Paradoks Pendidikan Tinggi Mengurai Kebobrokan yang Melahirkan Koruptor Bangsa

Paradoks Pendidikan Tinggi Mengurai Kebobrokan yang Melahirkan Koruptor Bangsa
info gambar utama

Dalam refleksi mengenai dunia pendidikan, tokoh - tokoh pilar seperti John Dewey dan Paulo Freire telah memberikan pandangan kritis yang mengungkapkan keprihatinan mendalam terhadap derap kebobrokan yang merajalela dalam sistem pendidikan modern. Namun, sayangnya, idealisme mereka terkikis oleh gelombang kapitalisme yang merayap dan merubah substansi pendidikan menjadi sebuah industri bisnis yang merugikan.

Dalam perjalanan sejarah pendidikan tinggi di Indonesia, banyak juga tokoh terdahulu telah mengemukakan pandangan kritis terhadap kebobrokan yang melanda dunia pendidikan. Sayangnya, upaya untuk menyaring esensi pendidikan sering kali terjebak dalam jaringan korupsi dan bisnis pendidikan yang merugikan masyarakat.

Tulisan ini akan menggali pandangan beberapa tokoh terdahulu sekaligus mengkritisi paradoks dalam dunia pendidikan tinggi, terutama yang berkaitan dengan mahasiswa sebagai agen perubahan yang ironisnya terjerat dalam nepotisme dan dinasti oligarki.

Tokoh pendidikan seperti Ki Hajar Dewantara pernah menegaskan bahwa pendidikan seharusnya menjadi wahana mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, kritik tajam mengarah pada transformasi pendidikan menjadi industri bisnis.

Banyak lembaga pendidikan tinggi yang lebih mengutamakan profit daripada kualitas pendidikan. Standar moral dan etika sering dikorbankan demi meraih keuntungan finansial. Hasilnya, generasi muda tereduksi menjadi konsumen pendidikan, bukan agen perubahan yang berpikir kritis.

Pendapat tokoh seperti Mohammad Hatta tentang mahasiswa sebagai agen perubahan mencuat dalam wacana pendidikan. Namun, paradoks muncul ketika mahasiswa yang seharusnya menjadi garda terdepan perubahan malah terlibat dalam praktik nepotisme dan dinasti oligarki di dalam kampus.

Mengenal NUHUN, Program Kemenag untuk Mahasiswa Perguruan Tinggi Hindu

Posisi strategis mereka seharusnya dimanfaatkan untuk menggugah kesadaran sosial dan mengoreksi ketidakadilan. Sayangnya, realitas menunjukkan sebagian mahasiswa lebih memilih terlibat dalam dinamika politik kampus yang lebih bersifat intrik dan pengaruh kekuasaan.

Segi organisatoris, mahasiswa berteriak akan pembenaran, seakan mereka tidak sadar bahwa pelaku kejahatan berada disekitar mereka di dunia pendidikan tinggi. Aktivis mahasiswa sekarang mempertajam pemikiran kritis disaat terdapat kepentingan atau peluang yang terselubung dan bisa dimanfaatkan untuk menjadi batu loncatan. Hanya sebagian kecil yang menghabiskan waktu dengan memikirkan masa depan bangsa secara akumulatif dan berkelanjutan.

Dari segi mahasiswa yang fokus pada akademik, mereka hanya akan menunggu bagaimana masa depan mereka. Tidak ada pemikiran liar yang lahir, karena mereka sudah melakukan doktrin terhadap diri sendiri bahwa "Sudah kuliah, lulus dan kerja". Padahal, seharusnya jika dapat dioptimalkan peluang tersebut, dengan kurang lebih 8 juta mahasiswa yang ada di Indonesia ini tiap tahunnya, tentu mampu menjadi motor penggerak perubahan sosial untuk masa depan bangsa.

Beberapa tokoh filosofis seperti Soekarno dan Tan Malaka telah menggarisbawahi pentingnya tanggung jawab sosial di kalangan intelektual dan mahasiswa. Namun, paradoks muncul ketika banyak mahasiswa tidak menyadari bahwa keikutsertaan mereka dalam dinasti oligarki dan nepotisme di kampus menjadi akar lahirnya banyak koruptor di masa depan. Ironisnya, mereka yang seharusnya membawa perubahan malah terlibat dalam praktik yang merugikan masyarakat.

Tokoh seperti Pramoedya Ananta Toer pernah menyuarakan kritik terhadap hipokrisi dalam pencarian kekuasaan. Sayangnya, di kalangan mahasiswa, ada kelompok yang terjebak dalam siklus ini. Mereka ingin terlihat oleh penguasa, mencari kekuasaan tanpa menyadari bahwa tindakan tersebut hanya akan merusak integritas dan tujuan asli pendidikan tinggi.

Hukuman Bagi Koruptor di Pikiran Anak-anak Tahun 1950-an

Angela davis seorang aktivis dan akademisi Amerika Serikat sering kali menyoroti keterkaitan antara sistem pendidikan tinggi dan struktur kekuasaan yang ada. Ia mengkritisi ketidaksetaraan akses terhadap pendidikan tinggi dan bagaimana beberapa kelompok tertentu dapat mengendalikan atau memanfaatkan sistem ini untuk mempertahankan ketidaksetaraan sosial.

Menyikapi akan apa yang terjadi hari ini, menjelang pesta demokrasi di Indonesia, banyak mahasiswa yang berteriak sangat vokal akan pembenaran dengan saling menjatuhkan tanpa memahami substansi atas apa dosa yang sedang mereka perbuat. Benar saja, mereka hanya berfokus pada pasangan calon siapa yang akan menang bukan pada pembangunan masa depan bangsa Indonesia yang akan dibawa ke mana.

Pendidikan tinggi seharusnya menjadi pilar utama pembentukan karakter dan kecerdasan masyarakat. Namun, paradoks dan kebobrokan dalam dunia pendidikan, terutama melalui bisnis pendidikan dan praktik-praktik nepotisme di kalangan mahasiswa, telah merusak esensi pendidikan sebagai wahana perubahan positif.

Diperlukan kesadaran kolektif dan reformasi mendalam untuk mengembalikan makna sejati pendidikan tinggi dan mencegah lahirnya generasi yang terjerumus dalam kebobrokan moral.

Implementasi Tridharma Perguruan Tinggi, Mahasiswa dan Pemberdayaan Dhuafa

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

DF
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini