Tradisi Topo Bisu, Bentuk Rasa Evalusi Diri Warga Yogyakarta di Malam 1 Suro

Tradisi Topo Bisu, Bentuk Rasa Evalusi Diri Warga Yogyakarta di Malam 1 Suro
info gambar utama

Keraton Yogyakarta selalu menjadi pusat perhatian terutama dalam acara-acara besar keagamaan. Salah satu keistimewaan adalah saat Keraton Yogyakarta menyambut kedatangan 1 Suro dengan topo bisu atau tapa bisu.

Dinukil dari Kompas, tapa bisu merupakan tradisi tahunan yang dilakukan oleh para abdi kerajaan. Mereka akan berjalan mengelilingi area sekitar Keraton Yogyakarta tanpa berbicara sepatah katapun.

Tradisi tapa bisu ini sendiri diprakarsai oleh Sultan Agung, Raja Mataram Islam. Dirinya pula yang mencetuskan sistem penanggalan Jawa tersebut. Setelah tak lagi dilakukan, kegiatan ini diprakarsai kembali oleh Sultan Hamengkubuwono II.

Malam 1 Suro, Kisah Pendaki yang Berdoa dan Ziarah ke Gunung Lawu

Dahulunya ritual dilakukan oleh para prajurit Keraton. Tidak sekadar tradisi, tapi kegiatan tersebut juga dalam rangka mengamankan lingkungan keraton. Lantaran saat itu belum ada benteng yang mengitarinya.

“Mereka berjaga sambil berdoa mohon kedamaian dan keselamatan untuk pemimpin,” kata KRT Wijoyo Pamungkas, Carik Tepas Ndwara Putra dari Keraton Yogyakarta yang dimuat TribunJogja.

Ritual tapa bisu

Rangkaian ritual tapa bisu akan diawali dengan lantunan tembang macapat yang dilantunkan oleh para abdi dalam di Bangsal Srimanganti Keraton Yogyakarta. Pada lirik kidung dalam tembang macapat terselip doa-dia harapan.

Tradisi ini akan dimulai pada tengah malam hingga dini hari, diawali ketika lonceng Kyai Brajanala di regol keben dibunyikan sebanyak 12 kali. Kemudian para abdi dalam peserta tirakat akan mulai berjalan mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta.

Dari yang Seru Hingga yang Seram, Inilah 7 Tradisi Unik di Indonesia Menyambut Tahun Baru Islam

Rute akan bermula dari Bangsal Pancaniti, Jalan Rotowijayan, Jalan Kauman, Jalan Agus Salim, Wahid Hasyim, Suryowijayan, Pojok Benteng Kulon, MT Haryono, Pojok Benteng Wetan. Jalan Brigjen Katamso, Jalan Ibu Ruswo, dan berakhir di alun-alun utara Yogyakarta.

“Dalam tradisi tapa bisu ini peserta akan berjalan dalam sunyi dan menempuh jarak kurang lebih 4 km,” paparnya.

Bentuk rasa syukur

Setiap rombongan tapa bisu ini juga telah diatur sesuai dengan maknanya, misalnya rombongan terdepan para abdi dalam harus mengenakan pakaian jawa tanpa keris dan alas kaki sembari membawa bendera Indonesia dan panji-panji Keraton Yogyakarta.

Setiap panji akan melambangkan para abdi dalem dari lima kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang meliputi wilayah Sleman, Bantul, Kulonprogo, Gunungkidul, dan Kota Yogyakarta.

Menelusuri Perbedaan Keraton Solo dan Yogyakarta

Sementara itu di belakang para abdi dalem akan ada warga dan wisatawan yang mengikuti rangkaian acara. Tetapi para warga dan wisatawan dilarang untuk berbicara, makan, minum maupun merokok.

Disebutkan situasi sakral ini merupakan simbol dari evaluasi diri sekaligus keprihatinan terhadap segala perbuatan yang dilakukan selama satu tahun terakhir. Selain itu sebagai bentuk rasa syukur.

“Serta memohon keselamatan dan kesejahteraan untuk menyambut tahun yang baru,” pungkasnya.

Referensi:

  • Tribunjogja, Asal Usul Tapa Bisu Mengelilingi Benteng Keraton, Tradisi Tiap Malam 1 Suro

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini