Peran Organisasi Internasional dan Kawasan dalam Penanganan Jangka Panjang Krisis Rohingya

Peran Organisasi Internasional dan Kawasan dalam Penanganan Jangka Panjang Krisis Rohingya
info gambar utama

Krisis pengungsi Rohingya bukanlah isu baru. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mendeskripsikan Rohingya sebagai “the most persecuted minority in the world” atau kaum minoritas yang paling menderita persekusi di dunia.

Sejak terjadinya gelombang kekerasan besar-besaran oleh militer Myanmar terhadap populasi Muslim Rohingya pada bulan Agustus 2017, para pengungsi Rohingya telah mencari perlindungan ke beberapa negara terutama Bangladesh. Namun, sampai sekarang masih banyak di antara mereka terlantar tanpa status yang jelas.

Pengusiran dan krisis yang berkepanjangan membuat pengungsi Rohingya rentan menghadapi kekerasan, kejahatan, ketidakamanan, serta tidak memiliki pilihan selain terus mencari perlindungan ke negara lain. Akibat belum adanya kerangka kerja yang mengikat secara hukum, pengungsi lebih sering diperlakukan sebagai imigran ilegal.

Belum lagi respon kebijakan atau solusi yang bersifat sementara serta keterbatasan perlengkapan yang memadai dalam menangani kebutuhan pengungsi di negara tuan rumah. Sebagaimana yang terjadi baru-baru ini mengenai kedatangan pengungsi Rohingya ke beberapa desa di Aceh. Hal ini langsung memicu respon pro dan kontra dari masyarakat internasional.

Dilema Peran Kemanusiaan dan Keamanan Indonesia

Kedatangan pengungsi Rohingya ke beberapa wilayah di Indonesia menjadi dilema, antara mengutamakan rasa kemanusiaan atau keamanan. Sebab berdasarkan pengalaman sebelumnya, kedatangan pengungsi Rohingya dipandang memiliki sikap buruk dan sering menimbulkan masalah.

Selain itu, keterbatasan tempat penampungan dan berbagai pertimbangan lainnya. Namun, berdasarkan Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967 yang merupakan kesepakatan internasional yang mengatur hak-hak dan standar perlakuan internasional untuk pengungsi, terdapat prinsip-prinsip global yakni non-discrimination, non-penalization, dan non-refoulement.

Sederhananya, prinsip-prinsip ini berhubungan dengan larangan untuk mendiskriminasi, menghukum, dan mengusir atau mengembalikan pengungsi ke negara dimana keamanan dan kemerdekaan mereka terancam.

Meskipun Indonesia tidak termasuk negara yang meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tersebut, Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menghormati prinsip-prinsip tersebut karena Indonesia terikat dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) 1948.

Prinsip-prinsip ini sudah menjadi dasar hukum pengungsi yang dikembangkan menjadi kebiasaan internasional sehingga mengikat semua negara yang menjadi tempat pengungsi mencari perlindungan. Dalam aturan hukum yang dimiliki Indonesia, yakni Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 Tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeripun, dijelaskan bahwa Indonesia memiliki peran dalam penemuan, penampungan, pengamanan, pengawasan keimigrasian, dan ketentuan lainnya yang berhubungan dengan pengungsi.

Penanganan pengungsi di Indonesia masih sangat kompleks. Sebagai negara yang mempunyai tantangan ekonomi dan pembangunan tersendiri, Indonesia harus berhati-hati dalam memberikan respon terhadap kedatangan pengungsi.

Pameran Repatriasi di Galeri Nasional, Dialog Budaya Indonesia-Belanda

Sebab, keberadaan pengungsi ini berdampak pada keadaan domestik seperti kepadatan penduduk, hukum, ekonomi, dan sosial budaya. Oleh karena itu, menjadi tantangan bagi Indonesia untuk menentukan penanganan yang tepat dengan tetap berlandaskan pada penegakan HAM sekaligus tidak mencederai kedaulatan Indonesia.

Pengungsi di Bawah Perlindungan Organisasi Internasional

Sebagaimana yang diamanatkan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016, penanganan pengungsi di Indonesia dilakukan melalui lembaga internasional, United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), selaku organisasi internasional di bawah PBB.

UNHCR bertanggung jawab atas segala bentuk permasalahan mengenai pengungsi termasuk pengungsi di Indonesia. UNHCR tidak dapat memaksa Indonesia untuk bertanggung jawab penuh untuk memberikan akses terhadap hak-hak sosio ekonomi tanpa mengatasi keterbatasan teknis dan finansial yang ada di domestik.

Sebagai bentuk respon cepat, UNHCR harus mempertahankan kepemimpinannya dalam mengoordinasikan dan memberikan perlindungan kepada pengungsi. UNHCR harus mencari penempatan di negara-negara ketiga yang aman.

Meskipun pada faktanya penempatan ke negara ketiga atau negara tujuan membutuhkan waktu yang lama bahkan sering tidak ada kejelasan. Sebab, negara-negara penerima semakin memperketat dan mengurangi jumlah penerimaan pengungsi.

Selain UNHCR, terdapat International Organization for Migration (IOM) yang juga merupakan organisasi internasional yang bergerak aktif dalam menangani pengungsi dan permasalahan yang berhubungan dengan migrasi. Dalam hal ini, UNHCR dan IOM melakukan kerja sama dalam mengatasi masuknya pengungsi Rohingya ke Indonesia.

UNHCR berperan memberikan perlindungan internasional, bantuan kemanusiaan dan solusi jangka panjang terhadap pengungsi, sedangkan IOM bertanggung jawab menyediakan kegiatan migrasi reguler seperti pengiriman pengungsi serta menyediakan kebutuhan dasar mereka.​

Indonesia Mendapatkan Apresiasi dalam COP28 UNFCCC Atas Aksi Iklim

Koordinasi Regional di Tengah Prinsip Non-Intervensi

Dalam konteks regional, Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) terus mendapat kritik karena belum memiliki kerangka hukum regional yang benar-benar mengatur kerja sama dan tanggung jawab kolektif di antara negara-negara ASEAN dalam mengatasi masalah pengungsi Rohingya.

Apalagi sejauh ini hanya 3 negara di kawasan Asia Tenggara yang meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 yakni Filipina, Kamboja, dan Timor Leste.

Selain itu, prinsip non intervensi yang disepakati oleh negara-negara di ASEAN, yakni larangan untuk mencampuri urusan domestik negara lain membuat upaya penanganan menjadi terbatas. Sampai sekarang masalah pengungsi Rohingya masih dipandang hanya sebatas isu domestik atau bilateral, bukan isu transnasional atau multilateral.

Kewajiban penanganan terpusat pada negara tuan rumah sehingga penanganan dilakukan dengan cara negara yang terlibat. Seringnya juga, tidak ada solusi strategis jangka panjang selain memberikan bantuan-bantuan kemanusiaan.

Melihat permasalahan yang terus berulang, sudah seharusnya ada perubahan fokus untuk memberikan lebih dari sekadar bantuan sementara kepada pengungsi Rohingya. Hal ini juga mengingat konteks domestik dan sumber daya negara tuan rumah yang terbatas sehingga penanganan tidak mungkin hanya dibebankan kepada satu atau dua negara saja.

Museum Komodo Jagat Satwa Nusantara Pamerkan Koleksi Hewan Eksotis untuk Momen Liburan

Perlu lebih banyak kerja sama regional dimana masing-masing negara ASEAN mulai memimpin dalam memberikan respon regional yang lebih terkoordinasi.

Agar tidak berbenturan dengan prinsip non intervensi, perlu ada kesepakatan atau “resep baru” yang diterapkan ketika berkaitan dengan situasi kemanusiaan seperti krisis pengungsi Rohingya ini. Kesepakatan ini untuk menghilangkan persaingan kepentingan nasional di antara negara-negara ASEAN. ASEAN juga dapat melembagakan norma-norma perlindungan pengungsi dan mengembangkan kerangka hukum atau kebijakan yang lebih responsif.

ASEAN harus menunjukkan bahwa mereka bukan sekadar gabungan negara-negara anggota yang berdaulat, melainkan juga peka terhadap masalah kemanusiaan. ASEAN perlu membangun diplomasi dengan menuntut Myanmar untuk membuka diri terhadap kerja sama secara multilateral untuk mengatasi krisis ini.

Berdasarkan pemaparan di atas, yang sangat dibutuhkan adalah respon cepat melalui kerja sama yang melibatkan aktor lokal, regional hingga internasional termasuk dukungan dari negara-negara pihak ketiga, UNHCR dan IOM selaku organisasi internasional, serta pihak terkait lainnya untuk mengembangkan solusi jangka panjang, bukan sekadar bantuan kemanusiaan yang bersifat sementara.

ASEAN memainkan peran signifikan dalam memfasilitasi kerja sama yang lebih terkoordinasi di kawasan. Salah satunya, memikirkan kembali upaya pembuatan kerangka hukum dan kebijakan yang berkelanjutan. Dengan demikian, penanganan pengungsi Rohingya ini akan tetap berlandaskan pada penegakan HAM sekaligus pemaknaan kedaulatan negara-negara di kawasan Asia Tenggara.

Mendorong Kesetaraan Gender dalam Ranah Parekraf

Sumber:

https://peraturan.bpk.go.id/Details/41029/perpres-no-125-tahun-2016

https://www.unhcr.org/media/convention-and-protocol-relating-status-refugees

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

WN
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini