Buruh Gendong, Simbol Dedikasi Perempuan Jogja untuk Hidupi Keluarga

Buruh Gendong, Simbol Dedikasi Perempuan Jogja untuk Hidupi Keluarga
info gambar utama

Ada pemandangan tak lazim kala berwisata ke pasar-pasar tradisional di Yogyakarta. Banyak wanita paruh baya tampak berjalan terbungkuk-bungkuk, sambil memikul puluhan kilo barang di punggungnya. Itulah para buruh gendong, tukang angkat barang yang telah dilakoni perempuan Jogja selama puluhan tahun.

Memang tak mudah, tapi pekerjaan berat itu terpaksa dilakukan agar tetap bisa menafkahi diri dan keluarga. Pundak, punggung, leher, dan pinggang, menjadi tumpuan utama dari pekerjaan ini.

Buruh gendong tersebar di Pasar Beringharjo, Giwangan, Gamping, dan Pasar Kranggan. Di sana, kaum wanita dari beragam usia saban hari hilir mudik menyandang setumpuk barang menggunakan selendang jarit lurik atau srumbung yang dililitkan ke tubuh mereka.

Tak jarang, beberapa ibu muda kerap terlihat membawa serta anak mereka yang masih kecil sembari bekerja. Kerasnya perjuangan tergambar dari cucuran peluh yang hitam.

Calon Mahasiswa Perlu Tahu, Inilah 5 Universitas Terbaik di Jogja

Lahir dari kemiskinan dan upah rendah


Profesi buruh gendong lahir dari kemiskinan dan pendidikan yang rendah, sehingga peluang mendapat pekerjaan layak sangat kecil. Di luar itu, wanita pedesaan Jogja sedari dulu sudah terbiasa bekerja sebagai buruh tani. Himpitan ekonomi memaksa mereka mencari solusi setidaknya untuk membiayai keperluan sehari-hari.

Keinginan hidup mandiri dan tak bergantung pada suami adalah faktor lain dari pilihan mereka. Di samping itu, minimnya keterampilan pun ikut mendorong para wanita ‘pinggiran’ Jogja menjalani profesi ini. Tak perlu banyak modal, hanya dengan tenaga dan kepiawaian menawarkan jasa, mereka sudah bisa menghasilkan uang walau tentu tak seberapa besar nominalnya.

Para buruh gendong umumnya memulai aktivitas dari pagi buta dan pulang pukul 4 sore, tak peduli panas atau hujan. Upah yang diterima pun bervariasi, tergantung pengguna jasanya. Biasanya sekitar Rp1.000– Rp3.000. Penghasilan yang mereka raih per hari rata-rata Rp20 ribu-Rp50 ribu.

Jumlah tersebut jelas tak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan buruh gendong, apalagi pasar itu sangat luas. Butuh kekuatan besar untuk tetap bertahan membawa puluhan kilogram barang di punggung sambil berjalan puluhan meter atau menaiki tangga.

Tapi, begitulah realita dan risiko dari pekerjaan mulia ini. Buruh gendong tidak dapat menuntut banyak. Bisa kasih makan keluarga saja sudah cukup bagi mereka.

Seru tapi Bikin Merinding, Ini 5 Tempat Wisata Mistis di Jogja

Simbol dedikasi wanita bagi keluarga

Melihat kondisi ini, sepertinya tidak berlebihan jika menganggap keberadaan buruh gendong sebagai simbol dedikasi kaum wanita Jogja dalam menghidupi keluarga. Mereka ibarat wajah dari keperkasaan seorang perempuan.

Banyak risiko yang mengintai mereka setiap hari dalam menjalankan pekerjaan ini, di antaranya: kecelakaan, penipuan, atau kejahatan lainnya, apalagi sebagian besar buruh gendong sudah berusia lanjut dan tidak bisa baca tulis.

Tak jarang juga mereka dimarahi oleh pengguna jasa ketika mereka tidak bekerja dengan baik. Kalau ada barang yang rusak atau hilang, mereka harus menggantinya. Itulah gambaran kecil dari perjuangan buruh gendong.

Di luar semua kepahitan itu, momen bulan puasa atau libur sangat ditunggu-tunggu oleh para buruh gendong, sebab mereka bisa meraup uang lebih banyak dari biasanya. Kawasan wisata Jogja bakal dipenuhi pengunjung dari berbagai penjuru Indonesia.

Selain lebih banyak yang menggunakan jasanya, tak jarang mereka pun mendapat tip dengan nilai yang cukup besar.

5 Minuman Khas Jogja yang Patut Kamu Coba, Ada yang Jadi Kegemaran Sultan Yogyakarta

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Afdal Hasan lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Afdal Hasan.

AH
SA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini