Solidaritas Kemanusiaan, Mengurai Krisis Palestina, Rohingya, dan Papua

Solidaritas Kemanusiaan, Mengurai Krisis Palestina, Rohingya, dan Papua
info gambar utama

Genosida Palestina di Gaza sudah memasuki bulan kelima. Hingga saat ini setidaknya 26,000 lebih warga Palestina di Gaza terbunuh oleh agresi penjajahan di Palestina. Melihat statistik dan kabar dari jurnalis maupun warga Palestina langsung yang berseliweran di sosial media, kita bisa secara langsung dan tegas mengeliminasi kabar hoaks hingga propaganda Israel dalam upaya membingkai hal ini sebagai bentuk retaliasi.

Namun, standar yang sama justru tidak terlihat dalam mengeliminasi kabar hingga insinuasi negatif berkonotasi rasis dan merendahkan yang ditujukan kepada kelompok masyarakat lain, terutama oleh warganet Indonesia. Salah satunya terkait kampanye negatif yang dilancarkan terhadap penduduk Rohingya.

Baca Juga: Jepang Dukung Komitmen RI untuk Atasi Krisis Kemanusiaan di Palestina

Perjuangan Rohingya dan Persoalan Pengungsi

Kata Rohingya kian hari seakan mengalami devaluasi nilai, yang sekaligus menjadi cerminan pandangan rendah kita terhadap mereka. Rohingya sendiri merupakan sekelompok minoritas beragama Islam asal Rakhine, Myanmar, yang merupakan negara mayoritas Buddha.

Masyarakat Rohingya mengalami persekusi berkepanjangan selayaknya kaum minoritas lainnya di tengah popularitas kelompok sayap kanan yang meningkat. Persekusi ini termanifestasi pada serangan fisik, yang membuat mereka kian terancam dan memutuskan untuk meninggalkan tanah kelahiran mereka, hingga menjadi pengungsi.

Keputusan meninggalkan tanah kelahiran, tempat di mana kita tumbuh dan dibesarkan, tentunya bukanlah perkara mudah. Dalam kurun waktu beberapa minggu ke belakang, dukungan kita terhadap perjuangan Palestina menunjukkan bentuk solidaritas kita terhadap mereka yang mencintai tanah mereka.

Sama seperti bentuk pembersihan etnis lainnya seperti Palestina dan Rohingya, banyak dari mereka yang berakhir di kamp pengungsian.Kamp pengungsi Rohingya di Cox’s Bazaar, Bangladesh menjadi tujuan utama para pengungsi Rohingya, yang juga merupakan kamp pengungsi terbesar di dunia.

Pemberitaan mengenai kamp pengungsi dipenuhi kabar mengenai kondisi tidak layak hidup, baik dari segi sanitasi maupun penghidupan bagi para pengungsi. Pengungsi pun juga melihat tidak ada masa depan bagi mereka jika terus terjebak di Kamp Pengungsian.

Tak perlu berjauh-jauh, pengungsi Palestina yang masih tersebar di Kamp Pengungsian seperti di Lebanon, Syria, dan Jordania, masih menjadi pengungsi setelah 75 tahun. Anak cucu mereka terlahir sebagai pengungsi, tanpa status dan kewarganegaraan yang jelas, terkurung di gang-gang sempit dan penuh sesak.

Sebagian besar dari kita yang tidak pernah mengalami hal serupa, tidak tidak menyadari betapa melelahkannya menjadi perfect victim. Korban, dalam kasus dan tingkatan apa pun, diharapkan memiliki nilai moral yang tinggi, tidak mengeluh tetapi harus mengharap belas kasihan, lebih disukai jika rentan, dan yang terpenting adalah harus bersyukur terhadap bantuan kecil yang diberikan atas rasa iba, terlepas dari status mereka sama seperti kita, hanya manusia dengan kapasitas toleransi biasa.

Nahasnya, dengan status mereka sebagai pengungsi, kredibilitas apa pun yang mereka punya sebelum terpaksa meninggalkan rumah, tidak akan berlaku. Pengungsi, terutama di Indonesia bukan negara yang meratifikasi Konvensi Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa 1955 maupun Protokol 1967, sehingga Indonesia tidak memiliki skema resmi menjadi tujuan suaka pengungsi.

Kondisi ini juga menyebabkan pengungsi ini tidak bisa ‘mencari’ penghidupan yang layak, dan hanya mengharapkan bantuan finansial yang tidak mereka ketahui skema pemberiannya. Belum lagi, kabar terkait skema bantuan ini juga dipelintir di internet, dengan ketakutan bahwa pengungsi ini akan membebani anggaran negara, tanpa klarifikasi dan verifikasi mengenai kabar tersebut.

Rohingya bukanlah satu-satunya kelompok pengungsi yang terluntang-lantung di Indonesia. Beberapa media Indonesia hingga organisasi nirlaba/swadaya masyarakat, menyatakan pengungsi Afghanistan, misalnya, masih belum mendapatkan kepastian masa depan mereka. Hal ini karena dikarenakan peraturan yang tidak mengizinkan mereka menjadi warga negara, memiliki hak terhadap upah dan kehidupan layak, atau mengizinkan mereka ke negara tujuan awal suaka mereka, meskipun sudah lama menetap di Indonesia.

Baca Juga: Ketika Dukungan untuk Palestina Menggema dari Panggung Musik M Bloc Live House

Solidaritas Kemanusiaan: Perspektif Terhadap Krisis Palestina, Rohingya, dan Papua

Insinuasi bernuansa rasis hanya karena perbuatan buruk segelintir pengungsi, juga menjadi realitas yang sangat disayangkan, terutama ketika hal ini juga digaungkan oleh akun media sosial dengan pengikut yang banyak.Kabar menyesatkan, seperti pengungsi merebut pekerjaan dan penghidupan masyarakat lokal, serta teori konspirasi terkait tingkat kelahiran yang tinggi dan jumlah pengungsi yang dilebih-lebihkan, seringkali disebarkan media tanpa adanya verifikasi data. Selain itu, generalisasi dan retorika yang mengarah pada hukuman kolektif terhadap pengungsi Rohingya, timbul akibat minimnya peran media dalam memberikan informasi yang jelas.

Para pengungsi seringkali mengalami kondisi sulit di negara suaka mereka, dan negara-negara yang berbesar hati kemudian menerima mereka. Namun, kebanyakan memilih diam karena pada akhirnya mereka terlepas dari ancaman yang jauh lebih buruk. Mereka yang bekerja juga menjadi korban eksploitasi, dengan jam kerja dan upah yang tidak manusiawi. Bahkan ketika mereka mencoba menyuarakan kondisi hidup yang sulit, seperti kurangnya makanan atau akses listrik, mereka hanya dihadapkan pada kecaman publik yang besar.

Permasalahan pengungsi bukanlah hal baru di negara kita, begitu pun dengan krisis kemanusiaan yang terus berlarut-larut di Papua. Sayangnya, masalah ini seringkali tidak mendapat liputan atau perhatian dari media, dan terus berlangsung hingga saat ini. Seperti dalam kasus Rohingya, kita cenderung menganggap krisis di Papua sebagai bagian inheren dari kehidupan masyarakat setempat, tanpa memandang akar masalah yang sebenarnya.

Ketika membahas permasalahan mereka, baik Palestina, Rohingya, atau Papua, penting untuk mempertimbangkan aspek keadilan. Skema-skema yang dipertimbangkan haruslah didiskusikan dengan memperhatikan rasa kehilangan dan ketidakadilan yang mereka rasakan. Sebelum menyalahkan pihak lain, seperti ASEAN dalam kasus Rohingya, atau kelompok perlawanan Papua, kita sebaiknya merenungkan bagaimana reaksi kita jika berada dalam posisi mereka. Kondisi material mereka sangat memengaruhi pilihan yang mereka buat, dan kita harus mengadopsi sudut pandang yang sama dalam melihat berbagai konflik.

Solidaritas dengan mereka yang mengalami opresi, penindasan, dan kehilangan tidak boleh bersifat transaksional, karena kesamaan agama, kesamaan ras, bahasa, ataupun gender dan orientasi seksual. Solidaritas dan dukungan harus ditujukan kepada mereka yang tidak memiliki suara dalam hukum dan di mata dunia. Namun, masih banyak yang belum memahami hal ini, seperti ketika kabar hoaks tentang pengungsi Rohingya yang tidak memiliki agama tertentu mulai tersebar luas di internet.

Jika kita benar-benar memegang prinsip ini, kita tidak akan membiarkan krisis dan kelaparan di Papua terus berlanjut tanpa menuntut pertanggungjawaban dari pemerintah dan media yang memilih untuk diam. Perlindungan dan jaminan keamanan bagi manusia tidak boleh menjadi transaksional dan tidak boleh dikekang oleh prakondisi tertentu.

Baca Juga: Kita Tidak Setegar Mereka

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

FP
GI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini