Membingkai Budidaya dan Geliat Ekspor Kopi Robusta di Karesidenan Palembang Masa Kolonial

Membingkai Budidaya dan Geliat Ekspor Kopi Robusta di Karesidenan Palembang Masa Kolonial
info gambar utama

Penerapan undang-undang agraria tahun 1870 telah mengubah wajah Hindia Belanda. Pemberlakuannya telah menjadi dasar bagi pembukaan lahan swasta secara besar-besaran di beberapa daerah potensial untuk keperluan perkebunan, tidak terkecuali di Pulau Sumatera.

Daerah seperti Deli di pesisir timur Sumatera memiliki tanah yang cocok bagi tanaman tembakau, sehingga hutan-hutan belantara di daerah tersebut dibuka untuk dijadikan area perkebunan sampai akhir abad ke-19.

Dalam tahap berikutnya, pada awal abad ke-20, aktivitas pembukaan hutan meluas ke bagian selatan Sumatera, terutama Karesidenan Palembang. Hal ini berhubungan dengan pemudahan pemberian konsesi tanah dan meningkatnya prospek komoditas pertanian karet dan kapas yang membuat para pengusaha Barat mulai secara besar-besaran melakukan eksploitasi.

Menjadi Komoditas Ekspor Utama

Perkebunan karet dan kapas di dataran rendah telah berhasil menembus pasar ekspor. Eksploitasi oleh pengusaha Barat selanjutnya diarahkan pada dataran tinggi untuk usaha budidaya kopi.

Sebelumnya, penanaman kopi telah menjadi sebuah komoditas bagi petani lokal sejak Kesultanan Palembang Darussalam, terutama di daerah Ulu Musi dan Ampat Lawang di daerah Lematang Hulu Lahat dan Pagar Alam dengan jenis kopi Arabica. Sebab, kopi Arabica yang berpenyakit dan harganya menurun pada medio 1890—1907, jenis kopi ini mulai perlahan ditinggalkan dan masyarakat kemudian beralih pada kopi Robusta.

Bagi pengusaha Barat, penanaman kopi Robusta mulai membuahkan hasil pada tahun 1913 dengan volume ekspor yang mencapai 3 ton. Volume ini terus mengalami peningkatan secara signifikan dari tahun ke tahun.

Mengutip dari catatan Departement van Landbouw Nijverheid en Handel, peningkatan paling kentara terjadi di tahun 1919 di mana volume ekspor meningkat sebesar 8.400 ton dengan total volume sebanyak 14.100 ton. Peningkatan di tahun 1919 telah menjadikan kopi Robusta Palembang sebagai komoditas ekspor utama Belanda dan menyumbang sekitar sepertiga produksi kopi di Belanda.

Akibatnya, pemerintah segera menekan produksi kopi dengan melakukan pembukaan daerah-daerah baru untuk perkebunan kopi Robusta. Sampai pada tahun 1925, sentra-sentra perkebunan kopi Robusta terpusat di enam daerah, seperti: onderafdeeling Pasemahlanden (Pagaralam), onderafdeeling Lematang Ilir (utamanya dilakukan oleh marga Semendo), daerah Ranau, onderafdeeling Ogan Ulu dan Komering Ulu, onderafdeeling Rawas, dan onderafdeeling Musi Ulu.

Cadangan Gas Berlimpah, Kapan Proyek Pipa dari Jatim ke Aceh Dimulai?

Kondisi Iklim, Kesuburan Tanah, dan Pengaruhnya

Daerah-daerah di atas memiliki kondisi iklim dan tingkat kesuburan tanah yang berbeda, sehingga dua hal tersebut berpengaruh terhadap kualitas dari budidaya kopi Robusta yang dihasilkan. Pasemahlanden dan Semendo sangat berbukit. Sedangkan daerah Ranau tanahnya cukup datar.

Di Pasemah, karena terletak di sekitar daerah vulkanik Dempo, karakteristik tanahnya mengandung belerang yang berwarna coklat, dapat menyerap air dengan baik, dan mengandung humus. Sementara di wilayah Semendo, terdapat kekurangan asam fosfat di beberapa tempat.

Prasyarat untuk budidaya kopi Robusta lebih berkualitas adalah kandungan humus. Oleh karena itu, tanah di daerah Ranau dipilih sebab kontur tanah tufa berpasir dengan kandungan humus yang tinggi. Adapun Ogan Ulu dan Komering Ulu dipilih dengan pertimbangan aliran dua sungai besar yang melintasi dan mengalir di daerahnya walaupun dengan kualitas tanah yang jauh lebih rendah.

Adapun daerah Rawas dan Musi Ulu memiliki karakteristik tanah yang berpasir dan gembur dengan struktur tanah yang baik meskipun kualitas tanahnya sedang. Kualitas yang baik akan mempengaruhi tingkat produktivitas kopi yang tentu menjadi elemen penting bagi kelangsungan aktivitas ekspor yang terus meningkat dari tahun ke tahun.

Sejak mengalami peningkatan terbesar pada tahun 1919, tingkat produksi di dua tahun berikutnya mengalami naik turun dan stagnanasi di kisaran 14—15 ribu ton per tahun. Peningkatan kembali terjadi di tahun 1922, dengan rasio sebesar 10.500 ton dan total volume ekspor mencapai 24.700 ton. Hal ini adalah buah dari penerapan pertanian bersih yang telah dan sedang diterapkan pada tahun itu.

Pembukaan hutan dimulai dengan penebangan pohon-pohon dan pembakaran semak belukar di musim kemarau. Setelah itu padi ditanam sekali sebelum tanaman kopi muda ditanam di tanah. Kadang-kadang kentang juga digunakan sebagai tanaman pendahuluan, seperti yang umumnya dilakukan di daerah Pasemah.

Volume ekspor kopi Robusta selanjutnya kembali mengalami naik turun di tahun 1923-1928. Namun, suatu hal yang penting adalah peningkatan yang signifikan terjadi pada medio 1928-1929, mengutip dari De Avondpost (4 November 1929) di mana total volume ekspor telah menyentuh angka 28.721 ton yang dibarengi dengan kenaikan harga jual berkisar pada 55 hingga 60 gulden per pikul akibat dari kenaikan konsumsi di Eropa dan tempat lain.

Peringkat 10 di Dunia, Ekspor Manufaktur RI Tembus Rp2.920 Triliun pada 2023

Aktivitas Ekspor dan Hubungan dengan Kamar Dagang

Keberhasilan aktivitas ekspor kopi Robusta di Karesidenan Palembang bukan berarti sepenuhnya bebas dari permasalahan di dalamnya. Di tahun 1927, melansir dari Bataviaasch Nieuwsblad (14 Maret 1927), tingginya bea masuk pada pengiriman dari Palembang ke Eropa menjadi sebuah keluhan yang serius dan disuarakan di banyak media.

Kondisi ini mengakibatkan sebuah amandemen untuk pengaturan yang lebih baik diusulkan kepada pemerintah melalui konsultasi dengan asosiasi kamar dagang (de Kamer van Koophandel) di Palembang. Di tahun 1929 ketika total ekspor telah menyentuh angka 28 ribu ton, padahal sebenarnya sangat berpotensi untuk lebih dari angka tersebut, kesulitan yang terjadi adalah ketahanan produk.

Bersumber yang sama dari De Avondpost (4 November 1929), produk-produk kopi ini sering tiba di tempat pengiriman dalam kondisi yang buruk. Sehingga kembali pemerintah bekerja sama dengan kamar dagang di Palembang untuk mengatasi problematika dan mengambil langkah praktis sehubungan dengan masalah tersebut.

Dinamika ekspor kopi Robusta di Karesidenan Palembang masa kolonial dalam rentang tahun 1919-1929 telah mengalami naik turun. Akan tetapi, kerja-kerja perkebunan yang teliti dengan memperhatikan berbagai aspek penunjang kualitas telah berhasil meningkatkan kuantitas produksi dari tahun ke tahun.

Kerja sama dan kolaborasi yang baik dari berbagai pihak telah menghantarkan Karesidenan Palembang sebagai daerah pengekspor utama komoditas kopi Robusta di Hindia Belanda pada medio tersebut. Akibatnya, Palembang selalu menempati tempat pertama dalam iklan kopi Robusta di surat kabar-surat kabar selama hampir dua dekade sebelum kemerdekaan Indonesia.

Demikian Karesidenan Palembang dengan cerita inspirasinya, sebagaimana kekuatan kopi Robustanya tersohor mendunia.

Dunia Butuh 3 Miliar Ton Mineral pada 2050, Ini Strategi Pemerintah

Sumber:

Departement van Landbouw Nijverheid en Handel, De Cultuur van Robusta Koffie door de bevolking van Palembang; Bataviaasch Nieuwsblad, 14 Maret 1927; De Avondpost, 4 November 1929

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AS
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini