Merekam Kota Salatiga: Tempat Peristirahatan Bangsa Kompeni yang Terlupa

Merekam Kota Salatiga: Tempat Peristirahatan Bangsa Kompeni yang Terlupa
info gambar utama

Pada zaman kolonial, sekitar awal abad ke 18, Salatiga dikenal sebagai kota peristirahatan. Para pengusaha dan Pemerintah Hindia Belanda mendirikan kota dan rumah atau vila di Salatiga untuk memantau perkebunan.

Kota ini pernah disebut sebagai kota yang terindah di Jawa Tengah. Hal ini karena pemandangan alamnya yang fantastis, dikelilingi Gunung Merbabu, Telomoyo, Gunung Ungaran, serta Danau Rawa Pening.

Camilan Enting-Enting Gepuk, Tanda Eksistensi Etnis Tionghoa di Salatiga

“Di kota ini terdapat banyak bangunan tua berarsitektur Belanda atau Eropa,” ucap Amanda Putri N dalam Tanah Air: Identitas Salatiga yang Satu-satunya Menghilang dalam Kompas.

Tetapi disebutkan oleh Putri, bangunan cagar budaya di Kota Salatiga itu dalam ancaman. Satu demi satu bangunan itu dihancurkan dan diganti dengan bangunan baru. Bangunan cagar budaya ini telah berubah menjadi bangunan komersial.

Mulai hilang

Eddy Supangkat dalam Salatiga Sketsa Kota Lama mendata setidaknya ada 70 bangunan tua yang hancur atau berganti rupa. Misalnya Hotel Kalitaman yang merupakan hotel termewah pada zaman Belanda.

“Kini tersisa hanya bangunan induknya untuk kantor Bank Jateng. Bangunan lain berubah menjadi kawasan pertokoan berarsitektur minimalis dan kantor dinas,” ucapnya.

Ada juga Tweede Europeesche School yang merupakan kompleks sekolah orang Indo dan pribumi tetapi kini berubah menjadi gedung Pasar Blauran. Kantor bus pertama di Salatiga, Eerste Salatigasche Transport Onderneming (ESTO) kini berubah menjadi toko makanan.

Pohon Pengantin Salatiga, Pohon Kesepian Penyatu Dua Insan

Pada tahun 2012, sebuah bangunan cagar budaya yang pernah menjadi tempat tinggal pahlawan nasional Dr Moewardi dihancurkan dan diganti bangunan lain. Ada juga gedung eks Hotel Blommestein yang terancam dirobohkan.

Padahal berdasarkan hasil kajian Balai Pelestarian Cagar Budaya Jateng tahun 2009, gedung itu tergolong bangunan cagar budaya klasifikasi satu yang harus dikonversi mutlak. karena itu seharusnya bangunan itu direkonstruksi.

Forum peduli

Karena itu Forum Peduli Benda Cagar Budaya (Forped BCB) Salatiga tengah berjuang menolak pembangunan pusat perbelanjaan modern di lokasi eks Hotel Blommestein. Mereka menegaskan bahwa bangunan cagar budaya merupakan bukti sejarah.

Diana, warga Kelurahan Salatiga yang rumahnya tergolong bangunan cagar budaya juga khawatir dengan pembangunan mal. Pasalnya pembangunan mall yang bersebelahan dengan kediamannya.

Tak Hanya Menjadi Kota Toleran, Salatiga Menuju Kota Gastronomi

“Tidak hanya rumah saya, di sekitar lokasi mall juga berdiri bangunan cagar budaya lain, seperti rumah tahanan warga, dan rumah tinggal,” katanya.

Wali Kota Salatiga saat itu, Yulianto menyatakan sulit untuk mencegah rusak atau hancurnya bangunan cagar budaya di kota itu. Pemkot Salatiga tidak memiliki anggaran untuk membantu pemilik mempertahankan bangunannya.

“Kami dalam proses mendata kembali bangunan cagar budaya yang ada di Salatiga untuk dimasukkan dalam perda,” ungkapnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini