Arti Penting Lontar sebagai Pohon Kehidupan di NTT

Arti Penting Lontar sebagai Pohon Kehidupan di NTT
info gambar utama

Bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur, terutama di Pulau Rote dan Sabu, pohon lontar memiliki peran penting bagi kehidupan masyarakat di dalamnya. Manfaat besar lontar dalam berbagai sektor kehidupan bahkan membuat masyarakat setempat menyebutnya sebagai pohon kehidupan.

Sebutan demikian tidak terlepas dari potensi pemanfaatan lontar, di mana setiap bagian pohonnya memiliki kegunaan tersendiri dalam menunjang kehidupan. Selain itu, lontar juga turut memiliki nilai dan posisi tersendiri dalam konteks budaya dan kearifan lokal masyarakat setempat.

Baca Juga: Mengenal Tradisi Budaya Maritim di Nusa Tenggara Timur

Ragam Manfaat Lontar dalam Kehidupan Masyarakat

Keberadaan pohon lontar memiliki manfaat penting bagi kehidupan masyarakat NTT. Setiap bagian lontar, seperti batang, pelepah, daun, hingga niranya dapat diolah dan dimanfaatkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan.

Batang pohon lontar umumnya digunakan sebagai tiang bangunan, bahan pembuatan perabotan rumah, seperti meja dan kursi, serta dipakai pula dalam pembuatan perahu. Sementara itu, pelepah lontar yang besar dan kuat juga dimanfaatkan masyarakat sebagai pagar rumah.

Selain batang dan pelepah, daun lontar juga dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai wadah untuk menampung air dan nira lontar, serta bahan untuk membuat keranjang anyaman, bakul penyimpan beras, dan sebagainya.

Tak hanya itu, daun lontar juga dapat digunakan sebagai atap rumah maupun alas tempat tidur. Secara khusus di Pulau Rote, daun lontar juga dipakai sebagai bahan pembuatan alat musik Sasando dan topi adat Ti’i Langga.

Melansir laman indonesia.go.id, tandan buah atau mayang lontar juga biasanya dapat dikonsumsi. Dalam hal ini, tandan buah yang masih muda dapat dimakan. Lain halnya dengan tandan buah yang sudah cukup tua akan disadap guna menghasilkan air buah lontar (air nira) yang rasanya manis.

Potensi lontar yang melimpah juga dimanfaatkan masyarakat sebagai mata pencaharian, terutama sebagai penyadap lontar. Biasanya mereka melakukan penyadapan guna mendapatkan air nira yang memiliki beragam manfaat.

Nira yang telah disadap kemudian diolah menjadi berbagai produk olahan, seperti gula air, gula semut (gula merah butiran), gula lempeng (gula merah padat), atau difermentasi menjadi sopi lokal, dan bahan pembuatan kecap. Hasil olahan ini kemudian dipasarkan ke berbagai tempat, sehingga kemudian menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat setempat.

Peran penting pohon lontar juga menyimpan catatan historis yang mendalam bagi masyarakat Rote dan Sabu, terutama ketika dua pulau ini dilanda kekeringan parah selama kurang lebih sepuluh bulan.

Situasi tersebut membuat masyarakat setempat kesulitan mendapatkan bahan makanan. Di sisi lain, aktivitas mereka mencari ikan, beternak babi, mengolah rumput laut, dan membuat kerajinan tangan, tidak mendatangkan hasil yang cukup.

Dalam kondisi demikian, keberadaan pohon lontar membantu mereka untuk bertahan hidup. Sepanjang musim, mereka bertahan dengan mengonsumsi air nira sebagai pengganti makanan.

Baca Juga: Melihat Keunikan Kebudayaan Daerah Rote Melalui Eksplorasi Keberagaman Hasil Alam dan Adat

Lontar dalam Konteks Budaya Masyarakat Rote dan Sabu

Lontar juga memiliki keterkaitan erat dengan budaya dan kearifan lokal masyarakat Rote dan Sabu. Lebih lanjut, keterkaitan dan keterhubungan masyarakat dengan lontar, juga menjadi simbol harmoni hubungan manusia dengan alam di sekitarnya.

Di Pulau Rote, daun lontar dimanfaatkan dalam pembuatan alat musik Sasando dan topi adat Ti'i Langga, yang menjadi produk budaya khas masyarakat setempat. Selain itu, ragam pengolahan lontar dalam berbagai bentuk produk, seperti gula dan sopi, turut menjadi kearifan lokal masyarakat Rote maupun NTT secara keseluruhan.

Mengacu pada catatan sejarah dan konteks budaya lokal, dulunya orang-orang Rote secara tradisional memulai perkampungan melalui pengelompokan keluarga dari pekerjaan mengiris lontar (tuak). Konon, ketika terdapat sekelompok tanaman lontar yang berada pada suatu kawasan tertentu, maka tempat itu jugalah menjadi pusat pemukiman pertama orang-orang Rote.

Sementara itu, masyarakat Sabu juga melihat pohon lontar sebagai bagian dari kehidupan mereka, di mana seluruh aspek kehidupan orang Sabu tidak bisa dilepaspisahkan dari lontar. Masyarakat setempat meyakini bahwa pohon lontar dan aktivitas penyadapannya adalah warisan nenek moyang. Dengan demikian, mereka juga dituntut agar bisa menjaga dan merawat pohon lontar seperti halnya mereka merawat diri mereka sendiri.

Posisi penting lontar dalam kehidupan masyarakat Sabu juga tampak dalam penyajian hasil penyadapan lontar pada berbagai acara kekeluargaan hingga ritual adat. Dalam konteks ini, sajian tersebut turut menunjukkan bagaimana masyarakat setempat menempatkan hasil penyadapan lontar sebagai unsur penting dalam kehidupan sosial dan budaya mereka.

Baca Juga: Ti'i Langga : Topi Khas Pulau Rote yang Terinspirasi dari Bentuk Hewan Laut

Lebih lanjut, Jacob (2023) menjelaskan bagaimana lontar juga menjadi jembatan penghubung komunikasi yang harmonis dengan sang Ilahi, atau yang disebut Deo Ama. Pada setiap panen, orang Sabu menyambutnya dengan suka cita dan mempersiapkannya secara istimewa seperti hanya menyambut hari raya besar. Mereka kemudian melakukan pembersihan pohon-pohon lontar, yang dilanjutkan dengan upacara atau ritual ucapan syukur atas waktu panen lontar yang telah tiba.

Menariknya, masyarakat Sabu juga memiliki tradisi yang khas dan unik, yakni tradisi menyanyi di atas pohon lontar. Melalui nyanyian tersebut, mereka mencoba menyampaikan perasaan kepada pohon lontar, yang mereka pandang sebagai ibu mereka.

Selain itu, masyarakat juga biasanya melakukan ritus khusus sebelum mereka menyadap lontar. Ritus ini bertujuan meminta berkat Yang Ilahi untuk penyadap dan segala perlengkapan yang dipakai, memohon cuaca cerah, serta memohon hasil nira yang baik dan melimpah untuk memenuhi kebutuhan tiap keluarga (Jacob, 2023).

Pandangan lokal masyarakat Rote dan Sabu terhadap lontar, membuat masyarakat setempat menghargai keberadaan pohon lontar sebagai bagian dari kehidupan mereka. Mereka meyakini keberadaan lontar sebagai warisan nenek moyang yang harus dijaga, serta memiliki nilai penting bagi kehidupan dan kebudayaan mereka hingga saat ini.

Referensi:

  • Jacob, D. H. (2023, July). NYANYIAN DI ATAS POHON LONTAR: TRADISI MENYADAP NIRA DI SABU RAIJUA. In Prosiding Seminar Nasional dan Internasional HISKI (Vol. 3, pp. 405-425).
  • https://indonesia.go.id/kategori/kuliner/1226/di-ntt-lontar-disebut-sebagai-pohon-al-hayat
  • https://rotendaokab.go.id/budaya-masyarakat

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

OK
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini