Mencari Ida Nasution, Penulis Esai Angkatan 45 yang Hilang Demi Indonesia

Mencari Ida Nasution, Penulis Esai Angkatan 45 yang Hilang Demi Indonesia
info gambar utama

Nama Ida Nasution selama ini hanya dikenal sebagai perempuan yang pernah menjadi cinta Chairil Anwar. Kehadirannya sebagai karakter dalam pementasan teater “Perempuan-Perempuan Chairil” pada tahun 2017 lalu semakin menegaskan posisi tersebut. Akan tetapi, ia lebih dari sekadar teman Chairil. Ida adalah seorang penulis esai dan kritikus hebat pada awal masa kemerdekaan Indonesia. Yuk, baca sepak terjang Ida Nasution di bawah ini!

Ida Nasution Sang Mahasiswi UI

Ida Nasution lahir di Sibolga, Sumatera Utara pada tahun 1922. Ia menjalani pendidikan dasar di Europeesche Lagere School (ELS). Sekolah itu adalah sekolah elite karena hanya keturunan Eropa, keturunan Timur asing, dan keturunan bangsawan pribumi saja yang dapat belajar di sana. Ida pun sudah fasih berbahasa Belanda sejak dini.

Keluarga Ida kemudian pindah ke Batavia, atau yang sekarang disebut sebagai Jakarta. Ia pun menjalani pendidikan setara SMP dan SMA di Koning Willem III School di Batavia. Selama bersekolah, ia sudah aktif menulis esai. Kecerdasannya membuat Ida menerima rekomendasi untuk melanjutkan perguruan tinggi di Kerajaan Belanda.

Akan tetapi, Ida tidak mau pergi ke Belanda. Pada tahun 1940, ia pun mendaftar di Jurusan Sastra Bahasa Universiteit van Indonesia, atau yang sekarang disebut dengan Universitas Indonesia. Pada saat itu, Fakultas Seni dan Filsafat (Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte) baru saja dibuka. Ida pun termasuk salah satu mahasiswa pertama di sana.

Sayangnya, Jepang mulai masuk ke Indonesia pada tahun 1941. Banyak dosen berkebangsaan Belanda yang harus pergi dari Indonesia. Akibatnya, perkuliahan Ida harus terhambat sementara. Ia pun lebih banyak aktif di luar kampus.

Baca juga: Mengenal Biografi But Muchtar, Seniman Pengikat Legislasi Indonesia

Kritik dan Esai Ida Nasution

Keaktifannya di komunitas sastra Indonesia membuat Ida mengenal banyak tokoh penting. Ia mengenal tokoh-tokoh Angkatan Balai Pustaka, seperti Merari Siregar dan Sanusi Pane. Ida juga dekat dengan sastrawan Pujangga Baru, contohnya Armijn Pane dan Takdir Alisjahbana. Dengan beimbingan mentor-mentor senior yang berpengalaman, Ida memulai kariernya sebagai penulis esai dan kritikus.

Ida menjadi editor pada sejumlah majalah. Ia menjadi editor pada majalah mingguan Republik ‘Het Inzicht’. Setelah majalah tersebut ditutup, wanita tersebut menjadi editor pada majalah Opbouw-Pembangunan yang merupakan hasil kerja sama antara orang Belanda dan Indonesia. Pada majalah ini, ia menerjemahkan Les Conquerent oleh Andre Gide menjadi Sang Pemenang.

Selain menjadi editor, Ida juga terus aktif menulis. Banyak karyanya yang berisi perjuangan atas kemerdekaan Bangsa Indonesia. Pemikirannya yang kritis dan penggunaan bahasa yang tajam membuat Ida semakin dikenal. Pada tahun 1948, koran Het nieuwsblad voor Sumatra menyebut Ida Nasution sebagai penulis esai dan kritikus muda Indonesia paling berbakat.

Ida Nasution dan Angkatan 45

Gelanggang Seniman Merdeka adalah kumpulan seniman dan sastrawan muda yang dibuat pada tahun 1946 oleh Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin. Lewat manifestonya, mereka menyatakan klaim atas kebudayaan Indonesia dan penolakan terhadap campur tangan pihak lain seperti penjajah yang membatasi mereka. Pernyataan tersebut menunjukkan semangat revolusi dan kemerdekaan yang dibawa oleh kelompok muda ini.

Pada tahun 1947, majalah Siasat pertama kali diterbitkan. Majalah mingguan ini banyak membahas mengenai politik dan kebudayaan. Salah satu rubrik kebudayaan yang terkenal adalah rubrik “Gelanggang”. Ida menjadi redaktur dari rubrik ini bersama dengan Chairil Anwar.

Ida bersama dengan Chairil Anwar menjadi redaktur untuk rubrik kebudayaan “Gelanggang” di majalah Siasat pada tahun 1948. Siasat adalah majalah mingguan yang banyak membahas mengenai politik dan kebudayaan. Majalah ini juga yang menyebarkan Surat Kepercayaan Gelanggang, sebuah manifesto dari Gelanggang Seniman Merdeka.

HB Jassin dalam tulisannya yang berjudul Enam Tahun Sastra Indonesia pun menyebut mereka sebagai Angkatan 45. Tulisan itu diterbitkan di majalah Oriëntatie pada tahun 1948. Angkatan 45 menjadi angkatan di mana pemerintahan Jepang mengizinkan penggunaan bahasa Indonesia. Semangat nasionalisme mereka pun terpancarkan dalam karya-karyanya. Ida Nasution disebut sebagai penulis esai pelopor di angkatan ini, sedangkan Chairil Anwar sebagai penulis puisi dan Usmar Ismail sebagai penulis prosa.

Baca juga: Biografi Lasminingrat, Pejuang Emansipasi Perempuan asal Garut

Hilangnya Ida Nasution

Tidak hanya melalui tulisannya, Ida Nasution juga berperan dalam pergerakan mahasiswa. Ia mendirikan Perhimpunan Mahasiswa Universitas Indonesia bersama dengan G. Harahap pada tahun 1947. Ida juga menjadi presiden pertama perhimpunan ini. Tujuan dari perhimpunan tersebut adalah menyatukan mahasiswa-mahasiswa Indonesia.

Keaktifannya dalam gerakan mahasiswa dan pemikirannya yang kritis membuat Belanda khawatir. Cerita Ida Nasution berakhir pada 23 Maret 1948. Ia dinyatakan menghilang ketika sedang pergi bersama teman-teman ke Tjigombong, Bogor. Beredar kabar bahwa ia dibunuh oleh intelijen Belanda karena memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Walau pun memiliki peran yang sangat besar pada Angkatan 45, nama Ida Nasution seakan menghilang seperti dirinya. Sementara, kawan-kawannya terabadikan dalam sejarah. Walau pun tokoh Ida dalam teater “Perempuan-Perempuan Chairil” belum bisa menunjukkan seluruh perjuangannya untuk Indonesia, pementasan ini berhasil memperkenalkan masyarakat pada Ida Nasution. Marsha Timothy yang memerankan karakter Ida Nasution telah turut menjaga nama Ida agar tetap hidup.

Baca juga: Sosok Perempuan di Balik Tinta Syair sang Pujangga Chairil Anwar

Sumber:

  • https://poestahadepok.blogspot.com/2018/05/sejarah-kota-medan-71-ida-nasution-dan.html?m=1
  • https://www.kompas.com/stori/read/2021/11/08/130000679/gelanggang-seniman-merdeka-angkatan-45?page=all
  • https://narasisejarah.id/surat-kepercayaan-gelanggang-skg-suatu-manifesto-kebudayaan-pertama-setelah-indonesia-merdeka/

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

DS
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini