Semangkuk Mi dari Perspektif Antropologi Pangan

Semangkuk Mi dari Perspektif Antropologi Pangan
info gambar utama

Hujan bulan Desember kali ini tidak begitu lebat, derasnya hanya mengguyur sebagian waktu di siang dan dini hari. Sore sudah bersinar hangat ketika saya memutuskan menikmati mi di kedai makan kekinian bersama teman-teman saya. Di wilayah perkotaan yang padat penduduk dari luar daerah seperti Yogyakarta, frekuensi jumlah kedai mi kekinian yang dapat disinggahi terbilang tinggi dan akan terus bertambah melihat tren dan preferensi rasa konsumen pada masakan Asia.

Berbagai inovasi rasa dan konsep pada mi-mi kekinian ini menjamu rasa penasaran masyarakat, seakan bosan dengan apa yang ditawarkan mi instan di rumah mereka. Menurut saya dan teman-teman kala itu, mi kekinian punya daya tarik sendiri, yaitu kandungan minyak cabai beserta makanan pendamping dimsum dan kawan-kawannya.

Kehadiran mi kekinian yang dibuat handmade oleh pemilik kedai berkebalikan dengan konsep mi instan sebagai processed food. Polarisasi “mi tradisional/handmade vs mi instan” ini menjadi topik menarik jika dilihat dari sudut antropologi pangan. Pertanyaannya adalah apa cerita di balik mi yang sudah menyebar ke seluruh dunia, bagaimana proses pergeseran mi tradisional ke instan, dan mengapa mi begitu popular?

Sejarah dan Keragaman Mi

Mi atau noodles memiliki garis nenek moyang dari daratan China 4000 tahun yang lalu pada era dinasti Han. Pada awalnya, terdapat dua bentuk mi, yaitu lembaran dan potongan. Dua bentuk tersebut perlahan-lahan berkembang pada era dinasti-dinasti selanjutnya.

Tidak hanya bentuk, metode dan teknik memasak mi pun juga turut bervariasi, seperti munculnya mi dingin dengan rasa unik (Leng tao), mi basah, mi kering, mi mentah dan sayuran yang seluruhnya muncul di era dinasti Song dan Yuan. Dalam kebudayaan China, mi mencerminkan kemakmuran dan umur panjang. Masyarakat China yang baru saja melangsungkan pernikahan atau pindah ke rumah baru akan menikmati mi saus sebagai simbol asam garam kehidupan (flavored life).

Bahkan beberapa nama mi diambil dari cerita rakyat China, seperti old friend noodles yang dinamakan dari penggunaannya untuk mengobati seorang teman sehingga mi tersebut dikenal sebagai simbol pertemanan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa mi adalah bagian yang tidak dapat terpisahkan dari kebudayaan China.

Baca juga: Mengenang Jasa MH Thamrin untuk Sepak Bola Jakarta Lewat Pameran Arsip Berita

Begitu serba guna dan berbudayanya mi pada saat itu, menyebabkan persebaran mi ke luar China melalui Jalur Sutra dan ekspor-impor menjadi sesuatu yang natural. Mi kemudian diadopsi dan diakulturasi oleh banyak negara. Ramen yang diklaim sebagai makanan nasional Jepang sejatinya dibawa dari China (lamian) yang secara penuh bertransformasi menjadi makanan Jepang.

Selain Jepang, kuliner negara-negara Asia lain juga terpengaruh besar oleh China. Bin Xiao Fu menyebutkan dua jenis mi, yaitu mi asin biasa dan mi alkalin (kuning). Jenis pertama umum ditemukan di Jepang dan Korea, sedangkan yang kedua menyebar di negara-negara Asia dan Asia Tenggara, seperti Taiwan, Hong Kong, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Indonesia.

Garam alkali digunakan di industri makanan dan menghasilkan karakteristik berupa warna kuning dan tekstur yang elastis. Mi alkali disebarkan oleh imigran-imigran dari Provinsi Hokkien dan Canton, yang merupakan imigran Chinese terbanyak yang tinggal di Asia Tenggara.

Di Indonesia secara spesifik, jenis mi yang menjadi primadona adalah mi ayam dan mi goreng. Keduanya masih berasal dari China. Mi ayam sejatinya adalah bakmi atau hidangan mi khas China Selatan dengan toping daging babi, sedangkan mi goreng populer karena maraknya mi instan di Indonesia.

Baca juga: 3 Macam Uang Rupiah Tidak Berlaku Mulai Hari Ini, Tukarkan Sekarang!

Pergeseran Mi Tradisional ke Mi Instan

Mi pada awal penemuannya diolah dengan cara direbus, lalu digoreng dengan minyak panas, dan akhirnya disajikan dengan sup. Terdapat kisah menarik yang menjadi asal muasal mi instan saat ini. Pada zaman Dinasti Qing saat itu, Yi bingshou mengunjungi rumah ibunya yang sedang berulang tahun. Seorang chef yang ditugaskan memasak untuk seluruh tamu menjadi terburu-buru dan secara tidak sengaja memasukkan mi telur yang sudah masak ke panci rebus.

Chef tersebut lalu meniriskan mi dan menggorengnya di minyak panas dan dihidangkan dengan sup. Para tamu tidak menyangka masakan tersebut menjadi sangat lezat dan jadilah metode memasak yang baru. Hal ini lah yang menyebabkan nama Yi bingshou tercantum pada label kemasan mi instan di awal penemuannya.

Lompat ke tahun 50-an, seorang kelahiran Taiwan dan Jepang, Momofuku Ando pada tahun 1958 menciptakan mi instan yang praktis setelah menyadari orang-orang harus mengantri panjang hanya untuk menikmati semangkuk mi. Kemudian beliau mendirikan perusahaan Nissin yang fenomenal lalu mengekspansi bisnisnya dengan misi menyediakan mi instan murah untuk masyarakat.

Pasar mi instan lantas mulai masuk ke negara-negara Asia pada awal 70-an dan menjadi salah satu makanan pokok. Meski memiliki kandungan nutrisi yang rendah, mi instan telah lama memenuhi kebutuhan pangan global. Berdasarkan laporan UN pada tahun 2018, lebih dari setengah penduduk dunia hidup di perkotaan dan tidak mampu untuk melakukan swasembada pangan. Oleh karena itu, mereka memilih mi yang diproduksi massal dan bertahan lama.

Baca juga: Mendorong Pencak Silat sebagai Cabor di Olimpiade 2036

Pemaknaan Makanan

Persebaran, penerimaan, dan popularitas mi di berbagai negara yang telah disebutkan di atas tidak lepas dari peran globalisasi pangan. Globalisasi memfasilitasi akses pasar internasional kepada para produsen mi. Melalui perdagangan internasional tersebut juga terwujud diversifikasi dan inovasi mi dalam memenuhi kebutuhan konsumen.

Setiap warga asli yang tinggal di negeri orang dapat mengobati rasa kangen mereka dengan kampung halaman melalui mi instan atau restoran-restoran lokal yang menyajikan mi khas daerah asal. Di sini, timbul makna makanan sebagai media yang membangun keluarga, komunitas agama, dan batas-batas etnis. Layaknya pepatah Jawa, mangan ora mangan sing penting ngumpul.

Selanjutnya, makna makanan yang lain adalah identitas. Makanan kerap dipandang sebagai indikator siapa kita sebenarnya, contohnya adalah mi instan yang seringkali diasosiasikan sebagai makanan anak kos karena murah dan enak. Dalam lingkup yang lebih besar, makanan merupakan salah satu elemen pembentuk identitas nasional.

Bagaimana sebuah makanan diolah, dihidangkan, dikonsumsi, dan bagaimana kebiasaan makan memainkan peran dalam konstruksi identitas nasional. Di negara kita, Indonesia mempunyai nasi goreng dan rendang yang telah diakui dunia dan UNESCO sebagai hidangan nasional.

Selama mi masih dianggap sebagai makanan pokok oleh masyarakat dunia (karena termasuk olahan gandum), eksistensi dan pemaknaan mi akan terus terpelihara dalam melewatkan hari-hari para penikmatnya.

Setiap modifikasi pada mi secara rasa maupun teknik pengolahan, akan menegaskan mi sebagai produk kebudayaan yang tidak hanya dinikmati, tetapi juga simbol kekuatan pangan. Sebagaimana yang dikatakan Chef Felipe Rojas Lombardi, “noodles is an universal food, complimentary to many other foods, and adaptable to many cuisines around the world.”

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

MQ
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini