Ketika Bus Pantura Cirebon-Jakarta Jadi Primadona pada Era Hindia Belanda

Ketika Bus Pantura Cirebon-Jakarta Jadi Primadona pada Era Hindia Belanda
info gambar utama

Pada zaman Hindia Belanda, bus menjadi andalan untuk moda transportasi bersaing dengan kereta api. Trayek dan perusahaan otobus (PO) pun berkembang pada era Hindia Belanda, salah satunya di Cirebon.

Daerah pesisir di Jawa Barat ini menjadi salah satu kota yang sibuk untuk mengatur lalu lintas. Sebab, ketika itu rute orang-orang yang ingin menuju Batavia masih mengandalkan jalur Pantura.

Membingkai Budidaya dan Geliat Ekspor Kopi Robusta di Karesidenan Palembang Masa Kolonial

Dimuat dari surat kabar Hindia Belanda bernama Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie edisi 25 Februari 1955 yang dinukil dari Detik menyebutkan rute Cirebon-Batavia atau Batavia-Cirebon hanya dilayani dengan enam bus.

“Lalu lintas bus Cirebon-Batavia sepanjang pantai utara saat ini dilayani enam bus, sedangkan permohonan izin 6 bus masih diproses,” tulis koran tersebut.

Tarif lebih murah

Pada koran tersebut dijelaskan tarif menggunakan transportasi bus jauh lebih murah daripada kereta api. Disebutkan tarif bus dari Cirebon ke Jakarta adalah 2,60 Gulden, jauh lebih murah dari kereta api kelas tiga yakni 3,30 Gulden.

Alasan tarif yang lebih murah ini masyarakat lebih memilih bus daripada kereta api di era Hindia Belanda. Karena itulah, setahun sebelumnya koran itu melaporkan mengenai perkembangan bus di Pantura.

“Pada tahun 1934, bus Pantura sudah menjadi buah bibir. Sebab, penumpangnya selalu penuh,” tulisnya.

Awal Mula Kota Bandung dijuluki Paris van Java

Koran De avondpost edisi 18 November 1934 mengungkapkan ketika itu bus dari Pantura bisa melayani dua kali perjalanan dari Cirebon–Jakarta maupun Kuningan-Jakarta. Koran itu menggambarkan kereta api mulai ditinggalkan masyarakat walau lebih cepat.

“Pada jalur Cirebon-Batavia, kereta memakan waktu tiga setengah jam. Sedangkan bus memakan waktu sekitar lima jam,” tulisnya.

Muncul aksi kejahatan

Ternyata perkembangan bus sebagai moda transportasi memberi tantangan tersendiri. Terminal bus menjadi magnet masyarakat untuk mengeruk cuan, dari mulai pedagang hingga calo. Laporan kriminal pun bermunculan.

“Kami menerima pengaduan dari berbagai pihak mengenai banyaknya pelecehan yang dilakukan oleh pedagang, calo, bahkan pengemis di terminal bus. Para pedagang yang menjual buah-buahan, es krim sirup, dan makanan lezat lainnya menawarkan dagangannya dengan cara yang sangat memaksa,” tulis Bataviaasch nieuwsblad.

Loge de Vriendschap, Bangunan Jejak Kelompok Freemason di Hindia Belanda

Selain soal calo dan pelecehan, masalah yang terjadi di terminal bus adalah sampah. Para kuli di terminal juga kerap sekali membuat ulah. Karena itu pemerintah didesak untuk memperbaiki carut marutnya terminal bus di Cirebon.

“Gangguan bagi masyarakat yang bepergian, melalui tindakan berani mereka, mereka hanya merampas barang dan tangan sebagian besar orang-orang sederhana. Pengawasan lebih lanjut dari pihak berwenang yang terlibat pasti akan mengakhiri semua masalah ini,” tulis koran tersebut.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini