Cerita Kemilau Mutiara yang Pernah Berkelip Terang di Kepulauan Aru

Cerita Kemilau Mutiara yang Pernah Berkelip Terang di Kepulauan Aru
info gambar utama

Kepulauan Aru, Maluku identik dengan mutiara sehingga gugusan kepulauan di Laut Arufu ini dijuluki “Nusa Mutiara”. Mutiara dari Aru ini tidak hanya dikenal di dalam negeri namun hingga luar negeri.

Pada mutiara berikut cakang yang melindunginya, warga Aru pernah menggantungkan hidupnya. Kisah ini diceritakan Melianus Labok yang sudah memulai perburuan mutiara sejak usianya 17 tahun.

Dimuat dari Kompas, di pesisir yang tidak jauh dari desanya, Desa Salarem di Pulau Terangan, Kecamatan Aru Selatan Timur, Kabupaten Aru, Maluku, perburuan itu dilakukan. Dirinya sudah biasa menyelam sampai dasar laut dengan kedalaman 10 meter.

Pentingnya Menjaga Pulau Terluar Indonesia

Perburuan mutiara dilakukan meski resikonya tidak kecil. Tidak sedikit rekan Melianus yang meninggal karena kehabisan oksigen. Tidak sedikit pula rekannya yang menjadi tuli karena tekanan air laut yang merusak gendang telinga.

Melianus merupakan bagian dari generasi penerus pemburu mutiara di Aru. Secara turun-temurun kepiawaian mencari mutiara di dasar laut di wariskan. Perburuan mutiara itu sendiri sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu.

Komoditas penting

Alfred Russel Wallace telah mencatat perburuan mutiara di Aru ini pada abad ke 19 dalam bukunya Menjelajah Nusantara. Wallace datang ke Aru pada tahun 1857 menyebut mutiara merupakan komoditas penting di Aru.

Hal itu sudah berlangsung lama, jauh sebelum dirinya tiba. Mutiara berikut kerangnya dibarter dengan barang lain dari luar Aru, seperti tembakau, sendok, panci dan senapan. Pelaut-pelaut dari Makassar memungkinkan barter barang ini terjadi.

“Mereka berangkat saat angin musim barat dari Makassar, yaitu bulan Desember hingga Januari, kemudian kembali ke Aru memanfaatkan angin musim timur, yaitu bulan Juli-Agustus,” tulis A Ponco Anggoro dalam Kilau Mutiara Aru yang Kian Meredup.

Masyarakat di Aru Utara Kini Nikmati BBM Satu Harga

Dari Makassar, mutiara dan kerangnya yang kala itu sering dimanfaatkan untuk perhiasan memungkinkan dibawa hingga Eropa. Hal ini tak lain karena Makassar masuk dalam jalur perdagangan orang-orang Eropa.

“Karena komoditas itu begitu bernilai, di hampir setiap desa di Aru warga membuat ritual agar dimudahkan mencari dan diberi keselamatan. Ritual ini pun sudah dilakukan leluhur kami,” kata Belthasar Labok, warga Salarem lainnya

Di Salarem, misalnya, ritual itu dinamakan Pesta Pamali Kalorang dan dibuat satu kali dalam setahun. Pesta diakhiri dengan melarung sesajen, seperti sirih, tembakau, dan logam, ke tengah laut.

Ritual juga dibuat agar dimudahkan memperoleh mutiara karena mutiara tidak ada di setiap kerang. Karena itu, ketika warga mendapati mutiara, pesta besar dibuat. Warga satu kampung akan diudang.

Kini menurun

Mutiara berikut kerangnya menjadi tumpuan hidup masyarakat Aru. Namun kondisi ini mulai berubah sejak tahun 1990-an. Kerang mutiara alam kian sulit diperoleh imbas dari pengambilan berlebih terutama dengan alat lebih modern.

“Sejak tahun 1980, banyak perusahaan masuk Aru dan mengambil kerang mutiara. Mereka menggunakan tabung oksigen untuk menyelam sehingga lebih banyak kerang diambil daripada kami yang tidak menggunakan alat,” kata Melianus.

Ketika Tanaman Gambir Membawa Permata bagi Petani Sumbar

Kini mencari kerang mutiara dalam seminggu didapat tidak lebih dari 5 kilogram. Padahal dulu, ketika kerang masih banyak bisa didapat sampai tiga kali lipat. Selain itu harga jualnya juga menurun.

Penurunan hasil tangkapan ditambah penurunan harga membuat banyak warga Aru berhenti mencari mutiara. Namun, tidak bagi Melianus, dia masih memburu kerang mutiara demi bertahan hidup.

Selama kerang mutiara masih ada, saya masih terus mencarinya,” katanya

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini