Menikmati Kopi dan Kisahnya di Dharma Boutique Roastery, Penyangraian Kopi Tertua Semarang

Menikmati Kopi dan Kisahnya di Dharma Boutique Roastery, Penyangraian Kopi Tertua Semarang
info gambar utama

Belum banyak diketahui oleh warga Semarang sendiri jika di antara kepadatan ruko di kawasan Pecinan terdapat rumah yang menyimpan sejarah industri kopi. Bukan hanya di tingkat lokal tetapi pada skala nasional. Tempat tersebut pun terbuka bagi pengunjung untuk menikmati kisah dan kopinya.

Berada di Jalan Wotgandul Barat yang dikenal sebagai sentra kuliner di Pecinan, rumah dua lantai bercat putih tersebut kerap menarik perhatian mereka yang melintas karena kecantikan arsitekturnya yang bergaya kolonial. Namun banyak yang mengira rumah tersebut hanya hunian biasa jika bukan karena papan penanda sederhana bertuliskan 'Dharma Boutique Roastery' serta aroma khas kopi dari jendela yang terbuka langsung ke jalanan ketika proses penyangraian biji kopi dilakukan.

Sesuai dengan namanya, rumah tersebut menaungi 'roastery' atau tempat penyangraian kopi yang merupakan kelanjutan dari Pabrik Kopi Margo Redjo: salah satu pabrik kopi terbesar di era kolonial yang kini dipimpin oleh Widayat Basuki Dharmowiyono (Tan Tjoan Pie) atau akrab disebut Pak Bas sebagai generasi ketiga.

Aktivitas penyangraian dilakukan dengan mesin Hanneman berbentuk roda buatan Belanda yang telah digunakan sejak pabrik berdiri pada tahun 1915. Mesin tersebut dioperasikan secara manual lewat kayuhan tangan Mbak Sri, yang sudah berpengalaman melakukanya selama 20 tahun. Aroma khas kopi yang menguar, suara mirip letupan popcorn yang matang, serta asap yang menghitam menandakan jika biji kopi telah tersangrai sempurna.

Kelezatan Kopi Gayo yang Telah Jadi Warisan Seabad Masyarakat Aceh

Dari semula 1 liter biji berwarna putih kehijauan (green bean), dihasilkan 600 gram biji kopi berwarna coklat kehitaman seperti yang umum kita kenali. Proses tersebut menjadi 'atraksi' menarik bagi pengunjung yang umumnya baru pertama kali melihat penyangraian kopi secara tradisional--terlebih dengan alat yang bersejarah.

Tersedia biji kopi dengan beragam proses dari seantero Indonesia: Gayo, Kayu Aro, Ciwidey, Kintamani, Bajawa, hingga Wamena dalam toples-toples kaca jadul yang biasa dijumpai di rumah kakek. Salah satu varian yang menarik adalah kopi Lanang (laki-laki dalam bahasa Jawa) asal Temanggung yang dianggap sebagai penambah stamina bagi pria. Alasan penamaanya karena biji kopi yang digunakan adalah biji kopi monokotil yang tidak dapat digunakan sebagai benih, berbeda dengan sebagian besar biji kopi yang dikotil dan mampu melahirkan benih baru seperti perempuan.

Pak Bas dan kopi dari seantero negeri (Sumber: instagram @dharmaboutiqueroastery | dokumen pribadi)
info gambar

Biji kopi yang dijajakan dapat dibeli langsung atau dihaluskan menjadi kopi bubuk untuk dibawa pulang. Pilihan lainya adalah menikmatinya dalam secangkir kopi di halaman rumah yang asri dengan pohon tanjung tua yang menjadi peneduh dari cuaca Semarang yang terkenal terik di siang hari. Terbangunlah suasana santai seperti tengah menyesap kopi di pekarangan rumah sendiri. Rumah cantik yang menjadi latar halaman turut menjadi daya tarik terutama bagi penggemar arsitektur, fotografi, dan sejarah.

Rumah dengan langgam landhuis Neo Klasik, menurut Panduan Jelajah Pusat Kota Lama Semarang Djarum Foundation, tersebut diperkirakan berdiri sekitar 1850an dan hingga kini telah ditinggali oleh lima generasi keluarga Pak Bas. Sejak didirikan, tidak terdapat perubahan berarti selain penambahan teras dengan pilar bergaya Art Deco pada tahun 1927 yang disertai dua buah patung singa bergaya Eropa alih-alih Cina. Aktivitas perkopian membuat rumah yang telah terdaftar sebagai cagar budaya tersebut umum dikenal sebagai 'Rumah Kopi'.

Perjalanan Margo Redjo

Koffiebanderiej (Penyangraian Kopi) Margo Redjo didirikan pada tahun 1915 di Cimahi oleh Tan Tiong Ie. Ia berasal dari keluarga Tan yang berpengaruh sebagai penghasil pemimpin-pemimpin di komunitas Tionghoa Semarang serta pemegang hak penjualan (pacht) garam. Pada tahun 1925, pabrik berpindah ke kota asalnya, terakhir ke halaman rumahnya yang bertahan hingga kini.

Label salah satu merk kopi produksi Margo Redjo. (instagram.com/dharmaboutiqueroastery)
info gambar

Berdasarkan koran De Locomotief tahun 1947, pabrik yang berarti 'Jalan Kemakmuran' dalam bahasa Jawa ini mencapai kejayaanya pada tahun 1929 ketika memasok sebagian besar kebutuhan kopi Hindia Belanda. Merujuk disertasi Alexander Clavier, Tan Tiong Ie adalah generasi yang mempelopori strategi pemasaran dengan membuat bermacam merk dengan kualitas dan harga produk yang menyesuaikan konsumen (Ihsani, 2022).

Contohnya kopi bubuk 'Sumber Urip' berlogo petani menggarap sawah yang memang ditargetkan untuk konsumen dari kelas ekonomi tersebut. Keluarga Tan kemudian turut membuat produk turunan kopi seperti hopjesatau permen kopi klasik asal Belanda.

Indonesia Jual Kopi ke Mesir, Dibayarnya Bukan Pakai Uang tapi Kurma

Tan Tiong Ie sendiri tercatat dalam Orang-Orang Tionghoa Jang Terkemoeka di Djawa (1935) sebagai orang Tionghoa pertama yang mengeskpor kopi dengan jumlah mencapai satu juta kilogram per tahun (Galikano, 2017).

Dulu dan kini: mesin-mesin yang menjadi saksi kejayaan Margo Redjo (Sumber: instagram/dharmaboutiqueroastery | dokumen pribadi)
info gambar

Bukti kejayaan tersebut dapat dilihat dari kepemilikan mesin-mesin raksasa penyangrai kopi bermerk 'Eureka' buatan Belanda yang berkapasitas 60 dan 120 kilogram selain mesin-mesin penggiling biji kopi untuk menghaluskan biji kopi yang telah disangrai menjadi bubuk kopi serta sepeda-sepeda ontel yang dahulu digunakan untuk mengedarkan produk.

Terdapat pula dua buah mesin penyangrai kopi buatan Jerman yang khusus dihadirkan pada masa agresi militer. Alkisah pasukan Belanda yang menguasai Semarang membutuhkan asupan kopi tetapi mesin penyangrai 'Eureka' tidak dapat berproduksi karena terputusnya listrik akibat perang. Sehingga dibelilah mesin penyangrai berikut mesin diesel dari kapal sebagai sumber tenaga. Pada saat itu sampai terjadi antrian panjang truk Belanda untuk mengangkut kopi dari pabrik ini.

Stan Margo Redjo di pasar malam Semarang sebagai upaya promosi. (Dokumen Dharma Boutique Roastery)
info gambar

Seluruh mesin tersebut masih tersimpan pada ruangan bekas pabrik di halaman belakang rumah meskipun tidak lagi difungsikan semenjak produksi kopi terus mengalami penurunan. Kejayaan Pabrik Kopi Margo Redjo memang terbilang singkat, kemunduran dimulai dari masa kelesuan ekonomi yang melanda dunia pada tahun 1930an.

Bahkan pada masa penjajahan Jepang, Tan Liang Tjay sebagai generasi kedua sampai harus mengungsikan beberapa mesin ke kawanya di lingkungan Keraton Surakarta agar selamat dari incaran Jepang yang mengumpulkan besin untuk dilebur menjadi peralatan perang.

Dua fenomena tersebut memang meredupkan industri kopi negeri, dimana Depresi Ekonomi membuat harga kopi anjlok dan kehadiran Jepang pada Perang Dunia II banyak menghancurkan perkebunan kopi (Rahman et.al., 2011).

Bertahan dan Berkembang

Meskipun dengan kapasitas yang jauh di bawah masa kejayaanya, pabrik terus berlanjut menyangrai dan melayani pembelian biji kopi. Mesin-mesin besar telah pensiun dan digantikan oleh mesin penyangrai sederhana yang digunakan hingga sekarang. Ada kalanya ketika Pak Bas terus-terusan 'nombok' demi mempertahankan bisnisnya. Angin segar kemudian berhembus ketika tren minum kopi sebagai gaya hidup terutama bagi anak muda bermunculan, salah satunya dimotori lewat beredarnya film Filosofi Kopi (2015).

Rumah dan halaman asri membangun suasana kerasan 'seperti di rumah.' (instagram/dharmaboutiqueroastery)
info gambar

Tren tersebut membuat media mewartakan pabrik kopi Margo Redjo dan perlahan semakin banyak orang yang berkunjung dari dalam dan luar kota. Dibuatlah konsep 'boutique roastery' yang terbuka bagi pengunjung untuk melihat langsung proses kopi dari tahap penyangraian hingga menjadi secangkir kopi yang dapat dinikmati.

Tidak terbatas bagi penggemar kopi, mereka yang awam dengan kopi sekali pun akan menikmati kunjungan dikarenakan pelayanan yang bersifat edukatif dan interaktif mengenai informasi seputar kopi. Pak Bas di usianya yang tidak lagi muda juga kerap hadir diantara pengunjung untuk menjawab keingintahuan mereka akan perjalanan bisnis keluarganya. Jadi bukan sekedar minum kopi tetapi juga mendalami proses dan kisahnya yang berharga.

Menikmati Kelezatan Kopi Toraja dari Selimut Kabut di Negeri di Atas Awan

Referensi:

Galikano, S. (2017). Jalan Leluhur Rumah Kopi Semarang. Sarasvati.

Ihsani, A. (2022). Jatuh Bangun Bisnis Orang Tionghoa di Tanah Hindia. Intisari No.317.

Rahman, A. L., & Permadi, G. (2011). Secangkir Kopi Meracik Tradisi. (A. Supriono, Ed.). Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

FW
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini