Mahasiswa KKN UGM Unit JT-045 Turut Merayakan Panen Raya Kentang Dieng Kulon, Banjarnegara

Mahasiswa KKN UGM Unit JT-045 Turut Merayakan Panen Raya Kentang Dieng Kulon, Banjarnegara
info gambar utama

Udara dingin menyelinap sleeping bag yang kami kenakan, mulai menusuk kulit hingga ke tulang. Meski badan telah terbungkus sepenuhnya berharap mampu memerangkap hangatnya tubuhyang justru terlihat seperti jajanan lemper−ternyata masih belum bisa menandingi dinginnya subuh di Dieng. Suara adzan subuh kini mulai bersahut-sahutan dari segala sudut desa. Tak perlu diragukan lagi, Dieng dengan mayortias masyarakat beragama islam terkenal akan kekentalannya dalam beragama.

Dinginnya pagi, Ditambah air yang semalaman ‘terjemur’ sengatan rembulan malam Dieng lengkap membuat badan siapapun akan menggigil, bahkan orang asli Dieng sekalipun. Maka tak perlu heran melihat sekumpulan shaf jamaah sholat subuh yang mengenakan jaket tebal dengan sarung tangan dan kaos kaki lengkap menutupi seluruh tubuh kecuali muka.

Hari ini, Subunit Dieng Kulon Unit KKN-PPM JT-045 akan membantu Ketua RT 2, Bapak Majabidin untuk memanen kentang. Sudah semenjak subuh, kami bersiap diri berangkat ke ladang sesuai dengan jam yang telah dikabarkan oleh Bapak Majabidin, yaitu pukul 7.00 pagi.

KKN-UGM, Cinta Persaudaraan di Kertojayan

Kami berkumpul di pondokan perempuan yang letaknya relatif dekat dengan ladang yang akan kami panen. Kami pun berbondong-bondong untuk bersiap-siap pergi ke ladang. Awalnya kami mengira pergi ke ladang menggunakan kendaraan bermotor, tetapi ternyata akses jalan yang ada hanya bisa dilalui dengan jalan kaki saja.

“Jalan kaki aja, mas. Wong jalannya naik nyusuri ladang-ladang orang,” seru Bu Majabidin.

Kami mulai berangkat mengikuti jalan Bu Majabidin. Benar saja, jalanan yang menanjak tinggi nan sempit selebar bahu serta tanah yang berlumpur tidak memungkinkan untuk kendaraan motor dapat melewatinya. Kami harus rela beberapa kali tergelincir licinnya jalanan berlumpur, telak membuat tangan dan kaki kami bersentuhan dengan tanah berair tersebut. Kami melewati ladang-ladang kentang dan menyapa beberapa petani yang juga telah bersiap memanen ladang kentangnya masing-masing.

Setelah kurang lebih 15 menit perjalanan penuh lika liku menuju ladang kentang Bapak Majabidin, kami akhirnya sampai dan disambut oleh beberapa bapak ibu petani lainnya yang juga turut membantu panen kentang. Kami langsung menawarkan tenaga kami untuk turut membantu mencangkul dan kentang yang masih terkubur di dalam tanah.

“Oh ya, monggo, mas. Ambil itu cangkulnya... Gini caranya, mas,” seru salah satu bapak petani yang mengarahkan dan memperlihatkan caranya kepada kami.

Kami pun langsung membagi tugas dan saling bergantian, ada yang mencangkul tanahnya supaya lebih mudah untuk dikais dan ada juga yang mengais tanah menjumputi kentang-kentang yang berserakan. Kentang-kentang yang berhasil dikumpulkan dibedakan sesuai dengan ukurannya. Sepanjang pencangkulan, beberapa kali kami merusak 3-4 buah kentang akibat teknik ayunan cangkul yang salah, beruntungnya bapak ibu petani memaklumi kepemulaan kami dalam bertani.

“Walah, salah itu caranya mas,” timpal salah satu petani sambil terkekeh melihat kekikukan kami.

“Wes, gapapa, yang penting mereka senang dan bisa belajar panen kentang,” sahut petani lainnya mencoba menenangkan.

Sepanjang proses pemanenan, kami menemukan hal yang menyita perhatian kami, yaitu kentang berkulit merah dan berkulit ungu yang berhasil kami panen. Setelah kami telusuri, ternyata kentang kulit merah dan kulit ungu hanya hidup di dataran tinggi dan memiliki kandungan antioksidan lebih tinggi. Sayangnya, varian kentang tersebut sudah jarang dibudidayakan oleh petani sekitar karena permintaan pasar yang tidak tinggi.

Keseruan KKN PPM UGM Pesisir Ngombol Hari Raya Idul Adha di Desa Depokrejo
Salah seorang mahasiswa KKN UGM memperlihatkan kentang panenannya | Dokumentasi pribadi
info gambar

“Dulu, kami banyak bertani kentang ini (kulit merah dan kulit ungu), mas. Biasanya sih yang minta di tempat wisata gitu, tapi sekarang penjualannya susah. Lebih baik menyuplai ke pasar dan industri makanan olahan kentang. Kami bisa kirim ke jabodetabek juga,” jawab Bapak Majabidin ketika kita bertanya mengapa hanya ada segelintir kentang kulit merah di antara ribuan kentang kulit kuning.

“Ya, kentang-kentang itu sih akhirnya kami konsumsi sendiri, dibuat sayuran. Nanti kalian kumpulkan dan bawa pulang saja biar pernah nyicipin,” tawar Bapak Majabidin kepada kami. Tentu, kami tidak bisa menolak dengan alasan apapun dan gembira mendengar tawaran tersebut.

Setelah sekian baris tanah yang kami cangkul dan kais, kami diminta istirahat oleh Bapak Majabidin.

“Ayo mas, di-medhang (re: disantap) dulu teh sama jajanannya, kalau belum sarapan ini ada nasi bungkus,” seru Bapak Majabidin mengajak teman-teman KKN beserta beberapa petani lainnya untuk istirahat sejenak.

Merasa tidak enak melihat beberapa petani lainnya yang masih bekerja, kami pun mencoba bernegoisasi untuk tetap melanjutkan pekerjaan. Meskipun, tampaknya lelah ayunan kami dan engah nafas, kami tidak dapat membohongi lelah tubuh yang terbiasa di Yogyakarta harus bekerja berat di ketinggian 2000 mdpl. Rupanya tenaga bapak ibu petani di sini sudah terbiasa dengan pekerjaan berat sebagai petani.

“Di sini, tradisinya kalau capek, ya istirahat mas, gantian kerjanya jangan dikerjakan sendiri, gausah nggethu (re:ngotot) kerja jadi petani, nanti malah capek sendiri dan jatuh sakit, dinikmatin aja seluruh prosesnya,” kisah Bapak Majabidin sambil menuangkan sebuah termos berisikan teh panas dengan uap yang mengepul-ngepul ke gelasnya.

Di sela-sela istirahat, kami pun mengajukan beberapa pertanyaan yang membuat kami penasaran seperti langkah-langkah bertani kentang beserta durasinya dan berapa besar hasil panen kentang di ladang yang sedang kami kerjakan.

“Kami biasanya panen 4 bulan sekali, mas. Jadi ya satu tahun panen 3 kali,” Cerita Bapak Majabidin menjawab rasa penasaran kami.

Mengenal Ragam Kebudayaan dan Wisata Lokal di Desa Laksana Bersama Tim KKN-PPM UGM 2023

“Kalau bibitnya, ya berasal dari kentang hasil panen ini, penumbuhan tunasnya kurang lebih 4 bulan ditumbuhin terlebih dulu di rumah baru kemudian ditanam ke lahan ini dan setelah 4 bulan baru dipanen. Jadi siklusnya 4 bulanan, pembibitan 4 bulan, panen juga 4 bulan. Jadi setelah panen, bisa kita langsung tanam tunas yang udah ditumbuhin sebelumnya,” imbuh Bapak Majabidin menjabarkan proses bertani kentang dari bibit hingga panen.

“Sekali panen kami bisa mengumpulkan 1-2 ton, mas. Harganya bervariasi dari 9000-14000 per kg tergantung musim, mas,” jawab Bapak Majabidin terkait hasil panen yang bisa didapatkan. Setelah beberapa menit beristirahat, kami melanjutkan kerja mengumpulkan kentang-kentang yang telah dikelompokkan tadi ke dalam karung dengan perkiraan kasar tiap karung seberat 50 kg.

Mahasiswa KKN UGM tampak antusias dalam aktivitasnya | Sumber: Dokumentasi pribadi
info gambar

Setelah berhasil mengumpulkan seluruh kentang ke karung, kami pun turut berpamitan kepada para bapak ibu petani yang telah berbaik hati memberikan kami kesempatan untuk turut memanen kentang. Dari pernyataan yang kami dapat, ternyata tidak banyak tim KKN yang berkesempatan ikut memanen kentang dan kami mendapat kesempatan tersebut.

Seiring dengan perpisahan tersebut, kabut mulai turun menyelimuti lahan kentang memberikan sensasi sejuk selepas bekerja keras memanen dan mengumpulkan kentang. Tak lama kemudian, rintik hujan mulai turun membasahi jalanan, beruntung kami sudah sampai di rumah beristirahat setelah berlelahan memanen kentang.

Terima kasih pengalamannya, Bapak Ibu petani kentang Dieng!

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

KB
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini