Persistensi Identitas Desa Aek Sipitudai: Kisah dan Warisan Budaya

Persistensi Identitas Desa Aek Sipitudai: Kisah dan Warisan Budaya
info gambar utama

Desa adalah tempat interaksi masyarakat. Membina hubungan dan komunikasi penting untuk harmoni. Namun, di Desa Limbong Aek Sipitudai, mayoritas warga memiliki ikatan darah. Terletak di Kabupaten Samosir, hubungan darah kuat di desa ini mempengaruhi dinamika sosial dan budaya.

Desa Limbong Aek Sipitudai mayoritas dihuni suku Batak dengan marga Limbong. Menurut cerita rakyat, marga ini berasal dari keturunan Si Raja Batak melalui Guru Tatea Bulan, yakni Limbong Mulana. Limbong Mulana pada saat itu dikisahkan memiliki seorang anak bernama Raja Limbong dan cucu bernama Palu Onggang dan Langgat Limbong. Berdasarkan keterangan Op. Bona Br. Sihotang dalam Silitonga (2017), generasi kedua Limbong Mulana, Langgat Limbong, haus. Dia membuat tujuh lubang tanah dengan tongkat, berharap air keluar lalu berdoa. Akhirnya, air muncul dari lubang-lubang itu, menciptakan Aek Sipitudai, mata air sakral dengan tujuh pancuran berbeda.

Aek Sipitudai sendiri adalah sebuah mata air yang dipercaya memiliki nilai sakral oleh warga setempat (S. Limbong, komunikasi pribadi, 2023). Aek Sipitudai, mata air dengan 7 pancuran yang dipercaya memiliki beragam rasa yang berbeda tiap meminumnya. Keterkaitan dengan Si Raja Batak yang turun di Sianjur Mula Mula, meninggalkan jejak di Aek Sipitudai, memperkuat nilai sakral dan penghargaan warga setempat.

Baca juga: Dali Ni Horbo, Kejunya Orang Batak yang Gurih-gurih Sedap

Mata Air Aek Sipitudai | Foto: Dokumentasi Pribadi (2023)

Sianjur Mula Mula dan Aek Sipitudai: Mula-mula dan Cerita yang Berkembang

Kecamatan Sianjur Mula Mula memiliki daya tarik sejarah karena diyakini sebagai asal lahirnya Suku Batak. Si Raja Batak pertama kali turun di Pusuk Buhit, yang berlokasi di Sianjur Mula Mula. Hubungannya dengan Aek Sipitudai pun menjadi erat.

Salah satu cerita rakyat yang berkembang dan sangat diyakini yaitu dikisahkan bahwa Si Raja Batak yang memiliki salah satu anak bernama Guru Tatea Bulan. Guru Tatea Bulan memiliki anak-anak yang masing-masing kembar sepasang. Sepasang yang laki-laki bernama Saribu Raja dan yang perempuan bernama Si Boru Pareme. Saribu Raja dan Si Boru Pareme yang merupakan saudara kandung dikisahkan menjalin asmara hingga akhirnya Si Boru Pareme mengandung seorang anak.

Perkawinan sedarah dalam budaya Batak dianggap melanggar hukum kuno (Samosir & Arnita, 2018). Saribu Raja dan Si Boru Pareme kemudian memisahkan diri dari saudara-saudara kandungnya yang lain. Saribu Raja merantau ke Barus, Tapanuli Tengah. Sementara itu, Si Boru Pareme berpindah ke Ulu Darat, Humbang Hasundutan (Silitonga, 2017).

Si Boru Pareme dibantu oleh harimau berkaki tiga, Babiat Sitelpang, melahirkan anak Si Raja Lontung. Karena hubungan saudara, Si Raja Lontung tak memiliki pariban (putri dari paman) karena ia adalah anak dari tulang atau pamannya sendiri. Tak mengetahui seluk beluk keluarganya, Si Raja Lontung mencari identitas di Aek Sipitudai, tempat yang memiliki tujuh rasa, petunjuk dari ibunya. Si Boru Pareme juga memberikan cincinnya yang dikatakan, apabila cocok dengan jari manis wanita yang Si Raja Lontung temui nanti, maka wanita tersebutlah pariban-nya (S. Limbong, komunikasi pribadi, 2023).

Si Raja Lontung menemukan Aek Sipitudai, dipasangkan cincin pada wanita yang cocok, yang ternyata ibunya, Si Boru Pareme. Wanita ini menceritakan cerita Saribu Raja dan Si Boru Pareme kepada Si Raja Lontung. Dikisahkan Si Raja Lontung pada akhirnya menikahi ibunya sendiri dan melahirkan tujuh orang keturunan yang nantinya akan menjadi cikal bakal beberapa marga, yaitu Sinaga, Situmorang, Pandiangan, Aritonang, Simatupang, Nainggolan, dan Siregar (Silitonga, 2017).

Baca juga: Kisah Perang Batak, Ketika Rakyat Tapanuli Melawan Kompeni Selama 29 Tahun

Jejak Keluarga di Desa Aek Sipitudai: Marga-Marga yang Berkisah

Meskipun hanya tujuh marga tersebut yang dikisahkan menjadi keturunan Si Raja Lontung dan Si Boru Pareme, daerah Aek Sipitudai atau tempat pertemuan mereka, saat ini mayoritas justru dihuni oleh marga Limbong atau keturunan Limbong Mulana. Marga Limbong saat ini diketahui rata-rata menikahi bagian marga/boru Silahi Sabungan dan juga bagian marga Parna. Bagian dari Silahi Sabungan adalah Sihaloho, Silalahi, Sipayung, Sinurat, dan Sidabalok. Sementara itu, bagian dari Parna adalah Simbolon, Sitanggang, Sigalingging, Nadeak, Sitio, Turnip, Sidauruk, Saragih, Ginting, dan sebagainya (S. Limbong, komunikasi pribadi, 2023).

Tradisi dan Adat Istiadat Marga: Warisan yang Harus Tetap Hidup

Tradisi di Aek Sipitudai tetap lestari. Masyarakat mengikuti fungsi tujuh pancuran saat mengambil air. Menurut penjaga mata air tersebut, tujuh jenis pancuran mempunyai manfaat khusus.

Nama Pancuran Aek Sipitudai

Manfaat

Aek Sibaso Bolon

Bidan atau pancuran untuk ibu yang sudah tidak melahirkan

Aek Namardenggan Daging

Pancuran untuk ibu hamil atau yang masih bisa melahirkan

Aek Namarbaju

Pancuran untuk gadis

Aek Poso-poso

Tempat mandi bayi yang belum memiliki gigi

Aek Pangulu Raja

Pancuran tempat mandi para raja

Aek Raja Doli

Pancuran untuk laki-laki

Aek Hela

Pancuran untuk menantu laki-laki yang mengawini putri marga Limbong

Pancuran-pancuran tersebut masih dipercayai dan terus digunakan, menjadi bukti melestarikan tradisi oleh masyarakat.

Pesta Tugu Marga Limbong Mulana | Foto: Dokumentasi Pribadi (2023)

Marga adalah penanda atau warisan kuat yang mengingatkan kita akan sejarah siapa kita dan apa yang terjadi pada leluhur kita di masa lampau yang sedikit banyak pasti mempengaruhi keadaan kita di saat ini. Cerita rakyat yang mengikutinya juga bukanlah menjadi perdebatan tiada akhir. Sebanyak apapun data ataupun bukti arkeologis, tidak ada yang bisa menjamin dengan pasti bahwa penafsiran tersebut memang terjadi di masa lampau. Namun, cerita yang beredar turun temurun dapat dimaknai sebagai wujud pelestarian budaya yang terus dilakukan hingga saat ini. Adanya warisan nilai historis, baik itu melalui marga dan cerita, menjadikan kita lebih menghargai dan menganggap suatu tempat itu sakral. Pada akhirnya kita cenderung tidak merusak apa yang kita miliki saat ini.

Kontributor : Iffat Taqiyyah Widyastuti dan Dr.med.vet.drh. Hendry T.S.S.G.Saragih,M.P.

Daftar Referensi

Limbong, Songli. (2023). Wawancara Pribadi. Kabupaten Samosir. 10 Juli 2023.

Limbong, Sardo. (2023). Wawancara Pribadi. Kabupaten Samosir. 7 Agustus 2023.

Samosir, Q. K. H., & Arnita, A. (2018). Sastra Lisan “Aek Sipitudai” di Desa Aek Sipitudai

Kecamatan Sianjur Mula-mula Kabupaten Samosir (Kajian Antropologi Sastra). Asas: Jurnal Sastra, 7(3).

Silitonga, F. (2017). Ini Sejarah Air Tujuh Rasa di Samosir. Tapanuli. Heta News.

​​Situmorang, W. (2014) AEK SIPITUDAI (AIR TUJUH RASA) SEBAGAI OBJEK WISATA DI KECAMATAN SIANJUR MULA-MULA.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

KM
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini