Meneropong 2024: Politik Identitas, Primordialisme, dan Kutukan Kaum Intelektual

Meneropong 2024: Politik Identitas, Primordialisme, dan Kutukan Kaum Intelektual
info gambar utama

Pada post-cold war yang ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet yang termarjinalkan. Paham komunisme di tatanan dunia dan dibesarkan kemenangan liberalisme yang berlandaskan kebebasan, yang diterima oleh kebanyakan entitas (negara) di seluruh dunia.

Namun, menurut penulis, menangnya blok barat bukan pertanda berakhinya perang blok barat dan timur, tapi muncul model baru yaitu ancaman serius di era demokrasi liberal. Hal itu adalah meningkatnya politik identitas di ranah kebebasan yang bisa mengancam kesatuan dan persatuan dalam konteks kemajemukan.

Sekarang kelihatan model baru yang relevan seperti kelompok kanan menggaungkan kebebasan berbasis kecintaan kepada tanah air (nasionalisme) dan kelompok kiri menggadangkan identitas kelompok marjinal.

Trend politik begitu cepat berubah dan kini politik identitas di Indonesia selalu menjadi background yang tidak tahu sampai kapan akan berakhir. Pada Rabu, 14 Februari 2024, Indonesia akan dihadapkan dengan pemilu serentak, yaitu demokrasi akbar untuk memberikan mandat kepada seseorang selama 5 tahun ke depan.

Ia akan memimpin ke mana arah bangsa ini menuju keoptimisan dan idealisme generasi emas 2045. Di depan akan banyak tantangan, rintangan, bahkan ancaman yang menjadi consern bangsa ini selama berdiri. Yang selalu diangkat dalam diskusi dan diskursus intelektual yang bisa berpotensial menghadapi disintegrasi nasional sebagai consekuensi logis dari keberagaman.

Mengenal Fani Supriyanto, Pesepak Bola Putri Indonesia yang Gabung Klub Arab Saudi

Indonesia yang beragam yang tidak pernah ditakdirkan untuk seragam. Banyak suku, budaya, bahkan agama yang mengisi kekosongan dan space di negeri ini. Bicara tentang politik identitas berarti kita tidak terlepas dari yang namanya nilai-nilai primordialisme yang akan dihantarkan sebagai landasan berpikir politik untuk meraut suara yang masive dari golongan tertentu. Orientasinya untuk memenangkan kontestasi pemilu serentak di tahun 2024 tersebut. Namun, apakah itu disebut memenangkan peradaban?

Kita hidup di dunia ini tidak terlepas dari kata identitas yang selalu melekat dalam diri setiap insan untuk membedakan dari suatu ( manusia, kelompok, dan lainnya). Identitas merupakan sebuah keniscayaan yang dimiliki oleh setiap manusia yang bernyawa untuk saling berinteraksi dan menjalin kehangatan di dalam lingkup satu dimensi.

Bergaul, bercengkrama dengan orang seragam memanglah suatu kebangaan yang paripurna. Namun, ketika keluar melihat lebih jauh dan tinggi lagi, "ibarat mendaki suatu gunung yang tinggi, kemudian melihat bahwa dunia indonesia ini terlalu lebar bahkan luas yang berisikan identitas yang beragam pula." Sehingga bangsa ini belajar dan mendapatkan horizon yang luas agar tidak picik melihat kemajemukan.

Maka dari itu, sudah seyogyanya masyarakat berpikir untuk merawat kemajemukan ini agar tidak munculnya nilai-nilai sinisme dan realisme yang radikal yang mengancam persatuan dan kesatuan. Namun, dalam konteks lain pandangan realisme maupun sinisme sebagai konstruksi positif untuk membendung nilai-nilai budaya yang tidak sesuai dengan nilai budayanya untuk masuk. Selagi tidak mengancam keutuhan integrasi, kesatuan dan persatuan yang tidak pernah ada kata seragam ini.

Penulis merasa cemas jangan sampai dengan indonesia yang multidimensi diubah paksa untuk menjadi satu dimensi dan itu akan menyebabkan konflik komunal yang telah mengiringi bangsa ini. Maka dari itu, sudah sepatutnya masyarakat bangga dengan indonesia sebagai tempat hidupnya dan mengakui multikulturalisme sebagaimana realitasnya.

8,9 Ton Biji Pala Ambon Rambah Pasar Belanda, Nilainya Rp1,8 Miliar

Namun, pertanyaannya setiap manusia memliki identitas yang harus sebagai eksistensi di lingkungan yang plural. Apakah nilai-nilai primordialisme bisa ditoleransi? Penulis bisa menjawab selagi nilai-nilai itu universal dalam konteks keadilan tanpa ada rasisme dan pembedaan antara kelompok yang satu dengan yang lain, maka itu bisa ditoleransi

Kutukan kaum intelektual

Berbicara tentang intelektual maka kita berbicara tentang peradaban, jika melihat sejarah kaum intelektual, jurnalis, bahkan akademisi bergelut dengan pikiran di tempat cafe-cafe untuk berdialektika untuk sebuah kebebasan dari sistem monarki sehingga melahirkan yang kita kenal dengan Revolusi Prancis dan dengan keangkuhan intelektual nya lah presiden soeharto jatuh karena otoriter, yang kita kenal dengan lahirnya reformasi.

Dan ini menjadi kutukan bagi kaum intelektual yang digadangkan dengan mempunyai literasi mumpuni dan kebijaksanaanya, maka sudah sepatutnya menggunakan ilmu nya, turun langsung untuk memenuhi panggilan tri dharma perguruan tinggi untuk mengedukasi masyarakat agar selalu menjaga kesatuan dan persatuan, tanpa ada pembelahan yang bisa menimbulkan ekstrimisme dan konflik komunal.

Mengenal Suku Hongana Manyawa yang Menghadang Tambang Nikel Masuk ke Hutan

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

RH
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini