada 31 macam penyakit yang dapat disembuhkan, begitulah klaim sikerei. Penyakit terbanyak yang bisa diobati adalah sakit perut dan berbagai ‘penyakit perempuan’ seperti sakit perurt saat datang bulan.

Jenis tumbuhan yang paling banyak digunakan adalah Rubiaceae (20 jenis), Zingiberaceae (19 jenis), dan Euphorbiaceae (14 jenis). Jenis-jenis tumbuhan itu ada yang digunakan secara tunggal, ada juga yang dicampur dengan bahan lain.

Amri mengatakan saat penelitian di Siberut, tim peneliti tidak menemukan 23 jenis tanaman obat yang digunakan di Sirisurak, serta 10 jenis tanaman yang digunakan sikerei di Bojakan yang menandakan tanaman itu sudah langka.

“Ancaman pada tanaman obat itu adalah eksploitasi hutan, itu tentu akan menghilangkan tanaman obat khas yang ada di sana,” kata Amri.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini