Batik Priangan dalam Bingkai Nilai Estetik

Batik Priangan dalam Bingkai Nilai Estetik
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil dari karya manusia. Oleh karena itu kebudayaan sangat berpengaruh atas sebuah karya yang memiliki nilai estetik. Jawa Barat dikenal dengan kebudayaan Sundanya. Wujud dari kebudayaan itu meliputi bahasa daerah, adat istiadat, kesenian. Salah satu yang paling fenomenal dari kebudayaan Sunda adalah Batik Priangan yang masih esksis sejak ratusan tahun lalu.

Akar kata Priangan berasal dari Pa-rahyang-an atau Para-hyang-an, di mana Rahyang dan Hyang identik dengan pemaknaan Dewa atau raja agung. Sedangkan imbuhan Pa- berarti menunjukkan tempat dan –an menunjukkan kata benda, sehingga Parahyangan bisa diartikan dengan tempat para dewa. Penamaan tersebut didasari oleh pandangan masyarakat sejak zaman Kerajaan Sunda, bahwa wilayah jajaran pegunungan di tengah Jawa Barat merupakan kawasan suci tempat para dewa bersemayam.

Wilayah Priangan secara administratif meliputi bagian Barat; Sukapura (Tasikmalaya), Limbangan (Garut), Sumedang, Bandung dan Ciamis. Dan bagian Timur; Cianjur dan Bogor. Dari daerah-daerah tersebut, hanya Garut, Ciamis dan Tasikmalaya di mana sisa keberadaan Batik Priangan masih terlacak.

Keindahan Batik Mendunia, Sumbang Nilai Ekspor untuk Indonesia

Batik Priangan

Batik atau membatik merupakan proses menghias kain dengan menggunakan lilin atau malam sebagai penahan warna. Sedangkan teknik yang digunakan adalah teknik celup dingin dengan canting tulis atau cap tembaga. Meskipun di masa lalu teknik cap tembaga tidak dimasukkan dalam kategori batik, tetapi dengan pertimbangan komersial, hal itu masih dalam batas kewajaran sebagai batik.

Pada abad ke-12, di zaman Kerajaan Sunda Galuh yang di pimpin oleh Darmasiksa atau Prabu Sanghyang Wisnu (1175-1297 M) sampai zaman Prabu Siliwangi Pakuan Padjajaran (1482-1521 M) masyarakat Sunda sudah mengenal batik. Di antara pembatik yang amat dikenal pada masa itu adalah; Rei Sutan Pamangku dan istrinya Dasimah Arthi Pahrih, Ambhir dan Silihanju dan anak perempuannya Suranti palihwarti. Dari banyaknya jenis dan motif batik ada sekitar 29 motif yang dibuat sebelum zaman Pakuan Padjajaran, di antaranya adalah;

1) kembang Muncang, 2) Gagang Senggang, 3) Samele, 4) Seumat Saruhun, 5) Anyam Cayut, 6) Sigeji, 7) Pasi-pasi, 8) kalangkang Ayakan, 9) Poleng Rengganis, 10) Jayanti, 11) Cecampaan, 12) Paparanakan, 13) Mangin Hiris Sili Ganti, 14) Boeh Siang, 15) Bebernatan, 16) Papakanan, 17) Surat Awi, 18) Parigi Nyesoh, 19) Gaganjar, 20) Lusian Besar, 21) Kampuh Jayanti, 22) Hujan Riris, 23) Boeh Alus, 24) Ragen Panganten, 25) Hihinggulan Rama, 26) Hihinggulan Resi, 27) Hihinggulan ratu Binokasih, 28) Hihinggulan nanoman, 29) Kembang Wijayakusuma.

Batik di wilayah Priangan bisa dipetakan menurut ciri khas dalam identitas visualnya. Khususnya pada batik Tasikmalaya, Garut dan Ciamis di sana banyak menggunakan ragam hias non-geometrikal seperti penggambaran flora dan fauna baik bentukan abstrak maupun realistik. Seperti motif tumbuhan hanjungan dalam batik Sumedangan, di mana tumbuhan tersebut sering dipakai petani untuk pelindung dan pembatas ladang, sawah dan perkebunan.

Tetapi seiring zaman berkembang, Batik Priangan berupaya melakukan ‘penyesuaian’ atas motif yang sudah ada selama ini. Meskipun ‘penyesuaian’ ini lebih didorong oleh faktor ekonomi untuk meningkatkan pasar konsumen batik, namun proses ini tidak berlangsung dengan instan, melainkan dilandasi keinginan untuk mengembangkan identitas visual kain batik lebih luas. Inilah cikal bakal lahirnya Batik Priangan modern yang lebih kaya dalam ragam hias geometrikal dan non- geometrikal serta bentukan abstrak-realistiknya.

Mengenal Patola, Cikal Bakal dari Motif Batik Zaman Sekarang

Nilai estetik kearifan lokal

Estetika berasal dari kata yunani yang bermakna sesuatu yang dicerap oleh indra, kemudian berkembang menjadi ilmu yang mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan keindahan termasuk konsep berpikir yang mengiringi karya seni maupun karya budaya lainnya.

Dalam kearifan lokal Sunda, masyarakat mengenal tiga konsep estetika; Pertama, Siga (seperti atau menyerupai). Istilah ini mengandung artian objek yang ditiru dipakai sebagai sebuah rekaan manusia terhadap bentuk fisik dan alamnya. Masyarakat Sunda memiliki konsep keindahan yang dipahami dengan hubungan timbal balik antara alam dan rekaan. Tetapi Siga juga mengandung arti proksimitas atau kedekatan dalam kemiripan rupa, namun tidak sampai dimaknai dengan kedekatan yang sangat persis dengan objek alam yang akan ditiru.

Kedua, Sarupaning (sama halnya atau penciptaan kreatifitas). Masyarakat Sunda mengenalnya dengan sarupaning anu katingalna endah (segala sesuatu yang terlihat indah). Pemahaman keindahan ini berkaitan dengan berbagai objek alam maupun rekaan karya seni atau desain. Sarupaning juga menyiratkan krativitas dan keberagaman dalam teknik sehingga menghasilkan sesuatu hal yang baru dari hal-hal yang berhubungan dengan alam.

Ketiga, Waas (rasa kebatinan). Bagi masyarakat Sunda, Waas merupakan pengalaman keindahan yang dihubungkan dengan seni pakai, hal ini juga memiliki kesan tersendiri oleh pembuat dan penikmatnya. Lebih dalam lagi, waas bukan lagi hanya pengalaman indrawi melainkan pengalaman yang mampu menembus batas alam sadar dan memberikan pengaruh pada rasa di dalam batin.

Dari tiga konsep ini, setiap Batik Priangan memiliki estetikanya tersendiri misalnya dalam batik Kawung Tasikmalaya. Bentuk motif batik kawung itu seperti pola pada buah kawung, yakni terdapat empat lingkaran saling berpotong dengan bentuk sejajar dan diagonal, ini merupakan konsep siga. Dalam konsep sarupaning, motif tempurung buah kuwung tergambarkan empat lingkaran dengan penampang-penampang lintang di setiap sisinya sehingga membentuk elips pada setiap isi buahnya. Hal ini bermakna pohon kuwung menghasilkan banyak manfaat bagi masyarakat Sunda karena dapat mencukupi kebutuhan sandang, papan dan papannya.

Keindahan Batik yang Terekam dalam Catatan Thomas Stamford Raffles

Waas ka panyadap, bagi penyadap air nira menggambarkan pohon kuwung adalah sosok perempuan di berbagai ritual sebelum mengambil hasil dari pohon tersebut. Maka dari itulah, mengapa motif batik kuwung di masyarakat sunda dianggap sebagai bentuk penghargaan bagi sosok perempuan.

Sebagai hasil dari seni budaya, Batik Priangan sudah seharusnya tidak hanya dikenal oleh masyarakat Sunda melainkan harus bisa dinikmati seluruh masyarakat Indonesia bahkan dunia. Para produsen Batik Priangan perlu memiliki misi untuk membuat sebuah karya seni original yang memiliki kualitas tinggi dan menjadi yang terdepan dalam inovasi desain dan kreativitas Batik Priangan tanpa kehilangan nilai estetik kearifan lokal kebuadayaan Sunda.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini