Sepenggal Jejak Andika Wira Teja, Sosok di Balik Komunitas Literasi Lingkungan Pulau Dewata

Sepenggal Jejak Andika Wira Teja, Sosok di Balik Komunitas Literasi Lingkungan Pulau Dewata
info gambar utama

Ketika kita membahas Bali, semua orang miliki gambaran pariwisata yang megah, mewah, dan bombastis. Tapi, coba kalau melihat Bali dari sisi lainnya. Di beberapa desa-desa tempat kami bekerja, tempat kami menjalankan program, kami tidak melihat Bali seperti apa yang ada di pandangan orang pada umumnya.

BALI - Membangun literasi bangsa ini bukan perkara mudah. Walaupun pemerintah terus menggaungkan kesetaraan pendidikan, tetapi masih saja tidak dapat dipungkiri keterbatasan akses terhadap bahan pustaka dan literatur seringkali menjadi kendala bagi generasi muda di daerah untuk mampu mendapatkan edukasi yang layak.

Sepanjang dekade, pengembangan literasi di Indonesia masih saja bergulat dengan jeratan masalah-masalah klasik. Belum idealnya rasio ketercukupan tenaga pendidik, serta sarana prasarana teknologi digital yang belum sesuai dengan standar menjadi problematik yang seharusnya mendapat sorotan publik. Naas, problematika ini juga terjadi di Pulau Bali, daerah yang bahkan kabarnya sering dijuluki sebagai Dewata Nusantara di kancah internasional.

Keluarga besar saya tinggal di Desa Pemuteran, north west part dari pulau Bali yang menjadi destinasi pariwisata masif dari para turis. Namun ceritanya berbeda ketika Covid-19 menjadi pandemi di tahun 2020. Sekitar bulan April, saya kembali ke Kampung Halaman untuk berpamitan sebenarnya karena akan melanjutkan studi di Inggris dan di sana saya sadar bahwa pariwisata sudah tidak menjadi ramai seperti sebelumnya yang direkam di memori saya,” ungkap I Gede Andika Wira Teja, seorang pegiat di balik komunitas Jejak Literasi Bali sekaligus peraih Satu Indonesia Awards 2021 Kategori Pejuang Tanpa Pamrih di Masa Pandemi Covid-19 yang dipersembahkan oleh Astra Indonesia.

'Baca Juga: Tekad Bantu Tunanetra Bawa Wonder Reader Raih Top 3 Google Solution Challenge

Meskipun datang dari latar belakang mahasiswa berprivilese dengan gelar Master of Science in Economics, Development Economics, and International Development Universitas Gadjah Mada, sosok yang akrab disapa Dika ini memiliki ketertarikan untuk menuntaskan berbagai masalah kemiskinan dan pendidikan, terkhususnya untuk daerah-daerah pelosok di Bali.

Pada tahun 2019, ia bahkan telah berkontribusi terhadap gerakan sosial masyarakat dengan melahirkan komunitas Jejak Literasi Bali yang bergerak di bidang pendidikan.

Dari matanya, Dika melihat banyak anak-anak Desa Pemuteran yang tidak mampu mengikuti proses pembelajaran secara daring yang diberlakukan pemerintah selama pandemi di tahun 2020. Keterbatasan terhadap akses digitalisasi pendidikan ini justru membuat mereka terpaksa mengikuti jejak orang tua untuk mencari rumput, menangkap ikan, hingga berdampak pada tingginya kasus putus sekolah di sana.

Permasalahan itu memunculkan satu gagasan dari saya untuk menciptakan satu hal yang bermanfaat bagi anak-anak tapi juga mendapatkan dukungan dari masyarakat. Akhirnya terciptalah satu program dari Jejak Literasi Bali yang bernama KREDIBALI, akronim dari Kreasi Edukasi Bahasa dan Literasi Lingkungan yaitu pelatihan bahasa Inggris kepada anak-anak di Desa Pemuteran,” tandas Dika.

Literasi Berbasis Lingkungan

Melalui program KREDIBALI, anak-anak masih tetap bisa belajar walaupun tidak bisa mengikuti edukasi daring dari sekolah. Sistemnya pun cukup mudah, mereka hanya perlu membawa sampah plastik sebagai alat pembayaran di setiap kelas. Hal ini sekaligus untuk menuntaskan masalah sampah plastik yang sudah sejak lama menjadi isu yang menjamur di dunia pariwisata Bali.

Tidak hanya sekadar mengeksekusi gerakan sosial di bidang pendidikan, KREDIBALI pun bahkan berhasil mengantarkan Dika meraih beberapa program beasiswa bahkan hingga terbang ke Amerika guna meraih gelar master setelah membawa isu ini sebagai penelitian ekonomi keberlanjutan.

Program KREDIBALI memberikan pendidikan bahasa Inggris bagi anak-anak hanya dengan berbayar sampah plastik | Foto: Jejak Literasi Bali
info gambar

Pada saat itu, seharusnya saya berangkat bulan September 2020 ke Inggris. Akan tetapi, saya memutuskan untuk membatalkan LOA untuk berkuliah dari kampus tersebut, dan memilih untuk membangun KREDIBALI. Gerakan tersebut saya coba daftarkan ke Astra melalui Satu Indonesia Awards dan berhasil pula mendapatkan penghargaan,” cerita dia bangga.

KREDIBALI memang masih berusia tiga tahun. Namun di bawah usaha berdedikasi Dika, gerakan ini telah berkembang pesat. Tidak hanya di Pemuteran, KREDIBALI bahkan telah merambah di Desa Batur untuk untuk mengurangi permasalahan penggundulan hutan yang sedang masif-masifnya di sana.

Kalau di Desa Batur, anak-anak yang datang untuk belajar bahasa Inggris harus menyiram satu pohon terlebih dahulu. Jadi, sebenarnya konsep KREDIBALI sangat fleksibel. Pembelajarannya masih mengacu pada bahasa Inggris, tetapi tetap dengan mengedepankan literasi lingkungan sejak dini untuk anak-anak agar mereka bertanggung jawab untuk menjaga pohon itu sampai tumbuh,” imbuh Dika.

Ia berharap dari gerakan literasi lingkungan berbasis penanaman pohon, wisatawan yang berkesempatan mendaki Gunung Batur bisa melihat dampak dari aksi yang mereka lakukan berupa hutan di sekitar pegunungan sudah mulai tidak gundul, malah jika mungkin akan terus dipenuhi pepohonan hijau.

“Mungkin ini jangka panjang, tapi kami selalu yakin di Jejak Literasi Bali, satu gerakan yang kita mulai memang harus dimulai dari hari ini,”

Baca Juga: Indonesia dan Secercah Kecerdasan BRICS Plus

Dobrak Keterbatasan Potensi Daerah

Tidak tanggung-tanggung, Dika mengakui program KREDIBALI telah mencatatkan beberapa rekor yang cukup mengesankan. Dimulai dari menampung 75 siswa, kini KREDIBALI berhasil menjaring 275 siswa di Bali yang tertarik untuk menimba ilmu hanya berbekal sampah plastik sebagai harganya.

Salah satu dampak yang paling signifikan adalah komunitas ini mampu memberikan pendekatan baru bagi anak-anak dalam mengakses pembelajaran bahasa Inggris yang menjadi medium terpenting guna berkontribusi terhadap peningkatan sektor pariwisata.

Selain itu, eksistensi KREDIBALI juga diharapkan mampu menciptakan kesadaran masyarakat untuk peduli lingkungan, dimulai dari generasi muda sebagai inisiator perubahan untuk menuntaskan isu-isu environmentalis yang sudah menjadi urgensi krusial di Pulau Dewata.

Menurut Dika, poin yang cukup menantang adalah bagaimana mengedukasi anak-anak sehingga mampu menjadi reminder orang tua di rumah tangga masing-masing bahwa sampah plastik itu punya harga yang bisa digunakan untuk datang ke tempat les bahasa Inggris.

Kami memberikan edukasi terhadap mereka bagaimana bahaya sampah plastik, kemudian dampaknya bagi lingkungan. Dari pada dibuang, sampah-sampah plastik yang dibawa anak-anak akan kami tabung dan tukar menjadi beras yang kami distribusikan ke lansia yang kurang mampu dengan berkolaborasi bersama Plastic Exchange lembaga nirlaba di Bali yang mengelola bank sampah,” kata dia.

Dobrakan yang membuat Dika bangga sejauh ini adalah transformasi kemampuan anak-anak desa yang awalnya sulit diajak berdiskusi, tetapi saat ini mampu terlibat dalam berbagai kegiatan kompetisi bahasa Inggris hingga ke level provinsi.

Selain itu, KREDIBALI juga telah berhasil mencatatkan kontribusi hingga 781 kilogram sampah plastik terkumpul dan kemudian didistribusikan menjadi 320 kilogram beras ke lansia yang membutuhkan.

Outcome terbesar yang kita harapkan adalah adanya peningkatan literasi sebenarnya di daerah-daerah pelosok di Bali melalui gerakan-gerakan kecil dari desa dan kemudian berdampak untuk provinsi dan kemudian juga nasional,” pungkas Dika di penghujung obrolan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

CH
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini