Teliti Mitos Manusia Ular di Seram, Geger Riyanto Raih Gelar Disertasi Terbaik di Jerman

Teliti Mitos Manusia Ular di Seram, Geger Riyanto Raih Gelar Disertasi Terbaik di Jerman
info gambar utama

Keragaman manusia di Indonesia sejatinya adalah laboratrium besar bagi studi antropologi, ilmu yang mempelajari tentang manusia dan produk kebudayaanya. Objek penelitian antropologi bisa mengangkat hal yang begitu akrab dengan manusia Indonesia, yaitu mitos!

Buktinya, Oktober silam, disertasi buatan Geger Riyanto bertajuk Being Strangers in Eastern Indonesia:Misunderstanding and Suspicion of Mythical Incorporation among the Butonese of North Seram memperoleh penghargaan disertasi antropologi terbaik di negara-negara berbahasa Jerman dari Frobenius Institute, lembaga antropologi tertua di Jerman.

Geger, dosen antropologi di Universitas Indonesia yang menyusun disertasi untuk pendidikan doktorat di Institut Etnologi Universitas Heidelberg, menjadi orang non Eropa pertama yang meraih penghargaan tersebut sejak pertama kali diadakan tahun 1969.

Geger meneliti tentang mitos asal-usul masyarakat Buton di Seram Utara, Pulau Seram, Kabupaten Maluku Tengah, yang salah satunya menyebut tentang keberadaan manusia setengah ular. Rupanya mitos tersebut adalah produk dari interaksi komunitas adat Seram dengan orang Buton yang notabene adalah pendatang di pulau tersebut.

Keindahan Kain Tenun yang Jadi Simbol Pemersatu Masyarakat Buton

Suku Buton berasal dari Sulawesi Tenggara tepatnya di Pulau Buton, Kepulauan Tukang Besi, dan sekitarnya. Keahlian dalam berlayar dan berdagang membuat Suku Buton telah hadir di pulau-pulau Indonesia Timur, termasuk Pulau Seram, sejak sebelum masa kemerdekaan.

Di Seram Utara, perkampungan Buton didirikan oleh masyarakat yang memiliki mata pencaharian sebagai nelayan atau pekerja di perkebunan cengkeh dan kelapa. Faktor alam seperti kurang suburnya tanah dan sulitnya pasokan air di pulau asal turut menjadi faktor kepindahan masyarakat Buton ke Seram.

Berlanjut ke periode awal Reformasi, terjadi gesekan antara masyarakat pemukim awal di berbagai wilayah Indonesia dengan masyarakat keturunan pendatang yang banyak dibentuk dari program transmigrasi di masa Orde Baru.

Di Maluku sendiri pada tahun 1999-2004 terjadi konflik etnis dan agama di Ambon yang menimbulkan 5.000 korban jiwa dan 700.000 orang kehilangan rumah (Riyanto, 2022). Angka tersebut diantaranya berasal dari masyarakat Buton yang tinggal di Ambon.

Meskipun tidak berseskalasi ke skala besar di Seram Utara, konflik Ambon turut menimbulkan ketegangan dan teror di tengah keberagaman masyarakat Pulau Seram yang bertetangga dengan Ambon.

Ternyata Buton jadi Wilayah Indonesia yang Tidak Pernah Dijajah Belanda

Geger yang kemudian melakukan penelitian di Seram Utara selama 4,5 tahun sejak tahun 2018 melihat adanya peran mitos yang merawat persatuan antara masyarakat pemukim awal dan pendatang. Terdapat mitos mengenai sosok 'siluman' yang diyakini sebagai leluhur orang Buton di Seram oleh suku asli dari berbagai negeri. Negeri sendiri adalah istilah untuk wilayah administratif setingkat desa di Maluku yang dipimpin seorang bergelar raja.

Sosok yang berasal dari laut tersebut memiliki wujud manusia dari kepala hingga pinggul dan sisanya berbentuk ular. Mereka kemudian menjadikanya sebagai raja dan ia menjalin kekerabatan dengan komunitas negeri melalui pernikahan.

Uniknya, Suku Buton memiliki mitos serupa tentang manusia setengah ular bernama La Ode Wuna, di mana La adalah panggilan untuk laki-laki dalam Buton. Ia dikisahkan sebagai pangeran yang dicemooh karena wujudnya sehingga ia meninggalkan Buton dengan menggunakan batok kelapa sebagai perahu hingga mendarat di Seram.

Kisah ini dengan beragam versinya membentuk pandangan kekerabatan antara komunitas adat negeri di Seram dengan masyarakat Buton. Di Maluku, konsep persaudaraan (basudara) merupakan ikatan yang krusial.

Budidaya Mitos sebagai Strategi Sakralitas dan Pelestarian Cagar Budaya Benteng Buton

Disertasi yang diterbitkan tahun 2022 ini memperoleh penghargaan terkait dengan relevansinya terhadap kondisi Jerman yang dihadapkan pada isu sosial, politik, dan ekonomi terkait migran. Di Jerman sendiri tengah berkembang sentimen di kalangan masyarakat dan politisi terhadap kehadiran komunitas imigran yang sejatinya bermanfaat bagi ekonomi Jerman.

Penelitian ini menunjukan bagaimana masyarakat dapat hidup berdampingan dalam keberagaman di Indonesia dan bagaimana mitos, yang keberadaannya kerap diremehkan sebagai sesuatu yang tidak ilmiah, menjadi produk budaya dari upaya untuk melihat masyarakat pendatang sebagai bagian integral dari sebuah komunitas alih-alih sebuah kelompok asing.

Kawan GNFI, adakah mitos dari daerahmu yang ingin kamu teliti?

#WritingCamp

  • Referensi:
  • Aristoteles, A. (2024, Februari). Inovator: Geger Riyanto. National Geographic Indonesia, 19 (2), 24.
  • Riyanto, G. (2022). Being Strangers in Eastern Indonesia: Misunderstanding and Suspicion of Mythical Incorporation among the Butonese of North Seram (disertasi).

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

FW
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini