Mengenang Tan Malaka yang Tidak Dilupa dalam Pertunjukan Monolog

Mengenang Tan Malaka yang Tidak Dilupa dalam Pertunjukan Monolog
info gambar utama

Darah Rakyat masih berjalan
Menderita sakit dan miskin
Sampai saatnya pembalasan
Rakyat yang menjadi hakim.

Seperti hal yang sudah lumrah, nama Tan Malaka sebagai pahlawan nasional kurang begitu dikenal. Bahkan, ada yang menyebut telah dihapus dalam buku pelajaran sejarah. Masih banyak yang menganggap ia sebagai antek komunis dan bertentangan dengan kebijakan rezim orde baru.

Sebagai bagian dari kisah dalam monolog biografi Tan Malaka, aktor Joind Bayuwinanda berbicara dalam konteks sosok revolusioner pengembara yang harus menjadi korban karena terus dibungkam dan difitnah. Dari dialognya, ia berpegang teguh secara konsekuen pada langkah perjuangan yang ditempuh. Lagipula, aktor begitu menyatu dengan peran Tan Malaka. Mungkin penghayatan ini karena proses yang dilaluinya dari panggung ke panggung.

Ini bukan panggung monolog pertama terkait Tan Malaka. Sebelumnya, aktor pernah menjadi Tan Malaka dalam pentas monolog “Saya Rusa Berbulu Merah” tahun 2016 di Bandung. Supaya lebih masuk akal mendekatkan diri Tan Malaka pada kacamata penonton, Monolog Ular, di Meja Revolusi karya Ahda Imran pun dipentaskan kembali tanggal 4 sampai 9 Februari 2024 lalu di BlackBox Wahyoedin Noersan, Jakarta Barat.

Ada kebenaran dan ilusi yang dibawa dari atas panggung. Ajaran Marxisme yang diusung Tan Malaka coba dikumandangkan untuk tumbangkan imperialisme dan kapitalis. Sifat enggan untuk ‘diatur’ dan ingin terlepas dari segala bentuk yang menghambat ‘keinginan’ seolah angin segar bagi masyarakat yang dijajah. Tan Malaka pun merebut kemerdekaan dengan inisiatif ideologi yang dipahaminya.

Kemerdekaan itu tidak didapat dari sebuah janji melainkan dari sebuah perjuangan yang harus kita bela mati-matian sehingga kemerdekaan itu nyata dan berada di tangan kita. Dari pernyataan itu, penonton bisa mengenal sosok Tan Malaka yang punya peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Soekarno pun pernah menyebut Tan Malaka sebagai seseorang yang mahir dalam revolusi.

Tan Malaka juga sering menghadiri rapat bersama para pesohor yang menganggap “Anak-anak pribumi harus tetap menjadi kacung atau pesuruh di pabrik perkebunan milik kaum-kaum borjuis kapitalis”. Padahal bagi Tan Malaka, anak-anak pribumi harus tetap menempuh pendidikan. Sebab tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan. Pejuang pendidikan ini malah disebut sebagai bagian dari bandit-bandit dan ditangkap.

Saat situasi makin sulit, seluruhnya bermufakat bahwa persatuan perjuangan harus mendesakkan sebagai haluan revolusi. Tan Malaka pun ambil inisiatif untuk buat wadah (organisasi) guna mengorganisir perjuangan itu dengan tepat dan dilabeli Persatuan Perjuangan. Namun, Pemerintah makin panik dan pertikaian dengan Pemerintah makin sengit. Tan Malaka dan barisannya harus jadi kaum oposisi agar Pemerintah tahu bahwa tidak seenaknya menjalankan revolusi dengan ide romantik mereka.

Madilog dan Gagasan Tan Malaka Agar Bangsa Indonesia Berpikir Secara Merdeka
Pentas-Monolog
info gambar

Jalan yang saya pilih adalah jalan yang lengah. Nama yang membuat saya terancam. Saya menjadi orang yang terus dikejar dan diburu oleh orang-orang imperialis. Sambil menyebut nama saya sebagai kutukan.

Beranjak dari kalimat yang terlontar dari aktor, penonton monolog ini jadi paham bahwa Tan Malaka punya banyak nama samaran. Tujuan Tan Malaka tak lain untuk membentuk negara dengan sistem sosialis-komunis bukan kapitalis. Sebagai sebuah negara yang baru merdeka, republik Indonesia harus cerdas agar tidak terjebak didalamnya.

Tan Malaka, Tokoh Besar Indonesia yang Disanjung Manila

Sebagaimana yang telah disinggung pada paragraf sebelumnya, semangat sosialisme sulit masuk pada paham imperialisme dan borjuis kapitalis. Betapa jauh jarak antara lidah manusia dan perbuatan. Terlebih kepadanya diberikan jabatan. Bagi Tan Malaka, kelas buruh dan rakyat tertindas harus ambil alih kekuasaan dan hancurkan kaum penguasa.

Di panggung, kita juga bisa melihat jelas tumpukan buku yang berisi gagasan khas Tan Malaka. Ada buku yang berjudul Madilog, Dari Penjara ke Pejara, dan buku lain yang ditulis serta berisi gagasan atau cara pandang terhadap dunia dan garis perjuangan sebagai bagian perjalanan hidup yang revolusioner. Perannya sebagai penulis sepertinya hanya menjabarkan dengan bahasa yang sederhana agar gagasan ideologi yang dibawa bisa dipahami masyarakat Indonesia. Sayangnya, buku tersebut tampak hanya sebatas pelengkap artistik saja.

Adegan puncak dalam monolog ini justru sangat terbantu dengan kemunculan video mapping yang ditampilkan di tembok mini stage. Aktor berjalan membelakangi penonton lewat jembatan dan ikut melihat seperti apa perjuangan pada masa penjajahan. Dalam video ditayangkan beberapa bagian bagaimana perjalananan rakyat untuk bertahan hidup pada masa itu.

Pada bagian ini, memang video tak terlalu intens menunjukkan periode atau tahunnya. Namun, jadi hal yang menarik sebagai transisi dari satu kisah ke kisah lain atau latar tempat kisah diceritakan. Barangkali ini strategi pentas monolog supaya tidak bosan ditonton publik dan bisa beradaptasi dengan kemajuan teknologi.

Romansa Tan Malaka dalam Empat Babak

Seperti narasi yang diceritakan, monolog “Ular, di Meja Revolusi” ini lebih banyak mendudukkan revolusi atas jawaban untuk pertanyaan “Siapa?” dan “Mengapa?” Setidaknya sebagai penonton, kita bisa paham bahwa Tan Malaka mampu berpikir secara dialektis yang berarti tidak boleh melepaskan logika.

Naskah monolognya begitu kuat menyampaikan seperti apa revolusi yang tidak hanya lahir dari gagasan manusia saja, tetapi revolusi timbul atas perubahan sosial ketika terjadi pertentangan kelas yang tajam disebabkan faktor ekonomi dan politik yang berkembang. Tan Malaka pun bagai ular berbisa yang siap memangsa penindasan dari para pesohor.

Setiap dalam revolusi, selalu ada yang tidak pernah selesai. Selalu ada yang luput untuk dikenal. Selalu ada banyak jawaban dan pertanyaan yang dikubur jauh dalam tanah menjadi kerangka yang tidak bernafas. Tan Malaka menjadi bagian dari revolusi yang bisa saja terlupa.

Tan-Malaka
info gambar

Sumber referensi:

https://www.blogger-eksis.my.id/2024/02/ulas-pertunjukan-monolog-ular-di-meja.html

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AH
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini