Pemikiran Dr Abdul Rivai, Dokter Pribumi yang Menginspirasi Budi Utomo

Pemikiran Dr Abdul Rivai, Dokter Pribumi yang Menginspirasi Budi Utomo
info gambar utama

Abdul Rivai mungkin namanya tidak setenar Tirto Adhi Suryo atau Mas Marco Kartodikromo. Padahal sepak terjang tokoh ini memiliki arti penting di masa-masa awal pergerakan rakyat Indonesia menentang kolonialisme.

Dirinya lahir di Palembayan, Bengkulu, pada 13 Agustus 1871. Ayahnya Abdul Karim adalah seorang guru di sekolah Melayu. Sedangkan ibunya adalah keturunan raja-raja di Muko-Muko, Bengkulu.

Rivai tumbuh di alam politik etis. Pada tahun 1894, dirinya berhasil menamatkan studi di sekolah dokter Jawa (STOVIA). Setamat di STOVIA, Abdul Rivai pernah bekerja di Medan, Sumatra Utara.

Pengkaji geopolitik Global Future Institute, Hendrajit menyebutkan ketika belajar di STOVIA maupun setelah lulus jadi dokter, putra asli Minangkabau ini belum memahami akar yang menyebabkan terjadi kontradiksi sosial dan diskriminasi rasial.

Wabah Penyakit yang Lahirkan Kebangkitan Nasional di Hindia Belanda

“Waktu itu sebagai pemuda yang dasarnya ambisius, Rivai memandang gelar kesarjanaan dari Eropa merupakan sarana kemajuan profesional dan sosial sehingga memungkinkan naik dari status rakyat kolonial menjadi warga Belanda,” ucapnya dalam Tragedi Dokter Abdul Rivai Sosok Anomali di Era Politik Etis Belanda.

Tetapi setelah lulus jadi dokter, mulailah kekecewaan dari Rivai lahir. Ternyata gajinya, hanya setengah dari gaji pada umumnya teman-teman sejawatnya sesama dokter yang asli Belanda, sementara posisinya ditempatkan dalam posisi rendahan.

Namun saat itu, disebutkan oleh Hendrajit, Rivai belum menangkap akar penyebab dari gejala diskriminasi sosial ekonomi. Bukan melawan ketidakadilan, Rivai memutuskan menjadi orang Belanda.

“Sejak Maret 1895, Rivai mulai berpakaian model Barat setelah jas dan dasi. Supaya dipandang setara dengan Belanda,” ucapnya.

Muncul kesadaran

Rivai kemudian melanjutkan studi kedokteran di Universitas Utrecht, Belanda. Sekitar 3 tahun setelah lulus dan bertugas di Medan. Di Belanda ini, Rivai mulai melihat adanya perbedaan karakteristik antara orang Belanda di tanah jajahan dengan di Eropa.

Terutama ketika dirinya mulai merintis karir di bidang kewartawanan dengan mendirikan Pewarta Wolanda yang terbit pada 1899 dan 1990 atau Bintang Hindia Belanda yang terbit pada 1902, mulai wawasannya semakin luas.

“Bahwa ternyata orang-orang Belanda yang awalnya dia idealkan simbol orang-orang modern dan berpengetahuan luas dalam ilmu dan teknologi, ternyata sebagian besar yang ada di Nusantara ini materialistik, eksploitatif dan diskriminatif.

Kisah Marie Thomas, Dokter Perempuan Pertama di Indonesia

Maka setelah menginjakkan kakinya di Belanda, Rivai bertemu dengan para profesor, politisi dan intelektual Belanda yang memperlakukannya dengan penuh hormat. Dengan para mahasiswa, Rivai melihat interaksi yang baik antara orang Belanda dan Indonesia.

“Sebagai sesama mahasiswa, profesor, dan intelektual, tanpa mengalami diskriminasi etnis atau ras, seperti di Hindia Belanda,” tulisnya.

Namun menurut Hendrajit, Rivai sebagai salah satu lapis pertama kaum nasionalis Indonesia, ibarat baru bangun tidur, tetapi belum sepenuhnya terjaga. Karena dia masih berangan orang Belanda yang tercerahkan bisa menggantikan sejawatnya di tanah jajahan.

“Dengan kata lain, Rivai masih yakin bahwa solusi terbaik adalah eratnya ikatan antara Hindia Belanda dan Belanda dalam kesetaraan, saling mengapresiasi dan saling respek satu sama lain,” paparnya.

Menginspirasi Budi Utomo

Disebutkannya Rivai telah lama memiliki dorongan yang kuat untuk aktif di jurnalisme, hal ini terjadi saat dirinya meneruskan studi di Belanda. Hal ini juga menyadarkan dirinya adanya ketidakadilan yang dialami oleh orang Pribumi.

Tetapi menurut Hendrajit, Rivai dalam reportase tulisannya jarang menyinggung atau menyorot praktik perburuhan yang eksploitatif yang ketika itu sangat intens dipraktikkan di beberapa wilayah perkebunan di Deli, Sumut.

Hal ini dijelaskannya karena pandangan Rivai bahwa demoralisasi di Hindia Belanda bukan akibat kolonialisme, melainkan karena keterbelakangan pikiran dan tradisi. Karena itu, bagi Rivai, solusi untuk menyembuhkan penyakitnya adalah pendidikan modern.

“Rivai menyerang dua karakteristik dasar masyarakat kolonial: cengkraman aristokrasi tradisional, dan ketidaksetaraan antara Eropa dan penduduk asli. Kedua karakteristik itu ada pada penduduk pribumi yang mendapatkan pendidikan,” beber Hendrajit yang menukil dari Hans Pols dalam bukunya Nurturing Indonesia, Medicine and Decolonisation in the Dutch East Indies.

Perpeloncoan, Tradisi Senioritas Warisan Zaman Kolonial yang Masih Lestari

Hal yang menarik, disebutkan oleh Hendrajit, pandangan Rivai inilah yang mengilhami para dokter Jawa yang sezaman dengannya, Dokter Wahidin Sudirohusodo kelak bersama Dokter Sutomo mendirikan organisasi sosial kebudayaan Budi Utomo.

Setelah lulus dari Universitas Amsterdam pada 1908, Rivai kemudian mendapat gelar doktor dari Universitas Ghent di Belgia. Dirinya juga sempat bekerja di laboratorium Universitas Amsterdam dan ke Inggris untuk mempelajari penyakit mata.

Tetapi setelah kembali ke tanah air, impian Rivai tak sesuai harapan. Walau jadi dokter praktik pribadi dengan penghasilan yang membuatnya kaya raya, berbaur dengan kalangan pedagang China, Arab dan Eropa, namun tetap ada yang kurang.

“Karena sontak dirinya menyadari, semua bayangan idealnya selama di Eropa cuma khayalan belaka. Di Hindia Belanda, tanah jajahan Belanda, asal-usul dan reputasi Rivai tiada guna sama sekali,” pungkasnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

RK
SA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini