Kisah Abah, Pengingat Masa yang Telah Lama Berlalu

Kisah Abah, Pengingat Masa yang Telah Lama Berlalu
info gambar utama

Di Pangalengan, dengan udaranya yang sejuk, pemandanganya yang hijau, dan penduduknya yang ramah, ada satu cerita yang tak pernah lepas dari benakku. Cerita seorang abah penjaga makam, yang tidak lazim masih bekerja pada umur lanjutnya. Aku bertemu beliau di suatu pagi yang berkabut, saat cahaya redup mentari baru menerangi pepohonan yang rindang di Perkebunan Malabar.

Dengan punggungnya menghadapku, aku mengamati betapa tekunnya ia menyapu dedaunan di kebun kecil di pinggiran jalan. Tertarik, aku mendekatinya dan seperti yang kuduga, ia seramah warga lain yang kutemui di desa ini. Ia bahkan memanggilku Asep sebagai panggilannya. Dengan halus, ia mengarahkanku untuk masuk—tanpa aku ketahui kebun yang kukira taman ini adalah sebuah makam tokoh belanda.

Posyandu Balita, Edukasi Stunting dalam Upaya Perbaikan Kesehatan Anak

Dia berbagi banyak cerita tentang lokasi bersejarah ini, mengenai bagaimana dia tumbuh dengan dongeng-dongeng kebun Malabar. Dia menceritakan betapa seringnya ia dan teman-temannya mendaki Gunung Nini dan menikmati pemandangan kebun teh yang membentang hingga ke ufuk selatan.

"Dongengnya dulu, luasnya sampai menyentuh pesisir," sebutnya sambil menunjuk ke suatu bangunan modern di atas bukit.

Dengan tatapan penuh nostalgia, ia mengingat masa kecilnya bermain hingga turun kabut di sore hari. Bukit yang ia sebut adalah tempat di mana Bosscha dulu mengawasi kebun tehnya, tempat di mana dia bertemu seorang nenek yang sedang beristirahat bersama cucunya, karena itu bukit itu dikenal sebagai Gunung Nini.

Selang puluhan dekade setelah hari itu, bukit ini menjadi tempat di mana Abah menghabiskan masa kecilnya, bermain dengan teman-temanya di antara barisan-barisan rapih kebun teh. Ia mengungkap, bagaimana sebagai putra asli Pangalengan, ia merasa seperti waktu berlalu dengan cepat di hadapannya.

Ia memandang daerah ini dengan penuh cinta; mengamati dengan kagum bagaimana wilayah yang dulu ia hapal seperti tanganya sendiri, perlahan-lahan berubah menjadi suatu tempat yang tak lagi ia kenal.

Bahkan, bukit yang telah menjadi teman setianya sejak kecil hingga lanjut usia, sekarang tidak lagi bisa ia kunjungi. Tempat yang dulu ia anggap sebagai rumah kedua, kini telah berubah menjadi destinasi wisata internasional dengan biaya masuk yang jauh di luar kemampuan Abah.

Namun, dari lubuk hati, ia bangga bahwa bukit yang dulu hanya dianggap sebagai gundukan tanah, kini mampu menciptakan penghidupan bagi banyak orang di desanya. Bukit itu pun menghadirkan banyak kebahagiaan bagi warganya, mulai dari yang hanya sekadar sebagai pelipur lara hingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan yang menopang hidup banyak orang.

Pengoptimalan Limbah Kopi Sebagai Pupuk Kompos Pada Masyarakat Pekon Sedampah Indah

Beliau juga merasa bahagia, karena seperti dirinya dulu, Gunung Nini sekarang dapat menjadi bagian masa kecil banyak anak diseluruh Indonesia. Dengan angan-angan ini ia merasa ikhlas walau harus bernostalgia dari kejauhan dan meluapkan rasa rindu dibalik pagar kawat.

Zaman telah beralih meninggalkan banyak kisah di Pangalengan. Beberapa waktu setelah mendengar cerita Abah, saat berada di Pangalengan, aku sering kali menemukan pandanganku terpaku kepada Gunung Nini—merenungkan seberapa banyak kenangan masa kecilku yang dibangun di atas memori orang-orang seperti Abah.

Abah dan kisahnya hanyalah secuil kisah dari banyaknya sejarah di bumi Sunda. Walau Gunung Nini hanyalah destinasi wisata bagi banyak orang, bagi penduduk sekitarnya, ia mengingatkan mereka akan masa yang indah. Masa yang mungkin lebih sederhana—tetapi masa yang telah lama berlalu.

Kawan GNFI tertarik dengan kisah lainnya? Stay tune, ya!

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini