Masyarakat Nosu di Mamasa, Sulawesi Barat memiliki tradisi unik bernama mangngaro yaitu membungkus ulang jenazah para leluhur. Hal ini merupakan bentuk penghormatan bagi para leluhur yang telah tiada.
Sekali dalam setahun, para warga akan mengeluarkan jenazah dari liang yang berbentuk seperti lumbung (alang), mengaraknya menuju tenda (lattang) di hamparan tanah datar, membungkus ulang jenazah dan kemudian dimasukkan kembali ke liangnya.
Kisah Bumi Arum, Pemakaman yang Beraroma Harum di Sukoharjo
Dinukil dari Kumparan, mangngaro berasal dari kata ‘mang’ yang memiliki arti melakukan dan juga ‘aro’ yang berarti keluar sehingga secara pengertian adalah sedang mengeluarkan jenazah para leluhur.
Bila dilihat, ritual masyarakat Mamasa ini mirip dengan ma’nene yang dilakukan oleh masyarakat Tana Toraja. Tetapi dalam tradisi mangngaro, pakaian jenazah tidak diganti. Namun menambahkan balutan tambahan hingga membentuk buntalan layaknya guling.
Satu tahun sekali
Masyarakat Nosu akan melakukan tradisi mangngaro setiap tahun pada bulan Agustus, selepas musim panen padi. Prosesnya akan dimulai dengan anggota keluarga dan kerabat almarhum berjalan beriringan menuju kuburan.
Setibanya mereka di kuburan, jenazah leluhur ini akan dikeluarkan dari liangnya. Sementara itu para kerabat akan mengarah jenazah tersebut. Setelah jenazah itu terkumpul, para keluarga akan melintasi pematang sawah menuju tenda.
Ziarahi Makam Tante Dolly, Pendiri Lokalisasi Tersohor di Surabaya
Arak-arakan menuju tenda persemayaman atau disebut ma’tittting ini mempunyai daya tarik sendiri. Pasalnya para perempuan yang berpakaian hitam akan berjalan paling depan sambil membentangkan kain merah diikuti sanak keluarga.
Selanjutnya jenazah para leluhur kemudian disemayamkan di bawah tenda yang sudah disiapkan di area persawahan (ratte) selama satu malam untuk dilakukan proses pembungkusan jenazah.
Bentuk penghormatan
Tradisi ini ternyata memiliki makna yang mendalam bagi masyarakat Mamasa. Bagi mereka, ini merupakan wujud pemenuhan nazar bagi orang-orang yang terkasih semasa hidupnya. Serta sebagai makna dan penghormatan kepada yang telah tiada.
Bagi masyarakat Nosu, meskipun orang sudah meninggal dunia. Sesungguhnya mereka masih bisa berinteraksi dengan keluarga yang sudah hidup. Karena itulah leluhur Mamasa dan kerabat yang telah wafat diperlakukan seperti orang hidup.
Kisah Kampung Bergota, Perkampungan yang Berada di Tengah Pemakaman
Selain itu, prosesi mangngaro yang melibatkan banyak sanak saudara juga jadi ajang silaturahmi. Karena biasanya serumpun keluarga akan berkumpul, sehingga bisa saling mengenal antar keluarga.
Tetapi seiring dengan penyebaran Agama Kristen, tradisi mangngaro mulai bergeser. Terutama beberapa ritual sesajen kepada arwah yang oleh warga setempat menyebutkannya dengan ma’dulang yang tak lagi berlangsung.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News