Keindahan Batik Gedog Tuban yang Lahir dari Penderitaan Tanam Paksa

Keindahan Batik Gedog Tuban yang Lahir dari Penderitaan Tanam Paksa
info gambar utama

Batik gedog Tuban tak bisa lepas dari kapas dan indigo yang digunakan sebagai bahan baku. Kapas digunakan sebagai bahan baku kain tenun gedog, sedangkan indigo yang di daerah itu disebut nila adalah bahan pewarna.

Tetapi baik tanaman kapas dan indigo merupakan saksi penderitaan rakyat pada masa tanam paksa yang berlangsung pada 1830-1870. Kedua tanaman ini, selain kopi, teh, tebu, dan tembakau menjadi andalan Belanda untuk diekspor ke luar negeri.

“Tuban yang kala itu berada di bawah Karesidenan Rembang tak luput menjadi daerah sasaran lokasi tanam paksa,” jelas Sri Rejeki atau M Hilmi Faiq dalam Sejarah: Kupasan Kapasa dan Torehan Biru Nila yang dimuat Kompas.

Dibalik Batik Gedog Tuban yang Keluarkan Warga dari Jeratan Kemiskinan

Ketika itu hasil panen harus diserahkan kepada Belanda dengan nilai yang telah ditetapkan. Ini dianggap sebagai pembayaran utang pajak tanah desa kepada penduduk. Penduduk yang tidak memiliki tanah diwajibkan bekerja 75 hari selama setahun.

“Dalam praktiknya, sistem ini menciptakan kemiskinan dan kelaparan petani, para pemilik sejati lahan pertanian tersebut,” tulis mereka.

Ladang yang tersisa

Disebutkan oleh Hilmi, setelah dua abad pasca tanam paksa, ladang tanaman kapas sudah jarang ditemukan di Tuban kecuali di Kecamatan Kerek. Kapas masih kerap ditanam di sanam karena masih dibutuhkan sebagai bahan baku benang dan kain tenun.

Kapas diperlakukan sebagai tanaman tumpang sari atau selingan setelah palawija sambil menunggu hujan turun sebelum mulai menanam padi. Tanah kerek yang kurang subur ditambah sifatnya yang tadah hujan hanya menghasilkan paling banyak dua kali panen padi.

“Kadang-kadang terjadi masa kosong tanam jika kemarau berlangsung,” paparnya.

Kisah Tanah Betawi yang Pernah Jadi Pusat Industri Batik di Indonesia

Di daerah batik lainnya, seperti Kecamatan Tuban, Palang, Semanding, dan Merakurak, tanaman kapas sudah ditinggalkan. Biasanya tanah yang relatif subur di ketiga wilayah itu akan ditanam padi sepanjang tahun karena nilai ekonominya tinggi.

“Para pembatik di sana lebih memilih menggunakan kain keluaran pabrik ketimbang kain tenun gedog.” jelasnya.

Mulai hilang?

Zaenal Abidin, seorang juragan tenun mengungkapkan bahwa luasan lahan kapas sekarang mulai menyusut sejak berdirinya pabrik-pabrik di Kerek. Kebutuhan yang besar mendorongnya mendatangkan kapas dari kota lain, seperti Banyuwangi.

“Kapas yang kemudian diolah menjadi benang, ditenun menjadi kain, lalu di batik menjadi ciri khas batik Tuban,” paparnya.

Di Jawa, sangat sulit ditemukan lagi batik yang dibuat di atas kain tenun tangan yang benangnya dipintal dari kapas yang ditanam sendiri. Produk serupa paling banter berupa batik yang dibuat di atas kain tenun produksi alat tenun bukan mesin (ATBM).

Cerita Batik yang Jadi Simbol Eksistensi Masyarakat Betawi di Ibu Kota

“Produk ini baru dikembangkan 6-7 tahun terakhir. Sebenarnya, batik lurik sudah lebih dulu dikenal di Tuban,” jelasnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini