Sepanjang Januari 2023, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatra Barat menerima sembilan pengaduan konflik manusia dengan buaya. Sebagian besar konflik berupa kemunculan buaya di sungai-sungai.
Dimuat dari Mongabay Indonesia, Ardi Andono, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumbar mengatakan pengaduan konflik banyak melalui call center dan juga media sosial.
“Sebagian besar konflik berupa kemunculan buaya di sungai-sungai yang bersinggungan dengan aktivitas masyarakat. Bahkan ada kejadian serangan buaya terhadap masyarakat pencari lokan/kerang, penambang pasir, atau yang beraktivitas di sungai,” terangnya.
Legenda Buaya Putih Kali Bekasi, Kisah Gadis Jagoan Silat dan Pemuda Misterius
Dalam catatan Tim WRU BKSDA, ada sembilan kasus terjadi mulai dari Desa Marunggi, Korong Pasir Baru Nagari Pilubang, Nagari Sungai Buluh Utara, Nagari Sungai Buluh Selatan, Sungai Bt Lampah Kampung Maringging, Nagari Katiagan, Nagari Sungai Liku Palangi, dan Nagari Campago Selatan.
“Sembilan konflik tersebut memakan dua korban meninggal di Kinali Kabupaten Pasaman Barat dan satu orang luka. Selain itu, dua ekor buaya dievakuasi,” paparnya.
Serangan buaya di Indonesia tertinggi di dunia
Crocodile Attack Database atau CrocBITE (basis data online yang mencatat serangan buaya ke manusia di dunia) mengatakan serangan buaya muara ke manusia di Indonesia adalah yang terparah di dunia.
“Indonesia adalah lokasi dengan jumlah serangan buaya air asin (muara) tertinggi (di dunia) yang pernah tercatat,” ujar Brandon Sideleau yang dimuat BBC Indonesia.
Inilah Filosofi Buaya dalam Adat Pernikahan Betawi
CrocBITE mendata terjadi 980 serangan buaya muara di Indonesia dari tahun 2014 hingga Agustus 2023. Dari jumlah itu, sekitar 455 orang meregang nyawa akibat serangan buaya air tawar.
Pada tahun lalu, tercatat ada 70 kematian akibat serangan buaya muara di Indonesia, dan satu kematian akibat serangan buaya senyulong. Sementara di negara lain jumlahnya masih jauh dari Indonesia, misalnya di Malaysia terjadi 173 serangan.
Akar konflik
Pakar lingkungan hidup Universitas Andalas Ardinis Arbain mengatakan ada beberapa penyebab mengapa angka konflik tinggi. Pertama adalah terganggu habitatnya, hal ini karena meningkatnya pencemaran air.
“Untuk kedua dugaan tersebut perlu diperhatikan dan diteliti kualitas air serta ketersediaan pakan alami di habitatnya,” ucapnya.
Merawat Tabob, Hewan yang Disakralkan oleh Masyarakat Kepulauan Kei
Kedua, manusia terlalu jauh merambah kawasan yang sejak awal habitat buaya. Bentuknya, bisa jadi pengembangan infrastruktur sungai seperti pembuatan bendungan, pengalihan aliran air, dan lainnya sehingga terjadi pengurangan debit air.
“Secara umum, terjadi perubahan kualitas habitat karena intensitas manusia meningkat,” paparnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News