One China Policy Dalam Konflik China-Taiwan: Senjata bagi Amerika Serikat

One China Policy Dalam Konflik China-Taiwan: Senjata bagi Amerika Serikat
info gambar utama

One China Policy atau Kebijakan Satu China merupakan kebijakan yang menyatakan bahwa pemerintahan yang sah dari China hanyalah pemerintahan Republik Rakyat China. Dengan adanya kebijakan ini, Taiwan tidak diakui sebagai sebuah negara yang terpisah dari China. Hal ini tentu menjadi alasan ketegangan antara China dan Taiwan bahkan hingga saat ini. Konflik ini merupakan akibat dari perselisihan atas status politik Taiwan yang ingin memerdekakan diri dari Republik Rakyat China.

Konflik antara keduanya bermula pada tahun 1945-1949 yang disebabkan karena adanya perbedaan ideologi, di mana Partai Nasionalis China (PNC) yang dipimpin langsung oleh Chiang Kai Shek dan Partai Komunis China (PKC) Mao Zedong saling berseteru yang pada akhirnya kekalahan diterima oleh pihak PNC. Masyarakat China lebih memihak kepada PKC. Alhasil, Chiang Kai Shek bersama kaum nasionalis lainnya pergi ke Taipei dan membuat sistem pemerintahan baru di sana yang kemudian kita kenal dengan Taiwan.

KEK Pariwisata Lido, Calon Destinasi Internasional Andalan Baru di Bogor

Selanjutnya Taiwan membentuk militer sendiri dengan mendapatkan pasokan senjata dari AS. Seperti yang disampaikan oleh Huang (2010) selain memberikan pasokan sistem senjata canggih, AS memberi Taiwan dukungan perangkat lunak yang cukup besar, mulai dari kesempatan untuk belajar di sekolah staf dan perang AS hingga reformasi doktrin melalui pelatihan dan latihan bersama.

Dengan ini kemudian China resmi mengeluarkan kebijakan One China Policy. Kondisi kedua negara menghasilkan hubungan trilateral yang rumit dengan adanya AS. China yang mengeluarkan kebijakan tersebut awalnya dengan niat untuk menjaga persatuan wilayahnya justru menjadi titik kelemahan China di mata AS dan menjadi "senjata makan tuan".

AS hadir dan mulai menyulut tensi antara China dan Taiwan dengan secara terbuka, AS menyatakan akan terus mengekspor senjata ke Taiwan tanpa persetujuan China karena menganggap tidak melanggar apapun dalam One China Policy. Hubungan ini dimanfaatkan secara sengaja sebagai bentuk ketidaksukaan AS terhadap kemajuan ekonomi China. Padahal, AS secara terang-terangan mengakui One China Policy.

Mengutip dari Scobell (2022), pada tahun 1972 kedua negara mengeluarkan Shanghai Communique yang isinya janji bagi kedua negara untuk bekerja menuju hubungan diplomatik formal. Namun dengan Taiwan, AS memperkuat kerjasama di bidang teknologi, ekonomi, militer dan pendidikan.

Mereka seakan tahu bahwa ketika AS “bermain” dengan Taiwan, maka China bisa kepanasan. Tentu motif ini jadi masuk akal mengingat AS akhir-akhir ini bersaing ketat dengan China di arena perdagangan.

Kerja sama antar Taiwan-AS ini kemudian diyakini sebagai bentuk perlawanan terhadap China. Pernyataan AS untuk tetap menengahi tindakan kedua negara dengan cara damai nyatanya hanya di atas kertas.

Tindakan ini tercerminkan dari Nancy Pelosi, ketua DPR AS yang berkunjung ke Taiwan. Implikasinya China pun mengecam AS atas tindakan tersebut. China menganggap bahwa kunjungan Nancy merupakan sebuah upaya AS untuk meningkatkan jumlah militer AS di Taipei.

Selain itu, salah satu diplomat China juga mengatakan bahwa kedatangan Nancy adalah bentuk “dukungan” terhadap kaum separatis Taiwan. Ibarat perselingkuhan antar suami istri, AS sebagai selingkuhan Taiwan tidak bisa melepaskan Taiwan dengan dalil seribu kepentingan di sana.

Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Roberge dan Youkyung pada tahun 2009 bahwasanya AS memperlihatkan sikap ambigu terhadap keberpihakannya dengan China atau Taiwan, karena Taiwan merupakan konsumen terbesar di Asia Timur yang membeli persenjataan dari AS.

Perselingkuhan ini semakin panas dengan sikap menggebu-gebu Taiwan menginginkan kemerdekaan secara impulsif, memaksa China melakukan beberapa tindakan peringatan militer ke Taiwan.

Perdana Menteri Taiwan, Joseph Wu, menyatakan tindakan China sehubungan dengan kedatangan Nancy hanya dijadikan kedok sebagai serangan invasi dalam bidang ekonomi, politik dan militer. Secara tidak langsung, pihaknya menyatakan keberpihakan terhadap AS dan menentang China.

TransNusa Buka Rute Penerbangan Internasional Baru ke Kuala Lumpur

Arah kebijakan One China Policy tergantung kepada tindakan AS di masa depan. Selepas kunjungan Nancy ke Taiwan, China langsung mengirimkan peringatan terbuka. Hubungan bilateral antara AS dan China bergeser dari kerjasama persaingan keuntungan menjadi konfrontasional terbuka.

Ketika administrasi Trump memperluas penjualan senjata ke Taiwan, diikuti dengan Biden yang semakin melanjutkan pendekatan tersebut. Didukung pernyataan Biden yang menyatakan bahwa Taiwan telah merdeka, memperluas konfrontasi yang memang sudah terbuka lebar.

Dollar mungkin dapat terus merangkak naik dan mereka dapat dengan tenang berkuasa sebagai negara adidaya apabila perekonomian China diguncang dan diharapkan dapat jatuh perlahan.

Konflik antara China dan Taiwan dapat ditinjau dengan teori realisme. Menurut asumsi dasar realisme, negara akan selalu berusaha untuk mempertahankan kekuatannya. Seperti yang dinyatakan oleh Thomas Hobbes (1651) dalam bukunya yang berjudul Leviathan bahwa untuk mencapai keamanan, negara akan berupaya untuk meningkatkan kekuatan mereka masing-masing.

Hans J. Morgenthau mengemukakan dalam bukunya yang berjudul Politics Among Nations bahwasanya seorang negarawan harus memikirkan kepentingan nasional, yang dipahami sebagai kekuatan di antara kekuatan-kekuatan lain. Selain itu, E.H Carr dalam bukunya yang berjudul, The Twenty Years of Crisis mengatakan bahwa pada dasarnya negara akan melindungi kepentingan nasional mereka demi mencapai tujuan mereka.

Dalam perspektif realisme, perlakuan China menolak mengakui Taiwan sebagai negara disebabkan Taiwan berpotensi dalam bidang teknologi dan ekonomi pasar. Tidak hanya itu, kepentingan AS di Taiwan memiliki pengaruh besar dalam konflik. Diikuti dengan latar belakang ideologi yang sama, maka hal ini menjadi kesempatan bagus untuk AS ikut serta di dalamnya.

Dengan ini, teori realisme dapat membuktikan motif AS mempergunakan Taiwan dan kebijakan One China Policy sebagai senjata terselubung melawan China dalam arena perdagangan. Hal ini beriringan dengan pandangan realis yang mengatakan bahwa sebuah negara memiliki state of nature konfliktual dan pasti akan menjadi predator bagi pesaingnya untuk memperkuat eksistensinya.

Begitu juga yang disampaikan oleh John Meirsheimer dalam bukunya yang berjudul The tragedy of great power politics di mana negara great power akan selalu menambah kekuatan mereka dengan cara hegemoni regional, seperti AS yang berusaha menambah power mereka dengan memihak Taiwan karena ketakutannya terhadap eksistensi China.

Dapat disimpulkan, One China Policy seharusnya menjadi senjata China untuk mempertahankan kesatuan wilayahnya justru dilihat oleh AS sebagai sasaran empuk untuk mengalahkan China.

Jelas pengkhianatan AS terhadap China yang dulunya mengakui RRC sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah di China ini berhasil membuat China murka. Lalu bagaimana Taiwan? Taiwan seakan hanyalah umpan bagi AS untuk memenuhi kepentingannya.

Merchandise Resmi Piala Dunia U-20 2023, Buatan Lokal Kualitas Internasional

* Artikel ini merupakan artikel opini yang disusun oleh sekelompok mahasiswa Universitas Kristen Indonesia program studi Hubungan Internasional.

* Penulis: Lara Vonny Eugene Simatupang, Aurellia Angelie Shalum, Balqis Devithalia, Mikaila Acelin Sayidina, Rian Katami Sitepu, dan Rahel Novi Yanti.

Referensi:

Blackwill, R. D., & Zelikow, P. (2021). A CREDIBLE U.S. STRATEGY FOR A TAIWAN CONFLICT. In The United States, China, and Taiwan: A Strategy to Prevent War (pp. 41–50). Council on Foreign Relations. https://www.jstor.org/stable/resrep28673.11

Carr, E. H. (2016). The twenty years' crisis, 1919-1939: Reissued with a new preface from Michael Cox. Springer.

Chieh-cheng Huang, Dr. Alexander. “The United States and Taiwan’s Defense Transformation.” Brookings, n.d. https://www.brookings.edu/opinions/the-united-states-and-taiwans-defense-transformation/.

Joint Communique between the United States and China | Wilson Center Digital Archive. “Joint Communique between the United States and China | Wilson Center Digital Archive,” February 27, 1972.

Mearsheimer, J. J., & Alterman, G. (2001). The tragedy of great power politics. WW Norton & Company.

Scobell, Andrew, Alex Stephenson (2022). The United States and China: Who Changed the ‘Status Quo’ over Taiwan? United States Institute of Peace.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

MS
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini