GNFI Academy Berkolaborasi dengan PetaBencana.id, Berikan Edukasi Mitigasi Bencana

GNFI Academy Berkolaborasi dengan PetaBencana.id, Berikan Edukasi Mitigasi Bencana
info gambar utama

Tahukah Kawan GNFI jika BMKG pernah menyatakan bahwa sebanyak menyatakan 75 persen pembangunan strategis Indonesia ada di wilayah yang rentan bencana? Bahkan, ada beberapa wilayah di Indonesia yang tadinya bebas dari potensi bencana kebakaran hutan atau kekeringan, kini malah menjadi salah satu yang punya kemungkinan tinggi terpapar bencana tersebut.

Sebetulnya, banyak sekali pemuda yang ingin belajar tentang kebencanaan. Sebab, Indonesia sendiri adalah negara dengan indeks risiko bencana yang sangat tinggi. Namun, tidak semua dengan mudah mendapatkan akses untuk belajar tentang apa yang harus dilakukan untuk mengurangi risiko bencana dan dampak yang dihasilkan atau yang biasa disebut mitigasi bencana.

4 Nama Upacara Keagamaan Konghucu: Tujuan dan Pelaksanannya

Untuk inilah, edukasi untuk membangun kesadaran tentang mitigasi bencana di indonesia dihadirkan oleh GNFI yang bekerja sama dengan PetaBencana.id pada bootcamp bertema “Edukasi Mitigasi Kebencanaan: Membangun Kesadaran dan Pengetahuan. Acara ini dijalankan pada Selasa (31/10/2023) sebagai bentuk dari program Local Heroes Development Program GNFI Academy Batch 2. Sebanyak 28 peserta yang terpilih menjadi Local Heroes bersama-sama mendapatkan mentor tentang mitigasi bencana yang diisi oleh Berton Panjaitan, Direktur Mitigasi Kedeputian Bidang Pencegahan.

Bencana Alam di Indonesia

Dalam pertemuan ini, Berton menyatakan bahwa bencana selama ini menimbulkan tidak hanya korban jiwa, tapi juga kerusakan lingkungan dan kerugian harta benda.

“Bencana saat ini yang paling banyak terjadi dari hidrometeorologi (daripada geologi). Artinya, bencana bisa timbul dari kebanyakan air (seperti banjir, banjir bandang, rob, longsor) atau kesedikitan air (kekeringan). Indonesia sangat menderita setiap tahunnya. Untuk musim saat ini, indonesia berpotensi ada kebakaran hutan yang menyebabkan polusi udara dan masalah kesehatan, terutama gangguan pernapasan.”

Nah, perubahan iklim yang sekarang sedang terjadi meningkatkan frekuensi kejadian bencana. Iklim didefinisikan sebagai ukuran rata-rata dan variabilitas kuantitas yang relevan dari variabel tertentu (seperti temperatur, curah hujan, atau angin). Periodenya juga tertentu, merentang dari bulanan, tahunan, hingga jutaan tahun.

Sedangkan perubahan iklim didefinisikan sebagai perubahan iklim yang disebabkan langsung hingga tidak langsung oleh aktivitas manusia. Akibatnya, komposisi dari atmosfer global dan variabilitas iklim alami berubah pada perbandingan periode tertentu.

Adapun komposisi atmosfer global yang dimaksud adalah komposisi material atmosfer bumi yang berupa Gas Rumah Kaca, yang terdiri dari karbondioksida, metana, nitrogen, dan lainnya.

Kumbang Trilobita Penghuni Pulau Sumatra, Benar Telah Hidup Jutaan Tahun Lalu?

“10 tahun lalu, perubahan iklim hanyalah isapan jempol semata, tetapi sekarang kita sudah terkena dampaknya,” sebutnya lagi.

Faktor yang menyebabkan perubahan iklim ada beberapa hal, yaitu:

  1. Efek gas rumah kaca,
  2. Pemanasan global,
  3. Kerusakan lapisan ozon,
  4. Kerusakan fungsi hutan,
  5. Penggunaan chlorofluorocarbon yang tidak terkontrol,
  6. Gas buang industri.

Adapun dampak dari perubahan iklim:

  1. Terjadi bencana alam seperti angin puting beliung,
  2. Musim kemarau yang berkepanjangan,
  3. Curah hujan tinggi,
  4. Peningkatan volume air yang berdampak pada es di kutub yang mencair.

Mitigasi Bencana adalah Tanggung Jawab Bersama

Pada Rakornas PB yang diselenggarakan bulan Maret 2023 lalu, Presiden Joko Widodo pernah mengatakan, “Pengelolaan tata ruang dan perizinan pembangunan harus berbasis mitigasi bencana.”

Oleh sebab itu, sebenarnya, kesadaran akan pentingnya mitigasi bencana tidak hanya perlu dilakukan oleh BNPB sebagai pihak yang terkait, tetapi juga segenap elemen yang berhubungan dengan pembangunan dan kehidupan.

Tindakan mitigasi bencana sering diketahui sebagai tindakan pasca bencana. Padahal Kawan GNFI, fase mitigasi bencana sebetulnya dibagi menjadi tiga, yaitu pra bencana, tanggap darurat, dan pasca bencana. Apapun yang kita lakukan, tindakan ini bisa mengukur apa yang akan kita peroleh.

Pengurangan resiko bencana terdiri dari ancaman atau bencana itu sendiri dan seberapa rentan bencana ini berdampak, bisa karena manusianya atau kondisi lingkungan. Karena itu, perlu meningkatkan kapasitas untuk mengurangi kerentanan ini.

“Risiko bencana seharusnya sudah terintegrasi dengan apapun bentuk pembangunan, sehingga pembangunan ini harus berbasis risiko bencana. Dengan demikian, kita bisa membangun kondisi di mana rencana tersebut bisa memperkecil risiko bencana. Contohnya, ketika kita membangun sebuah rumah. Lemarinya ditaruh di mana? Kalau ada gempa bumi sesungguhnya, bisa jadi lemari yang menghalangi jalan evakuasinyalah yang membunuh, bukan gempa buminya. Jadi, jangan hanya fokus kepada hal-hal yang besar, tetapi juga masukkan keputusan-keputusan yang bagus biarpun kecil, seperti letak lemari tadi,” ujar Berton di tengah sesinya.

Ia menyebutkan bahwa pengkajian risiko bencana ada tiga:

  1. Identifikasi risiko: kenali setiap ancaman, bagaimana kerentanan, dan kapasitas di wilayah tersebut.
  2. Penilaian risiko: proses penilaian tingkat risiko dari setiap ancaman. Apakah risikonya tinggi, rendah, atau sedang?
  3. Evaluasi risiko: menentukan prioritas penanganan hasil penilaian risiko berdasarkan faktor-faktor tertentu.
5 Nama Upacara Keagamaan Buddha: Tujuan dan Pelaksanannya

Berton memberikan lagi sebuah kasus. Jika ada beberapa ibu hamil yang tinggal di sebuah kampung, tetapi puskesmas atau fasilitas kesehatannya jauh dari sana, maka perlu dicek kesiapan mitigasi bencana.

Jika ada kendaraan yang bisa mengantarkan ibu tersebut segera ketika akan melahirkan, mungkin risiko bencana berkurang. Namun, jika tidak ada kendaraan yang memadai, akan bertambah risikonya.

“Jika ada fasilitas di sekitar yang kita disediakan, ada tenaga yang bisa melakukan upaya-upaya penanggulangan bencana, kita bisa mengelola besar risiko dan keterpaannya demi mencapai kesiapsiagaan dan ketangguhan. Ini bisa mengantisipasi ketika darurat nanti,” terang Berton.

Dalam konsep global, ada 4 prioritas pengurangan risiko bencana, menurut Sendai Framework for Disaster Risk Reduction (2015-2030). Keempatnya adalah; 1) Pemahaman risiko bencana, 2) Penguatan tata kelola risiko bencana, 3) Investigasi pengelolaan risiko untuk ketangguhan, 4) Kesiapan untuk penanganan darurat dan pemulihan.

Antusiasme peserta LHDP Batch 2 sangat meriah. Dalam event daring yang berjalan hingga kurang lebih 90 menit tersebut, juga diramaikan dengan banyak pertanyaan dari audiens kepada narasumber. Harapannya, acara serupa bisa diadakan kembali oleh GNFI Academy. Tunggu saja, ya! AJ

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Kawan GNFI Official lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Kawan GNFI Official.

Terima kasih telah membaca sampai di sini