Melihat Cara Ampuh Masyarakat Dayak Awetkan Ikan hingga Satu Tahun

Melihat Cara Ampuh Masyarakat Dayak Awetkan Ikan hingga Satu Tahun
info gambar utama

Masyarakat Dayak dan Banjar terkenal sebagai paladang yang kerap berpindah-pindah. Karena itulah menjauhkan orang Dayak dari Sungai. Siklus hidup inilah yang membuat mereka harus menguasai teknologi pengawetan ikan.

“Yang paling khas dan bercita rasa kuat adalah wadi, pengawetan ikan dengan proses fermentasi,” tulis C Anto Saptowalyono dalam Wadi, Fermentasi Ikan Ala Dayak dan Banjar yang dimuat Kompas.

Hal inilah yang dilakukan oleh Nanang Akhmad yang cekatan memasukan potongan ikan gurame ke dalam toples plastik di sebuah kios pasar, di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Potongan ikan ini hendak diolah menjadi wadi atau ikan terfermentasi.

Cerita dari Sekolah Adat Arus Kualan, Melestarikan Budaya Dayak dan Memberdayakan Generasi

Nanang kemudian menaburkan butiran beras berwarna coklat kekuningan ke potongan ikan. Butiran beras itu pun sebelumnya juga menjalani serangkaian proses. Sekitar seminggu kemudian, potongan ikan yang sudah ditaburi beras menjadi wadi pun bisa dijual.

“Satu kilogram ikan mentah kalau dijual Rp70.000. Kalau sudah jadi wadi, harganya bisa Rp90.000 per kilogram,” kata Nanang.

Dikenal turun temurun

Masyarakat Dayak hingga Banjar telah mengenal pemrosesan wadi ini sejak turun temurun. Ikan Jelawat, papuyu, baung, gabus, gurame, dan jenis-jenis lainnya yang sudah jadi wadi bisa tahan disimpan hingga berbulan-bulan.

Antropolog Marko Mahin menjelaskan bahwa pengolahan ikan menjadi wadi merupakan strategi warga Dayak mengatur pola makan. Wadi menjadi cadangan makanan saat warga sedang disibukkan dengan kegiatan berladang atau memanen padi.

Serba-Serbi Suku Dayak di Kalimantan: Sejarah, Budaya, dan Tradisinya

Ketika sedang bertani atau menanam padi tersebut, biasanya warga tak sempat berburu atau menangkap ikan. Karena itulah mereka akan mengeluarkan persediaan ikan wadinya yang telah disimpan di balanai (guci).

“Balanai wadi itu belanga untuk menyimpan wadi, fungsi guci ini semacam kulkas. Tiap keluarga selalu punya. Dikeluarkan saat musim mereka sibuk kerja di ladang,” katanya.

Bentuk kearifan lokal

Proses pembuatan wadi oleh masyarakat Dayak terdokumentasi dalam buku Maneser Panatau Tatu Hiang (Menyelami Kekayaan Leluhur) yang menjelaskan bahwa bahan yang dicampur dalam ikan ini ternyata bukan beras tetapi padi yang disangrai.

Pada kondisi masih panas, padi sangrai itu ditumbuk halus dan dicampurkan merata pada ikan yang digarami. Selanjutnya ikan ini akan disimpan dalam balanga atau bambu yang harus tertutup dengan rapat.

“Melalui cara ini, wadi disebutkan bisa tahan hingga setahun,” jelasnya.

Masyarakat Dayak yang Setia Menjaga Rotan Layaknya Belahan Hati

Peneliti dari Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Palangkaraya, Petrus mengatakan pengolahan ikan menjadi wadi merupakan bentuk kearifan lokal warga Dayak dalam menghadapi musim paceklik.

“Pengasinan atau proses fermentasi menjadi wadi berfungsi menghambat pertumbuhan bakteri merugikan. Melalui cara ini, ikan tidak rusak membusuk meskipun disimpan dalam waktu relatif lama,” ucapnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini